Maladewa Berisiko Jatuh ke Jebakan Utang Jika Sepakati FTA China
loading...
A
A
A
Pemerintahan Solih kemudian menghentikan sementara FTA dengan alasan merugikan kepentingan perekonomian Maladewa.
FTA adalah dokumen komprehensif yang mencakup perdagangan barang, jasa, dan investasi serta kerja sama ekonomi dan teknis.
Kepemilikan asing atas tanah telah dimasukkan sebagai komitmen dalam perjanjian tersebut bersama dengan akses "tidak terikat" bagi warga negara China di sektor jasa.
Investor China akan diizinkan membuka kantor perwakilan terkait tur dan perjalanan di Maladewa, dan mengoperasikan kapal akomodasi wisata pelayaran/tinggal di atas kapal. Wisatawan akan membayar ke luar negeri dalam dolar atau memesan secara online dan mentransfer uang ke rekening bank China.
Hal ini juga akan memengaruhi pengumpulan pajak Maladewa serta kesempatan kerja bagi penduduk setempat. Akibatnya, lebih banyak kedatangan wisatawan dari China akan memberikan manfaat yang lebih besar bagi perekonomian China dibandingkan Maladewa.
Secara signifikan, usulan FTA juga memberikan "pengecualian keamanan" (Pasal 86) menyeluruh terkait pengungkapan informasi apa pun yang dianggap bertentangan dengan kepentingan keamanan salah satu pihak. Lebih jauh lagi, terdapat klausul pengecualian keamanan dalam "perdagangan jasa" yang berkaitan dengan penyediaan jasa untuk keperluan penyediaan fasilitas militer.
Sebelum menandatangani FTA, beberapa pengakuan perlu diberikan pada fakta bahwa China adalah kreditor bilateral terbesar Maladewa yang memiliki utang sebesar USD1,4 miliar.
Maladewa telah meminta China untuk melakukan moratorium utang hingga tahun 2027, namun belum disetujui.
China juga tidak menanggapi dengan baik permintaan pertukaran mata uang dari Maladewa yang dibuat pada 29 Januari 2024, yang meminta Beijing untuk memulai diskusi formal untuk membuka cabang bank besar China guna memfasilitasi pengaturan pertukaran mata uang melalui Bank Rakyat China.
Meski Maladewa mengalami surplus dalam perdagangan jasa komersial karena kuatnya penerimaan dari pariwisata, surplus jasa tersebut kemungkinan besar tidak dapat mengimbangi meningkatnya defisit dalam perdagangan barang. Implikasinya adalah semakin melebarnya ketimpangan transaksi berjalan dalam neraca pembayaran.
FTA China-Maladewa
FTA adalah dokumen komprehensif yang mencakup perdagangan barang, jasa, dan investasi serta kerja sama ekonomi dan teknis.
Kepemilikan asing atas tanah telah dimasukkan sebagai komitmen dalam perjanjian tersebut bersama dengan akses "tidak terikat" bagi warga negara China di sektor jasa.
Investor China akan diizinkan membuka kantor perwakilan terkait tur dan perjalanan di Maladewa, dan mengoperasikan kapal akomodasi wisata pelayaran/tinggal di atas kapal. Wisatawan akan membayar ke luar negeri dalam dolar atau memesan secara online dan mentransfer uang ke rekening bank China.
Hal ini juga akan memengaruhi pengumpulan pajak Maladewa serta kesempatan kerja bagi penduduk setempat. Akibatnya, lebih banyak kedatangan wisatawan dari China akan memberikan manfaat yang lebih besar bagi perekonomian China dibandingkan Maladewa.
Secara signifikan, usulan FTA juga memberikan "pengecualian keamanan" (Pasal 86) menyeluruh terkait pengungkapan informasi apa pun yang dianggap bertentangan dengan kepentingan keamanan salah satu pihak. Lebih jauh lagi, terdapat klausul pengecualian keamanan dalam "perdagangan jasa" yang berkaitan dengan penyediaan jasa untuk keperluan penyediaan fasilitas militer.
Sebelum menandatangani FTA, beberapa pengakuan perlu diberikan pada fakta bahwa China adalah kreditor bilateral terbesar Maladewa yang memiliki utang sebesar USD1,4 miliar.
Maladewa telah meminta China untuk melakukan moratorium utang hingga tahun 2027, namun belum disetujui.
China juga tidak menanggapi dengan baik permintaan pertukaran mata uang dari Maladewa yang dibuat pada 29 Januari 2024, yang meminta Beijing untuk memulai diskusi formal untuk membuka cabang bank besar China guna memfasilitasi pengaturan pertukaran mata uang melalui Bank Rakyat China.
Meski Maladewa mengalami surplus dalam perdagangan jasa komersial karena kuatnya penerimaan dari pariwisata, surplus jasa tersebut kemungkinan besar tidak dapat mengimbangi meningkatnya defisit dalam perdagangan barang. Implikasinya adalah semakin melebarnya ketimpangan transaksi berjalan dalam neraca pembayaran.