Di Amerika, Bendera Malaysia Dikira Bendera AS Bersimbol ISIS
A
A
A
WASHINGTON - Sebagian orang Amerika Serikat (AS) mengira bendera Malaysia sebagai bendera AS dengan simbol kelompok Islamic State atau ISIS. Anggapan itu memicu gugatan hukum yang diajukan oleh seorang insinyur Malaysia yang bekerja di negeri Paman Sam tersebut.
Insinyur Malaysia bernama Munir Zanial mengajukan gugatan yang difasilitasi American Civil Liberties Union (ACLU) cabang Kansas. Organisasi advokasi sipil itu menggambarkan kasus ini sebagai tindakan pencitraan ras yang berlebihan dan diskriminasi agama secara mencolok.
Kasus ini bemula ketika bendera Malaysia digunakan di sebuah pesta di sebuah danau rekreasi di kota Wichita, Kansas, September lalu.
Pemilik properti, Spirit Boeing Employees' Association (SBEA) mengeluh kepada atasan Zanial, insinyur Malaysia yang mengatur pesta.
SBEA menuduh Munir dan tamunya memiliki bendera ISIS dan sedang melakukan pertemuan ISIS dengan properti SBEA.
"Pada 2 September 2017, (Munir) Zanial menyelenggarakan pesta untuk merayakan Idul Adha di SBEA Recreational Lake di Wichita, Kansas," kata ACLU dalam gugatannya.
"Setelah pesta tersebut, SBEA melaporkan tim keamanan Zanial kepada Spirit Aerosystems berdasarkan kekhawatiran bahwa Zanial berafiliasi dengan terorisme radikal dan menuduh bahwa dia telah menggunakan danau SBEA untuk mengadakan pertemuan ISIS," lanjut dokumen gugatan tersebut yang dikutip dari The Star, Rabu (21/3/2018).
"SBEA menuduh bahwa Zanial dan tamunya memiliki bendera Amerika yang telah dinodai lambang ISIS dan mengenakan 'baju Muslim'," imbuh dokumen gugatan ACLU.
Spirit Aerosystems, tempat Zanial bekerja, kemudian mengajukan keluhan kepada Federal Bureau of Investigation (FBI).
Sebagai tindak lanjut, FBI menyingkirkan insinyur kedirgantaraan asal Malaysia itu pada bulan Oktober 2017. Sedangkan SBEA yang memiliki penyelidik swasta terus melakukan penyelidikan dan menghentikan sewa properti oleh Zanial.
Yang menyebabkan ACLU mengajukan gugatan federal pada hari Minggu (18/3/2018) terhadap SBEA adalah karena perilaku rasial dan diskriminasi agama terhadap Zanial.
"Secara tidak langsung, SBEA secara pribadi mendiskusikan tuduhan dengan (Munir) Zanial sebelum mengakhiri manfaat sewa tersebut, dan dia tidak diberi tahu soal penghentian (sewa) sampai dia kembali mencoba untuk memesan fasilitas rekreasi di kemudian hari," kata pihak ACLU.
"Cobaan itu telah menyebabkan Zanial mengalami stres dan kecemasan," lanjut ACLU.
"Dia prihatin bahwa penyelidikan dapat mempengaruhi status penduduk tetapnya yang sah, merasa tertekan dan merasa terhina berdasarkan etnis, ras dan agama," imbuh ACLU dalam sebuah pernyataan di situsnya.
Zanial telah tinggal di Wichita, Kansas bersama istri dan dua anaknya yang masih kecil sejak 2011. Kasus ini menjadi sorotan media-media di AS, termasuk The New York Times.
Menurut pernyataan dalam arsip ACLU, pesta itu dihadiri oleh sekitar 45 tamu yang mayoritas adalah warga Malaysia keturunan India.
Beberapa tamu perempuan Munir, termasuk istrinya, mengenakan jilbab. Pesta tersebut diadakan untuk merayakan sebuah perayaan Idul Adha dan hari Kemerdekaan Malaysia.
Munir memperoleh gelar master di bidang Aerospace Engineering dari Wichita State University dan menyelesaikan program studi kerja di National Institute for Aviation Research.
Insinyur Malaysia bernama Munir Zanial mengajukan gugatan yang difasilitasi American Civil Liberties Union (ACLU) cabang Kansas. Organisasi advokasi sipil itu menggambarkan kasus ini sebagai tindakan pencitraan ras yang berlebihan dan diskriminasi agama secara mencolok.
Kasus ini bemula ketika bendera Malaysia digunakan di sebuah pesta di sebuah danau rekreasi di kota Wichita, Kansas, September lalu.
Pemilik properti, Spirit Boeing Employees' Association (SBEA) mengeluh kepada atasan Zanial, insinyur Malaysia yang mengatur pesta.
SBEA menuduh Munir dan tamunya memiliki bendera ISIS dan sedang melakukan pertemuan ISIS dengan properti SBEA.
"Pada 2 September 2017, (Munir) Zanial menyelenggarakan pesta untuk merayakan Idul Adha di SBEA Recreational Lake di Wichita, Kansas," kata ACLU dalam gugatannya.
"Setelah pesta tersebut, SBEA melaporkan tim keamanan Zanial kepada Spirit Aerosystems berdasarkan kekhawatiran bahwa Zanial berafiliasi dengan terorisme radikal dan menuduh bahwa dia telah menggunakan danau SBEA untuk mengadakan pertemuan ISIS," lanjut dokumen gugatan tersebut yang dikutip dari The Star, Rabu (21/3/2018).
"SBEA menuduh bahwa Zanial dan tamunya memiliki bendera Amerika yang telah dinodai lambang ISIS dan mengenakan 'baju Muslim'," imbuh dokumen gugatan ACLU.
Spirit Aerosystems, tempat Zanial bekerja, kemudian mengajukan keluhan kepada Federal Bureau of Investigation (FBI).
Sebagai tindak lanjut, FBI menyingkirkan insinyur kedirgantaraan asal Malaysia itu pada bulan Oktober 2017. Sedangkan SBEA yang memiliki penyelidik swasta terus melakukan penyelidikan dan menghentikan sewa properti oleh Zanial.
Yang menyebabkan ACLU mengajukan gugatan federal pada hari Minggu (18/3/2018) terhadap SBEA adalah karena perilaku rasial dan diskriminasi agama terhadap Zanial.
"Secara tidak langsung, SBEA secara pribadi mendiskusikan tuduhan dengan (Munir) Zanial sebelum mengakhiri manfaat sewa tersebut, dan dia tidak diberi tahu soal penghentian (sewa) sampai dia kembali mencoba untuk memesan fasilitas rekreasi di kemudian hari," kata pihak ACLU.
"Cobaan itu telah menyebabkan Zanial mengalami stres dan kecemasan," lanjut ACLU.
"Dia prihatin bahwa penyelidikan dapat mempengaruhi status penduduk tetapnya yang sah, merasa tertekan dan merasa terhina berdasarkan etnis, ras dan agama," imbuh ACLU dalam sebuah pernyataan di situsnya.
Zanial telah tinggal di Wichita, Kansas bersama istri dan dua anaknya yang masih kecil sejak 2011. Kasus ini menjadi sorotan media-media di AS, termasuk The New York Times.
Menurut pernyataan dalam arsip ACLU, pesta itu dihadiri oleh sekitar 45 tamu yang mayoritas adalah warga Malaysia keturunan India.
Beberapa tamu perempuan Munir, termasuk istrinya, mengenakan jilbab. Pesta tersebut diadakan untuk merayakan sebuah perayaan Idul Adha dan hari Kemerdekaan Malaysia.
Munir memperoleh gelar master di bidang Aerospace Engineering dari Wichita State University dan menyelesaikan program studi kerja di National Institute for Aviation Research.
(mas)