AI: Militer Myanmar Rampas Tanah Rohingnya, Bangun Pangkalan Militer

Senin, 12 Maret 2018 - 21:20 WIB
AI: Militer Myanmar...
AI: Militer Myanmar Rampas Tanah Rohingnya, Bangun Pangkalan Militer
A A A
JAKARTA - Amnesty Internasional (AI) menuturkan negara bagian Rakhine di Myanmar dengan sangat cepat diubah menjadi wilayah militer oleh otoritas setempat. Militer, menurut AI membangun basis-basis pasukan keamanan dan membuldozer lahan di perkampungan milik etnis Muslim Rohingya yang sengaja dibakar hingga rata dengan tanah beberapa bulan lalu.

Lewat keterangan saksi mata dan analisis citra satelit, laporan AI "Remaking Rakhine State" membeberkan secara rinci bagaimana pembangunan proyek konstruksi meningkat di wilayah perkampungan Rohingya yang telah rata dengan tanah.

Pembangunan basis militer dilakukan setelah ratusan ribu warga Rohingya melarikan diri dari praktek pembersihan etnis yang dilakukan oleh militer tahun lalu. Jalan dan bangunan didirikan di perkampungan Rohingya membuat para pengungsi makin sulit untuk kembali ke rumah mereka lagi.

"Apa yang kami lihat di negara bagian Rakhine adalah praktek perampasan tanah oleh militer dalam skala yang sangat besar. Markas militer yang sedang dibangun justru diperuntukkan menjadi tempat tinggal bagi pasukan keamanan yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap komunitas Rohingya," ungkap Tirana Hassan, Direktur Penanggulangan Krisis Amnesty International.

"Hal ini membuat harapan agar pengungsi Rohingya dapat kembali secara sukarela, aman, dan bermartabat semakin jauh dari kenyataan. Tidak hanya rumah mereka yang hilang, tetapi pembangunan ini semakin memperparah diskriminasi yang mereka hadapi di Myanmar," sambungnya, dalam siaran pers yang diterima Sindones pada Senin (12/3).

AI menuturkan analisis mereka terhadap foto-foto satelit mengkonfirmasi setidaknnya terdapat tiga basis militer saat ini sedang dibangun di negara bagian Rakhine utara - dua di kota Maungdaw dan satu di kota Buthidaung. Pembangunannya mulai dijalankan sejak Januari.

Basis pasukan keamanan yang terbesar terletak di kampung Ah Lel Chaung di Buthidaung dimana saksi mata mengatakan bahwa militer secara paksa menggusur warga Rohingya dari area tertentu agar pembangunan infrastruktur bisa dilaksanakan. Banyak dari warga tidak punya pilihan lain kecuali melarikan diri ke Bangladesh.

Citra satelit, lanjut AI juga menunjukkan bagaimana pusat penerimaan pengungsi baru, yang dimaksudkan untuk "menyambut" kembali penduduk Rohingya dari Bangladesh - dikelilingi pagar keamanan dan terletak dekat dengan wilayah yang memiliki jumlah personil militer dan pasukan keamanan yang banyak. Sebuah pusat transit baru yang digunakan untuk menampung pengungsi dibangun di desa Rohingya di Maungdaw. Wilayah tersebut dijaga ketat oleh aparat keamanan.

"Rakhine adalah salah satu daerah termiskin di Myanmar dan investasi pembangunan sangat dibutuhkan. Tetapi, upaya semacam itu harus menguntungkan semua orang terlepas dari etnisitas mereka, tidak memperkuat sistem apartheid yang ada untuk menindas orang-orang Rohingya. Proses pembangunan kembali negara bagian Rakhine penuh kerahasiaan. Otoritas Myanmar tidak dapat melanjutkan kampanye pembersihan etnis atas nama 'pembangunan'," ucap Tirana.

"Komunitas international, dan khususnya setiap negara donor, mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa investasi atau bantuan yang mereka berikan tidak mendukung terjadinya pelanggaran HAM. Termasuk kontribusi yang memperkuat sistem diskriminatif itu serta yang memperkecil kemungkinan kembalinya pengungsi, sama dengan membantu kejahatan terhadap kemanusiaan di sana," tukasnya.
(esn)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5629 seconds (0.1#10.140)