Sejarah Konflik Rohingya, Lengkap dengan Penyebabnya Sangat Dibenci di Myanmar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Etnis Rohingya merupakan penduduk minoritas yang tinggal di wilayah Myanmar. Selama puluhan tahun etnis ini telah mengalami tindak kekerasan dan diskriminasi di negara tersebut sehingga membuat mereka harus mengungsi ke negara lain yang lebih aman.
Jumlah pengungsi yang membludak justru memberi masalah bagi negara yang ditinggali. Contohnya seperti di Indonesia, di mana mayoritas warga Aceh memberikan penolakan terhadap pengungsi tersebut karena dinilai tidak bisa menjaga kebersihan.
Etnis Rohingya telah ada di Myanmar sejak negara tersebut merdeka pada tahun 1948. Bahkan mereka sempat jadi salah satu etnis yang memiliki peranan dalam pemerintahan.
Namun, pada tahun 1962 ketika Jenderal Ne Win melakukan kudeta hingga pada akhirnya Ne Win berhasil menjadi Presiden Myanmar, sistem politik Myanmar berubah menjadi lebih otoriter.
Dilansir dari Doctors Without Borders, pada tahun 1977 Myanmar yang kala itu masih menyandang nama Burma melancarkan Operasi Raja Naga (Naga Min) di negara bagian Rakhine. Itu membuat etnis minoritas Rohingya dianggap “ilegal” dan dicabut kewarganegaraannya.
Tidak hanya itu, sepanjang tahun 1977-1978 terjadi banyak penangkapan, penganiayaan, dan kekerasan massal yang memaksa sekitar 200.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Hingga pada tahun 1979, warga Rohingya yang mengungsi tersebut dikembalikan ke negaranya lagi. Meski begitu, konflik yang melibatkan etnis Muslim ini masih terus terjadi.
Banyak faktor yang menjadi pemicu awal dari konflik yang berkepanjangan ini, mulai dari kasus pemerkosaan, diskriminasi warga minoritas, dan masalah entitas etnis.
Salah satu akar konflik tersebut adalah status etnis Rohingya yang masih dianggap imigran ilegal di Myanmar. Pemerintah Myanmar juga tidak mengakui serta tidak memberi status kewarganegaraan kepada mereka.
Sebagai akibat karena tidak memiliki kewarganegaraan, etnis Rohingya tidak bisa mengakses pendidikan, layanan kesehatan, dan bahkan pekerjaan yang layak.
Pemerintah Myanmar tak mengakui kewarganegaraan etnis Rohingya karena menganggap kelompok Muslim ini bukan merupakan kelompok etnis yang sudah ada di Myanmar sebelum kemerdekaan Myanmar pada 1948.
Sejak UU Kewarganegaraan 1982 diberlakukan di Myanmar, etnis yang diakui sebagai warga negara adalah etnis yang telah lama berada di Myanmar sebelum pendudukan kolonial Inggris tahun 1824. Tercatat ada 135 etnis namun warga Rohingya etnis Bengali tidak termasuk di dalamnya.
Penyebab konflik yang lainnya adalah adanya kecemburuan dari etnis Rakhine terhadap etnis Rohingya. Hal tersebut dikarenakan populasi etnis Muslim Rohingya dalam beberapa tahun terus meningkat.
Etnis Rohingya yang banyak menjadi korban perampasan tanah melampiaskan kekecewaannya pada etnis Rakhine yang jauh lebih dilindungi oleh pemerintah.
Sejak saat itu, tingkat kebencian warga Muslim Rohingya semakin besar dengan etnis Rakhine dan konflik antar-keduanya sering menimbulkan kerusakan dan pertikaian yang berlarut-larut di Provinsi Rakhine.
Pada masa rezim militer, mulai dari era Ne Win hingga tahun 2000, etnis Rohingya menghadapi situasi yang berat.
Salah penyebabnya adalah semakin gencarnya kebijakan Burmanisasi yang dilakukan dengan menerapkan program model village yaitu suatu perumahan yang dibangun khusus untuk orang-orang beragama Buddha seperti Buddha Rakhine dan orang Buddha dari etnis Burma.
Mereka didatangkan secara massal dan kemudian dibekali kebutuhan hidup berupa pasokan bahan pangan dan diberikan rumah yang layak huni oleh pemerintah Myanmar.
Pemerintah Myanmar bahkan menyita tanah warga Rohingya secara paksa untuk membangun model village ini, mereka kemudian menempatkan etnis Rakhine dan orang-orang Buddha di daerah-daerah mayoritas Muslim Rohingya.
Pada pada bulan Juni-Agustus tahun 2012, pemberitaan media internasional mulai memberitakan fakta-fakta tentang adanya konflik Rohingya.
Hal tersebut rupanya memancing kemarahan dari etnis Rakhine yang kemudian berakhir pada konflik yang tidak terhenti. Konflik ini memuncak pada juli 2012.
Puncak dari konflik ini ditandai dengan adanya pembakaran besar-besaran terhadap perumahan yang dihuni oleh etnis Rohingya serta penyerangan yang dilakukan oleh kedua belah etnis.
Bahkan tentara dan polisi Myanmar diduga ikut memprovokasi kedua etnis dan turut menyerang perkampungan Rohingnya. Banyak pihak yang mengecam konflik tersebut, hal ini dikarenakan Myanmar pada saat itu sedang mengalami proses demokrasi.
Jumlah pengungsi yang membludak justru memberi masalah bagi negara yang ditinggali. Contohnya seperti di Indonesia, di mana mayoritas warga Aceh memberikan penolakan terhadap pengungsi tersebut karena dinilai tidak bisa menjaga kebersihan.
Sejarah Konflik Rohingya
Etnis Rohingya telah ada di Myanmar sejak negara tersebut merdeka pada tahun 1948. Bahkan mereka sempat jadi salah satu etnis yang memiliki peranan dalam pemerintahan.
Namun, pada tahun 1962 ketika Jenderal Ne Win melakukan kudeta hingga pada akhirnya Ne Win berhasil menjadi Presiden Myanmar, sistem politik Myanmar berubah menjadi lebih otoriter.
Dilansir dari Doctors Without Borders, pada tahun 1977 Myanmar yang kala itu masih menyandang nama Burma melancarkan Operasi Raja Naga (Naga Min) di negara bagian Rakhine. Itu membuat etnis minoritas Rohingya dianggap “ilegal” dan dicabut kewarganegaraannya.
Tidak hanya itu, sepanjang tahun 1977-1978 terjadi banyak penangkapan, penganiayaan, dan kekerasan massal yang memaksa sekitar 200.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Hingga pada tahun 1979, warga Rohingya yang mengungsi tersebut dikembalikan ke negaranya lagi. Meski begitu, konflik yang melibatkan etnis Muslim ini masih terus terjadi.
Banyak faktor yang menjadi pemicu awal dari konflik yang berkepanjangan ini, mulai dari kasus pemerkosaan, diskriminasi warga minoritas, dan masalah entitas etnis.
Salah satu akar konflik tersebut adalah status etnis Rohingya yang masih dianggap imigran ilegal di Myanmar. Pemerintah Myanmar juga tidak mengakui serta tidak memberi status kewarganegaraan kepada mereka.
Sebagai akibat karena tidak memiliki kewarganegaraan, etnis Rohingya tidak bisa mengakses pendidikan, layanan kesehatan, dan bahkan pekerjaan yang layak.
Pemerintah Myanmar tak mengakui kewarganegaraan etnis Rohingya karena menganggap kelompok Muslim ini bukan merupakan kelompok etnis yang sudah ada di Myanmar sebelum kemerdekaan Myanmar pada 1948.
Sejak UU Kewarganegaraan 1982 diberlakukan di Myanmar, etnis yang diakui sebagai warga negara adalah etnis yang telah lama berada di Myanmar sebelum pendudukan kolonial Inggris tahun 1824. Tercatat ada 135 etnis namun warga Rohingya etnis Bengali tidak termasuk di dalamnya.
Penyebab konflik yang lainnya adalah adanya kecemburuan dari etnis Rakhine terhadap etnis Rohingya. Hal tersebut dikarenakan populasi etnis Muslim Rohingya dalam beberapa tahun terus meningkat.
Etnis Rohingya yang banyak menjadi korban perampasan tanah melampiaskan kekecewaannya pada etnis Rakhine yang jauh lebih dilindungi oleh pemerintah.
Sejak saat itu, tingkat kebencian warga Muslim Rohingya semakin besar dengan etnis Rakhine dan konflik antar-keduanya sering menimbulkan kerusakan dan pertikaian yang berlarut-larut di Provinsi Rakhine.
Pada masa rezim militer, mulai dari era Ne Win hingga tahun 2000, etnis Rohingya menghadapi situasi yang berat.
Salah penyebabnya adalah semakin gencarnya kebijakan Burmanisasi yang dilakukan dengan menerapkan program model village yaitu suatu perumahan yang dibangun khusus untuk orang-orang beragama Buddha seperti Buddha Rakhine dan orang Buddha dari etnis Burma.
Mereka didatangkan secara massal dan kemudian dibekali kebutuhan hidup berupa pasokan bahan pangan dan diberikan rumah yang layak huni oleh pemerintah Myanmar.
Pemerintah Myanmar bahkan menyita tanah warga Rohingya secara paksa untuk membangun model village ini, mereka kemudian menempatkan etnis Rakhine dan orang-orang Buddha di daerah-daerah mayoritas Muslim Rohingya.
Pada pada bulan Juni-Agustus tahun 2012, pemberitaan media internasional mulai memberitakan fakta-fakta tentang adanya konflik Rohingya.
Hal tersebut rupanya memancing kemarahan dari etnis Rakhine yang kemudian berakhir pada konflik yang tidak terhenti. Konflik ini memuncak pada juli 2012.
Puncak dari konflik ini ditandai dengan adanya pembakaran besar-besaran terhadap perumahan yang dihuni oleh etnis Rohingya serta penyerangan yang dilakukan oleh kedua belah etnis.
Bahkan tentara dan polisi Myanmar diduga ikut memprovokasi kedua etnis dan turut menyerang perkampungan Rohingnya. Banyak pihak yang mengecam konflik tersebut, hal ini dikarenakan Myanmar pada saat itu sedang mengalami proses demokrasi.
(mas)