Krisis Rohingya Genosida atau Bukan, PBB Belum Ambil Sikap

Kamis, 19 Oktober 2017 - 10:13 WIB
Krisis Rohingya Genosida atau Bukan, PBB Belum Ambil Sikap
Krisis Rohingya Genosida atau Bukan, PBB Belum Ambil Sikap
A A A
JENEWA - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) belum menentukan apakah kekerasan terhadap Muslim Rohingya di Myanmar memenuhi definisi hukum genosida. Demikian yang dikatakan Jyoti Sanghera, Kepala Asia Pasifik Kantor Komisioner Tinggi untuk HAM.

Sebelumnya, Komisaris Tinggi PBB untuk HAM Zeid Ra'ad al-Hussein telah menyebut situasi di Rakhine sebagai sebuah contoh teks book tentang pembersihan etnis. Meski begitu ia tidak menggunakan kata genosida.

"Kami belum melihat batas-batas hukum itu. Itu bisa memenuhi batas, tapi kita belum membuat keputusan hukum di OHCHR," jelas Sanghera seperti dikutip dari Reuters, Kamis (19/10/2017).

Tim PBB telah mengambil pernyataan saksi dari pengungsi Rohingya bulan lalu, dan misi hak asasi manusia lainnya saat ini di lapangan, mengumpulkan bukti dari sekitar 582 ribu orang Rohingya yang telah melarikan diri ke Bangladesh dalam dua bulan terakhir.

"Kesaksian yang dikumpulkan oleh tim tersebut mengacu pada kengerian yang tak terkatakan. Bahkan saat saya berbicara malam ini, dunia menyaksikan tontonan hebat tentang pemindahan paksa dan penderitaan besar-besaran," ujar Sanghera mengatakan kepada audiesn di Graduate Institute, Jenewa.

"Beberapa ratus ribu orang Rohingya diperkirakan tinggal di negara bagian Rakhine, Myanmar utara," imbuhnya.

Lebih jauh Sanghera mengungkapkan bahwa para pengungsi tersebut menggambarkan penahanan besar-besaran dan pemerkosaan sistematis oleh pasukan keamanan Myanmar, penghancuran desa Rohingya yang disengaja sehingga orang tidak dapat kembali.

"Mereka juga dengan sengaja menargetkan pemimpin budaya dan agama yang bertujuan untuk mengurangi sejarah, budaya dan pengetahuan Rohingya", katanya.

Para imam yang memiliki jenggot dicukur atau dibakar, dan perempuan dan anak perempuan diperkosa di dalam masjid. Beberapa pengungsi mengatakan tetangga non-Rohingya mereka diberi senjata dan seragam serta bekerja sama dengan pasukan keamanan.

"Pertanyaan dan ketegangan pasca-kolonial yang tidak stabil yang dipicu oleh kekuatan kolonial masa lalu telah dieksploitasi oleh junta militer di Myanmar untuk menjaga persaingan etnis yang mendidih," ucap Sanghera.

"Diskriminasi sistematis terhadap Muslim Rohingya terus dipertahankan oleh pemerintahan Aung San Suu Kyi yang terpilih secara demokratis, sampai pada suatu hal yang baru-baru ini disebut oleh Komisioner Tinggi untuk Hak Asasi Manusia sebagai 'pembersihan etnis' bagi seluruh rakyat," sambungnya.

Menunjuk Rohingya sebagai korban genosida di bawah konvensi PBB 1948 akan meningkatkan tekanan pada masyarakat internasional untuk mengambil tindakan melindungi mereka, dan dapat mengekspos pejabat Myanmar ke ancaman keadilan internasional yang lebih besar.

Konvensi PBB, yang disahkan setelah terjadinya holocaust Nazi, mewajibkan negara-negara untuk bertindak mencegah dan menghukum pelaku genosida, yang didefinisikan sebagai salah satu dari sejumlah tindakan yang dilakukan dengan niat untuk menghancurkan, keseluruhan atau sebagian etnis, ras atau agama.

Ini adalah satu dari empat kategori kejahatan yang tunduk pada yurisdiksi Pengadilan Pidana Internasional di Den Haag.
(ian)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3962 seconds (0.1#10.140)