'Saya Ditarik dari Puing-puing, Tak Akan Ada Lagi yang Tersisa dari Gaza'
loading...
A
A
A
GAZA - Alaa Zaher Ahmed adalah mahasiswi kedokteran tahun ketiga di Universitas Islam di Gaza. Dia satu dari sedikit warga Palestina yang selamat dari pengeboman brutal militer Zionis Israel di wilayah itu.
Mahasiswi itu mengisahkan dukanya dalam sebuah tulisan yang memilukan. Dia selamat, tapi para anggota keluarganya meninggal terkubur puing-puing bangunan di Gaza.
Berikut cerita Alaa Zaher Ahmed yang dipublikasikan Newsweek.
Kepala saya berdenyut-denyut dan hidung saya dipenuhi aroma tajam bahan peledak. Paru-paru saya menghirup debu puing yang pahit saat kegelapan menyelimuti saya.
Hal terakhir yang saya ingat pada tanggal 10 Oktober adalah merancang poster berwarna merah muda untuk kampanye kesadaran kanker payudara di perguruan tinggi kedokteran saya, tempat saya menjadi mahasiswi tahun ketiga.
Tiba-tiba, sekitar pukul 16.00 sore, jendela mulai bergetar dan warna merah jambu berubah menjadi hitam.
Saya belum paham kalau pesawat perang Israel telah mengebom rumah saya di Khan Yunis. Yang saya tahu hanyalah kaki saya terjepit, darah mengalir di wajah saya, dan oksigen hampir tidak cukup untuk bernapas.
Saya mulai berteriak dan menggedor bongkahan beton di atas saya.
"Aku mendengar ketukan!" sebuah suara teredam memanggil. Sebuah lubang kecil di atas saya dibersihkan dan tangan-tangan menarik saya keluar dari reruntuhan. Memar dan tergores, dengan luka di kepala, tapi masih hidup.
Saya menghabiskan malam di rumah sakit berdoa agar ibu saya, saudara perempuan saya; Reem, saudara laki-laki; Bilal, dan putra Bilal yang berusia tiga tahun; Mohammed, juga selamat.
Mahasiswi itu mengisahkan dukanya dalam sebuah tulisan yang memilukan. Dia selamat, tapi para anggota keluarganya meninggal terkubur puing-puing bangunan di Gaza.
Berikut cerita Alaa Zaher Ahmed yang dipublikasikan Newsweek.
Kepala saya berdenyut-denyut dan hidung saya dipenuhi aroma tajam bahan peledak. Paru-paru saya menghirup debu puing yang pahit saat kegelapan menyelimuti saya.
Hal terakhir yang saya ingat pada tanggal 10 Oktober adalah merancang poster berwarna merah muda untuk kampanye kesadaran kanker payudara di perguruan tinggi kedokteran saya, tempat saya menjadi mahasiswi tahun ketiga.
Tiba-tiba, sekitar pukul 16.00 sore, jendela mulai bergetar dan warna merah jambu berubah menjadi hitam.
Saya belum paham kalau pesawat perang Israel telah mengebom rumah saya di Khan Yunis. Yang saya tahu hanyalah kaki saya terjepit, darah mengalir di wajah saya, dan oksigen hampir tidak cukup untuk bernapas.
Saya mulai berteriak dan menggedor bongkahan beton di atas saya.
"Aku mendengar ketukan!" sebuah suara teredam memanggil. Sebuah lubang kecil di atas saya dibersihkan dan tangan-tangan menarik saya keluar dari reruntuhan. Memar dan tergores, dengan luka di kepala, tapi masih hidup.
Saya menghabiskan malam di rumah sakit berdoa agar ibu saya, saudara perempuan saya; Reem, saudara laki-laki; Bilal, dan putra Bilal yang berusia tiga tahun; Mohammed, juga selamat.