Menghadapi Krisis Paling Parah, Lebanon di Ujung Kehancuran

Kamis, 06 Agustus 2020 - 10:35 WIB
loading...
Menghadapi Krisis Paling Parah, Lebanon di Ujung Kehancuran
Krisis di Lebanon sebenarnya sudah sejak lama terjadi. Namun, pada pertengahan 2020 menjadi puncaknya ketika pandemi corona memburuk krisis ekonomi yang sudah lama terjadi. Krisis itu juga diperparah karena konflik sektarian yang sudah berlangsung sejak l
A A A
BEIRUT - Lebanon menghadapi krisis paling parah dan terburuk dalam sejarah sejak perang sipil 1975 -1990 dengan penurunan mata uang, inflasi, demonstrasi jalanan dan krisis ekonomi. Itu diperburuk dengan pandemi virus corona dan lockdown yang menyebabkan resesi ekonomi berkelanjutan.

Listrik padam di Lebanon bisa berlangsung selama lebih dari 20 jam dalam sehari. Sampah juga menumpuk di pinggir jalan. Antre membeli bahan bakar juga hingga beberapa kilometer dari stasiun pengisian. Hingga bagi warga Lebanon, mereka pun terbiasa dari satu bencana ke bencana lain atau dari satu krisis ke krisis lainnya.

Krisis menjadi semakin gelap karena banyak rumah sakit terancam ditutup karena tidak pasien tidak mampu membayar biaya perawatan dan tidak ada subsidi pemerintah. Banyak toko dan restoran ditutup karena tidak ada pasokan bahan makanan dan semakin sedikit pembeli. Kejahatan pun semakin merajalela. Polisi dan militer tidak bisa bertindak karena mereka tidak mendapat gaji dan jatah makanan. (Baca: Korban Ledakan Beirut Capai 100 Orang)

Krisis itu diperkirakan akan memburuk kedepannya karena rivalitas politik yang menyebabkan tidak ada stabilitas politik untuk menjadi dasar dalam penyelesaikan krisis ekonomi dan sosial. Kemiskinan semakin merebak dan pengangguran meningkat dikarenakan produk makanan sudah naik hingga 50% sejak akhir tahun lalu.

Usaha pemerintah untuk menyiapkan berbagai operasi penyelamatan ekonomi pun sepertinya sia-sia. Bantuan Dana Monter Internasional (IMF) dan Bank Dunia pun tidak mampu menyelamatkan. Negara tetangga di Timur Tengah pun masih berdiam diri. Maklum, negara Arab selalu melihat sisi politik dan latar belakang pemerintahan sehingga tidak memperhatikan rakyat Lebanon yang menderita.

Politik sektarian kerap sebagai penyebabkan konflik Lebanon terus berkepanjangan. Pemerintahan Lebanon saat ini dikuasai kelompok Syiah pro-Iran yakni Hezbollah dengan aliansi Kristen Mornite yakni Michel Aoun. Sedangkan rivalnya adalah politikus Sunni Saad al-Hariri.

Konflik politik mulai berkembang ketika peranan gubernur bank sentral Riad Salameh, arsitek perekonomian Suriah sejak 1993, terganggu. Salameh dinilai menyebabkan krisis mata uang dan kurangnya transparansi. Hariri, aliansi utama Negara Teluk dan Barat membela Salameh. (Baca juga: Ini Biang Kerok Penyebab Binis BPT Alami Kebangkrutan)

Paling parah, akhir tahun lalu juga terungkap apa yang analis sebut sebagai skema piramida efektif yang disponsori negara, atau skema Ponzi, yang dijalankan oleh bank sentral. Bank sentral meminjam dari bank-bank komersial dengan tingkat bunga di atas pasar guna membayar kembali utangnya sekaligus mempertahankan nilai tukar mata uang Lebanon dengan dolar AS.

Pada awal Oktober 2019, kekurangan mata uang asing menyebabkan mata uang Lebanon kehilangan nilai terhadap dolar untuk pertama kalinya dalam dua dekade. Kemudian, kebakaran hutan yang belum pernah terjadi sebelumnya di pegunungan barat negara itu menyoroti betapa kekurangan dana dan kurangnya pelayanan pemadam kebakaran.

Pada pertengahan Oktober, pemerintah mengusulkan pajak baru untuk rokok, bensin, dan panggilan suara via WhatsApp, untuk meraup pendapatan negara lebih banyak lagi . Namun, kecaman terhadap usulan itu memaksa pemerintah membatalkan rencana tersebut. (Baca juga: Media China Sentil Indonesia karena Menentang Klaim China di Laut China Selatan)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1142 seconds (0.1#10.140)