Hamas Diduga Gunakan Senjata Korut, Bisa Kacaukan Perang Darat Israel di Gaza
loading...
A
A
A
GAZA - Para pejabat Korea Selatan dan analis independen mengatakan kelompok Hamas kemungkinan besar menggunakan persenjataan Korea Utara dalam serangan mengejutkan terhadap Israel pada 7 Oktober lalu.
Pernyataan mereka berdasarkan bukti gambar dan video yang dirilis pekan lalu.
Di antara senjata buatan Korea Utara yang ditemukan dalam serangan 7 Oktober—yang diberi nama Operasi Badai al-Aqsa—adalah granat berpeluncur roket (RPG) F-7 dan peluru artileri 122 mm.
Sebuah video yang diperiksa oleh Associated Press juga menunjukkan para milisi Hamas menggunakan rudal anti-tank Pyongyang.
Juru bicara Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat (AS) John Kirby mengatakan dia tidak bisa mengonfirmasi laporan tentang sumber roket yang digunakan Hamas.
Pensiunan Mayor Jenderal Angkatan Udara AS Larry Stutzriem, direktur penelitian di Mitchell Institute for Aerospace Studies, mengatakan jenis senjata yang diduga digunakan Hamas itu dapat mempersulit manuver pasukan Israel dalam operasi perang kota di Gaza, Palestina.
“RPG dapat digunakan untuk menembak helikopter Israel,” kata Stutzriem, seperti dikutip dari Air and Space Forces, Senin (23/10/2023).
“Tetapi yang sebenarnya ingin mereka lakukan adalah jika Israel masuk ke Gaza, menggunakan RPG untuk meledakkan kendaraan mekanis yang membawa pasukan dan senjata. Mortir dan roket juga merupakan senjata teror," paparnya.
Stutzriem menggarisbawahi bahwa meskipun senjata-senjata tersebut mungkin bukan “pengubah permainan” bagi kelompok Hamas, potensi signifikansinya bergantung pada jumlah senjata Korea Utara yang dirahasiakan, seperti sistem anti-tank, yang dimiliki Hamas.
Pyongyang, melalui kantor berita KCNA, membantah persenjataannya terlibat dalam serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober.
Namun sebuah surat kabar pemerintah Korea Utara itu menerbitkan sebuah artikel yang menyalahkan Israel atas “tindakan kriminal yang terus-menerus terhadap rakyat Palestina".
Stutzriem mengatakan penemuan persenjataan Korea Utara yang dimiliki kelompok militan seperti Hamas seharusnya tidak mengejutkan.
“Korea Utara telah lama melakukan penjualan senjata ilegal,” kata Stutzriem.
“Komunitas intelijen telah mengamati hal ini selama beberapa dekade, sejak awal tahun 1990an. Cara rezim ini meningkatkan pendapatan adalah dengan menjual sebagian besar, hampir seluruhnya ke negara-negara yang menentang negara-negara demokrasi sekutunya di dunia," paparnya.
Menurut Stutzriem, kemungkinan besar Iran memfasilitasi pengadaan senjata-senjata tersebut.
Menurut Dewan Keamanan PBB, Pyongyang memiliki sejarah menjual rudal dan berbagi teknologi nuklir dengan negara-negara seperti Mesir, Iran, Libya, Suriah, dan Uni Emirat Arab.
Pada tahun 2009, Israel melaporkan sebuah pesawat kargo Korea Utara yang disita di Thailand sedang dalam perjalanan ke Hamas dan Hizbullah, membawa lebih dari 35 ton persenjataan, termasuk roket dan RPG.
"Menghentikan rezim mengambil keuntungan melalui penjualan senjata adalah sangat sulit,” kata Bruce Bennett, peneliti internasional/pertahanan di RAND Corporation.
“Korea Utara dapat mengirim senjata dengan kapal atau pesawat menuju Iran. Dan kemudian Iran dapat mengirim mereka ke Mesir dan kemudian ke Gaza,” kata Bennett.
“Ada beberapa hal yang dapat kami lakukan untuk mencegat beberapa kapal tersebut, namun selama masih ada kapal pihak ketiga atau pesawat pihak ketiga, sulit untuk menghentikan aliran semacam itu.”
Bennett menyarankan pendekatan yang lebih praktis bagi AS adalah dengan membujuk mitra-mitranya dalam Inisiatif Keamanan Proliferasi (PSI), yang diluncurkan pada tahun 2003 untuk mencegah perdagangan material dan senjata pemusnah massal.
“Salah satu cara terbaik yang bisa dilakukan Washington adalah melalui Inisiatif Keamanan Proliferasi,” kata Bennett.
“Mereka tidak akan menghentikan pergerakan pesawat tetapi mereka akan menghentikan pergerakan kapal jika mereka merasa memiliki barang selundupan.”
Melalui PSI, AS membujuk Panama untuk mencegat kapal Korea Utara pada 2014, yang membawa senjata tersembunyi dari Kuba kembali ke Pyongyang dengan membawa satu juta pon gula.
Bennett menambahkan bahwa di antara negara-negara bersenjata nuklir termasuk Rusia dan China, Korea Utara adalah kandidat yang paling mungkin menjual senjata nuklir kepada kelompok militan Timur Tengah, meskipun pemimpinnya; Kim Jong-un akan sangat berhati-hati dalam melakukan hal tersebut.
“Saya pikir tujuan Kim adalah memiliki 300 hingga 500 senjata nuklir. Dia mengatakan tahun lalu bahwa hanya untuk satu sistem rudalnya, dia berencana membuat 100 rudal Angkatan Laut yang semuanya memiliki hulu ledak nuklir,” kata Bennett.
“Jadi tebakan saya adalah ketika dia mencapai kisaran 200 hingga 300, dia memiliki apa yang disebut 'Bayangan Nuklir', yaitu dia mengambil tindakan seperti mengirimkan senjata nuklir ke Hamas," paparnya.
Berdasarkan proyek RAND, pada 2027, Pyongyang mungkin memiliki sekitar 200 senjata nuklir, beberapa lusin ICBM, dan banyak rudal teater untuk pengiriman nuklir.
Pernyataan mereka berdasarkan bukti gambar dan video yang dirilis pekan lalu.
Di antara senjata buatan Korea Utara yang ditemukan dalam serangan 7 Oktober—yang diberi nama Operasi Badai al-Aqsa—adalah granat berpeluncur roket (RPG) F-7 dan peluru artileri 122 mm.
Sebuah video yang diperiksa oleh Associated Press juga menunjukkan para milisi Hamas menggunakan rudal anti-tank Pyongyang.
Juru bicara Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat (AS) John Kirby mengatakan dia tidak bisa mengonfirmasi laporan tentang sumber roket yang digunakan Hamas.
Pensiunan Mayor Jenderal Angkatan Udara AS Larry Stutzriem, direktur penelitian di Mitchell Institute for Aerospace Studies, mengatakan jenis senjata yang diduga digunakan Hamas itu dapat mempersulit manuver pasukan Israel dalam operasi perang kota di Gaza, Palestina.
“RPG dapat digunakan untuk menembak helikopter Israel,” kata Stutzriem, seperti dikutip dari Air and Space Forces, Senin (23/10/2023).
“Tetapi yang sebenarnya ingin mereka lakukan adalah jika Israel masuk ke Gaza, menggunakan RPG untuk meledakkan kendaraan mekanis yang membawa pasukan dan senjata. Mortir dan roket juga merupakan senjata teror," paparnya.
Stutzriem menggarisbawahi bahwa meskipun senjata-senjata tersebut mungkin bukan “pengubah permainan” bagi kelompok Hamas, potensi signifikansinya bergantung pada jumlah senjata Korea Utara yang dirahasiakan, seperti sistem anti-tank, yang dimiliki Hamas.
Pyongyang, melalui kantor berita KCNA, membantah persenjataannya terlibat dalam serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober.
Namun sebuah surat kabar pemerintah Korea Utara itu menerbitkan sebuah artikel yang menyalahkan Israel atas “tindakan kriminal yang terus-menerus terhadap rakyat Palestina".
Stutzriem mengatakan penemuan persenjataan Korea Utara yang dimiliki kelompok militan seperti Hamas seharusnya tidak mengejutkan.
“Korea Utara telah lama melakukan penjualan senjata ilegal,” kata Stutzriem.
“Komunitas intelijen telah mengamati hal ini selama beberapa dekade, sejak awal tahun 1990an. Cara rezim ini meningkatkan pendapatan adalah dengan menjual sebagian besar, hampir seluruhnya ke negara-negara yang menentang negara-negara demokrasi sekutunya di dunia," paparnya.
Menurut Stutzriem, kemungkinan besar Iran memfasilitasi pengadaan senjata-senjata tersebut.
Menurut Dewan Keamanan PBB, Pyongyang memiliki sejarah menjual rudal dan berbagi teknologi nuklir dengan negara-negara seperti Mesir, Iran, Libya, Suriah, dan Uni Emirat Arab.
Pada tahun 2009, Israel melaporkan sebuah pesawat kargo Korea Utara yang disita di Thailand sedang dalam perjalanan ke Hamas dan Hizbullah, membawa lebih dari 35 ton persenjataan, termasuk roket dan RPG.
"Menghentikan rezim mengambil keuntungan melalui penjualan senjata adalah sangat sulit,” kata Bruce Bennett, peneliti internasional/pertahanan di RAND Corporation.
“Korea Utara dapat mengirim senjata dengan kapal atau pesawat menuju Iran. Dan kemudian Iran dapat mengirim mereka ke Mesir dan kemudian ke Gaza,” kata Bennett.
“Ada beberapa hal yang dapat kami lakukan untuk mencegat beberapa kapal tersebut, namun selama masih ada kapal pihak ketiga atau pesawat pihak ketiga, sulit untuk menghentikan aliran semacam itu.”
Bennett menyarankan pendekatan yang lebih praktis bagi AS adalah dengan membujuk mitra-mitranya dalam Inisiatif Keamanan Proliferasi (PSI), yang diluncurkan pada tahun 2003 untuk mencegah perdagangan material dan senjata pemusnah massal.
“Salah satu cara terbaik yang bisa dilakukan Washington adalah melalui Inisiatif Keamanan Proliferasi,” kata Bennett.
“Mereka tidak akan menghentikan pergerakan pesawat tetapi mereka akan menghentikan pergerakan kapal jika mereka merasa memiliki barang selundupan.”
Melalui PSI, AS membujuk Panama untuk mencegat kapal Korea Utara pada 2014, yang membawa senjata tersembunyi dari Kuba kembali ke Pyongyang dengan membawa satu juta pon gula.
Bennett menambahkan bahwa di antara negara-negara bersenjata nuklir termasuk Rusia dan China, Korea Utara adalah kandidat yang paling mungkin menjual senjata nuklir kepada kelompok militan Timur Tengah, meskipun pemimpinnya; Kim Jong-un akan sangat berhati-hati dalam melakukan hal tersebut.
“Saya pikir tujuan Kim adalah memiliki 300 hingga 500 senjata nuklir. Dia mengatakan tahun lalu bahwa hanya untuk satu sistem rudalnya, dia berencana membuat 100 rudal Angkatan Laut yang semuanya memiliki hulu ledak nuklir,” kata Bennett.
“Jadi tebakan saya adalah ketika dia mencapai kisaran 200 hingga 300, dia memiliki apa yang disebut 'Bayangan Nuklir', yaitu dia mengambil tindakan seperti mengirimkan senjata nuklir ke Hamas," paparnya.
Berdasarkan proyek RAND, pada 2027, Pyongyang mungkin memiliki sekitar 200 senjata nuklir, beberapa lusin ICBM, dan banyak rudal teater untuk pengiriman nuklir.
(mas)