Mengenal Tembok Israel Sepanjang 700 Km yang Memberi Penderitaan Besar untuk Palestina
loading...
A
A
A
GAZA - Tembok Israel atau yang dikenal dengan Tembok Tepi Barat ini telah berdiri selama lebih dari satu dekade. Seperti namanya, lokasi tembok ini berada di sepanjang Jalur Hijau dan di dalam bagian Tepi Barat.
Dalam catatan The United Nations Relief and Works Agency (UNRWA), disebutkan bahwa pada tahun 2002 Pemerintah Israel menyetujui pembangunan Penghalang di bagian utara Tepi Barat. Kemudian di tahun 2009, wilayah tertutup ini diperluas ke wilayah lain di Tepi Barat.
Tembok sepanjang lebih dari 700 km ini dibangun oleh Israel menyusul gelombang kekerasan politik Palestina dan insiden terorisme yang kian meningkat kala itu.
Diperkirakan ada sekitar 6.500 warga Palestina tinggal di wilayah militer tertutup tersebut. Tujuan utama Penghalang Tepi Barat adalah untuk meningkatkan keamanan Israel dengan mencegah penyusupan teroris Palestina ke wilayah Israel.
Israel menggambarkan tembok itu sebagai penghalang keamanan yang diperlukan terhadap kekerasan politik Palestina, sedangkan orang Palestina menggambarkannya sebagai elemen segregasi rasial dan representasi apartheid Israel.
Baca Juga: Pakar Militer: Israel Akan Hadapi Perang Kota yang Berdarah di Gaza
Pemerintah Israel telah mengklaim bahwa tembok ini berhasil mengurangi serangan teror dan insiden keamanan lainnya. Namun, tembok ini sangat kontroversial dan dikelilingi oleh banyak kontroversi internasional dan ketegangan politik.
Namun para kritikus mengatakan bahwa tembok ini melanggar hak-hak rakyat Palestina, memisahkan komunitas Palestina dari lahan pertanian dan sumber daya mereka, serta menciptakan hambatan bagi perdamaian antara Israel dan Palestina. Mereka juga menyatakan bahwa tembok ini, dalam beberapa kasus, merampas lahan Palestina yang vital.
Pengadilan Internasional di Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan pada tahun 2004 bahwa pembangunan Penghalang Tepi Barat di wilayah pendudukan Palestina adalah ilegal menurut hukum internasional dan menghendaki bahwa Israel harus menghentikan konstruksi tembok tersebut dan mengganti kerugian yang ditimbulkan. Namun, Israel tidak mengindahkan putusan ini.
Karena itulah Tembok Tepi Barat selalu menjadi salah satu isu utama dalam konflik Israel-Palestina, dan perdebatan tentang keberadaannya dan implikasinya terus berlanjut di tingkat nasional dan internasional.
Para petani yang ingin mengakses tanah mereka harus mendaftarkan nama mereka di gerbang tertentu, dan mereka memerlukan persetujuan terlebih dahulu atau mengajukan permohonan izin kepada otoritas Israel.
Hal ini biasanya memerlukan pajak tanah atau dokumen kepemilikan untuk membuktikan ‘hubungan dengan tanah’. Banyak petani tidak mampu memenuhi beban pembuktian ini karena hanya 33 % lahan di Tepi Barat yang terdaftar secara resmi dan banyak pengalihan lahan dilakukan melalui jalur informal dan tradisional.
Bagi para pengungsi, dampak negatif ini diperburuk oleh fakta bahwa mereka cenderung tidak memiliki jaminan kepemilikan tanah dan mengalami tingkat pengangguran dan kerawanan pangan yang lebih tinggi.
Dilaporkan bahwa lebih dari 90 persen permohonan izin ditolak antara tahun 2006 dan 2009 karena ketidakmampuan untuk membuktikan secara memadai ‘hubungan dengan lahan’ dan bukan karena pertimbangan keamanan.
Pembangunan tembok Israel ini juga telah mengakibatkan tumbangnya pohon zaitun di banyak wilayah dan mengisolasi banyak pohon di bagian luar penghalang. Padahal pertanian zaitun merupakan salah satu penyumbang pendapatan yang cukup signifikan bagi masyarakat Palestina pedesaan.
Itu membuat banyak petani zaitun melaporkan penurunan hasil panen pohon zaitun di belakang Penghalang sebesar 50-60 persen karena kurangnya akses teratur terhadap pohon tersebut untuk melakukan perawatan dan pemeliharaan yang diperlukan.
Dalam catatan The United Nations Relief and Works Agency (UNRWA), disebutkan bahwa pada tahun 2002 Pemerintah Israel menyetujui pembangunan Penghalang di bagian utara Tepi Barat. Kemudian di tahun 2009, wilayah tertutup ini diperluas ke wilayah lain di Tepi Barat.
Tembok sepanjang lebih dari 700 km ini dibangun oleh Israel menyusul gelombang kekerasan politik Palestina dan insiden terorisme yang kian meningkat kala itu.
Diperkirakan ada sekitar 6.500 warga Palestina tinggal di wilayah militer tertutup tersebut. Tujuan utama Penghalang Tepi Barat adalah untuk meningkatkan keamanan Israel dengan mencegah penyusupan teroris Palestina ke wilayah Israel.
Israel menggambarkan tembok itu sebagai penghalang keamanan yang diperlukan terhadap kekerasan politik Palestina, sedangkan orang Palestina menggambarkannya sebagai elemen segregasi rasial dan representasi apartheid Israel.
Baca Juga: Pakar Militer: Israel Akan Hadapi Perang Kota yang Berdarah di Gaza
Pemerintah Israel telah mengklaim bahwa tembok ini berhasil mengurangi serangan teror dan insiden keamanan lainnya. Namun, tembok ini sangat kontroversial dan dikelilingi oleh banyak kontroversi internasional dan ketegangan politik.
Namun para kritikus mengatakan bahwa tembok ini melanggar hak-hak rakyat Palestina, memisahkan komunitas Palestina dari lahan pertanian dan sumber daya mereka, serta menciptakan hambatan bagi perdamaian antara Israel dan Palestina. Mereka juga menyatakan bahwa tembok ini, dalam beberapa kasus, merampas lahan Palestina yang vital.
Pengadilan Internasional di Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan pada tahun 2004 bahwa pembangunan Penghalang Tepi Barat di wilayah pendudukan Palestina adalah ilegal menurut hukum internasional dan menghendaki bahwa Israel harus menghentikan konstruksi tembok tersebut dan mengganti kerugian yang ditimbulkan. Namun, Israel tidak mengindahkan putusan ini.
Karena itulah Tembok Tepi Barat selalu menjadi salah satu isu utama dalam konflik Israel-Palestina, dan perdebatan tentang keberadaannya dan implikasinya terus berlanjut di tingkat nasional dan internasional.
Dampak Tembok Israel untuk Palestina
Penghalang ini memberi dampak ekonomi yang merugikan terhadap masyarakat pedesaan, seperti komunitas pengungsi di daerah Biddu yang berpenduduk 6.800 jiwa, karena terputusnya akses ke lahan mereka sendiri.Para petani yang ingin mengakses tanah mereka harus mendaftarkan nama mereka di gerbang tertentu, dan mereka memerlukan persetujuan terlebih dahulu atau mengajukan permohonan izin kepada otoritas Israel.
Hal ini biasanya memerlukan pajak tanah atau dokumen kepemilikan untuk membuktikan ‘hubungan dengan tanah’. Banyak petani tidak mampu memenuhi beban pembuktian ini karena hanya 33 % lahan di Tepi Barat yang terdaftar secara resmi dan banyak pengalihan lahan dilakukan melalui jalur informal dan tradisional.
Bagi para pengungsi, dampak negatif ini diperburuk oleh fakta bahwa mereka cenderung tidak memiliki jaminan kepemilikan tanah dan mengalami tingkat pengangguran dan kerawanan pangan yang lebih tinggi.
Dilaporkan bahwa lebih dari 90 persen permohonan izin ditolak antara tahun 2006 dan 2009 karena ketidakmampuan untuk membuktikan secara memadai ‘hubungan dengan lahan’ dan bukan karena pertimbangan keamanan.
Pembangunan tembok Israel ini juga telah mengakibatkan tumbangnya pohon zaitun di banyak wilayah dan mengisolasi banyak pohon di bagian luar penghalang. Padahal pertanian zaitun merupakan salah satu penyumbang pendapatan yang cukup signifikan bagi masyarakat Palestina pedesaan.
Itu membuat banyak petani zaitun melaporkan penurunan hasil panen pohon zaitun di belakang Penghalang sebesar 50-60 persen karena kurangnya akses teratur terhadap pohon tersebut untuk melakukan perawatan dan pemeliharaan yang diperlukan.
(ahm)