6 Politikus Transgender Membuat Sejarah di Dunia, Nomor 4 Wakil PM Belgia
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Kesempatan transgender memiliki posisi di lembaga pemerintahan sudah terbuka lebar di banyak negara. Meskipun masih banyak pandangan miring, kaum transgender berusaha memberikan kontribusi terbaik.
Untuk mampu meraih posisi baik di pemerintahan atau lembaga legislatif, para politikus transgender juga berusaha unjuk diri dan kemampuan. Mereka ingin ditempatkan pada posisi yang setara dengan warga lainnya.
Hal itu tidak lain sebagai langkah untuk mengurangi stigma buruk tentang transgender. Dengan begitu, mereka bisa diterima positif di masyarakat.
Foto/Facebook
Pada 2019, nama Pauline Ngarmpring pernah sempat terkenal karena dia mencalonkan diri sebagai Perdana Menteri. Namun, dia tidak terpilih karena dianggap sebagai kandidat yang tidak difavoritkan.
Dalam wawancara dengan DW, Ngarmpring mengatakan dia ingin memberi harapan bagi kelompok yang terpinggirkan dan menciptakan ruang politik bagi generasi masa depan orang-orang LGBT. "Orang-orang di seluruh dunia berpikir bahwa Thailand adalah semacam surga bagi orang-orang LGBT tetapi pada kenyataannya sangat sulit bagi orang untuk membuka diri," katanya.
Foto/Reuters
Levine ditunjuk sebagai asisten Menteri Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan Amerika Serikat (AS) pada 25 Februari 2021.
Dia membuat sejarah sebagai orang transgender pertama yang secara terbuka dikonfirmasi dalam jabatan tinggi pemerintah oleh Senat AS, dengan suara senator 52-48 untuk menyetujui pengangkatannya sebagai asisten menteri kesehatan di pemerintahan Presiden AS Joe Biden.
Seorang profesor pediatri dan psikiatri di Penn State College of Medicine, Levine memimpin penanganan Pennsylvania terhadap pandemi virus corona sebagai pejabat tinggi kesehatan negara bagian.
Pada awal 2023 lalu, dia mendapatkan laksamana bintang empat pertama di Korps Pelayanan Kesehatan Masyarakat AS. Dia mengubah dirinya menjadi wanita pada 2011 padahal, dia memiliki dua anak dan seorang istri.
Foto/Reuters
Adrian merupakan wakil di Majelis Nasional Venezuela. Dia merupakan pemimpin partai Popular Will.
Setahun sebelum pemilihannya, dia mengajukan banding untuk pengakuan identitas gendernya ke Mahkamah Agung, tetapi meskipun mengumpulkan lebih dari 4.000 tanda tangan, kasus tersebut tidak mendapat tanggapan dari pengadilan. Alhasil, Adrian terpaksa berkampanye dengan nama di akte kelahirannya.
Foto/Reuters
De Sutter, seorang aktivis undang-undang progresif mengenai masalah transgender dan reproduksi yang dibantu secara medis, ditunjuk pada 2020. Dia menjadi salah satu dari tujuh wakil perdana menteri dalam pemerintahan koalisi Belgia.
Terpilih sebagai anggota Parlemen Eropa (MEP) pada 2019, De Sutter telah mengetuai Kelompok Antarparlemen Eropa tentang hak LGBTQ+ dan menjadi ketua bersama Kelompok Anggota Parlemen Melawan Kanker.
De Sutter juga menteri untuk layanan publik dan perusahaan publik, dan kelompok hak asasi LGBTQ+ menyambut baik penunjukannya sebagai langkah maju yang penting bagi politisi transgender di Eropa.
Foto/Reuters
Tang merupakan menteri digital Taiwan. Dia ditunjuk sebagai menteri digital pada 2016. Dia menjadi orang termuda yang memegang jabatan menteri di Taiwan.
Tang mengatakan menegaskan identitas gendernya menginformasikan politiknya dengan memberinya pemahaman yang lebih besar tentang apa artinya menjadi rentan.
Sebagai seorang menteri, dia telah berjanji untuk memberikan akses preferensial ke kontrak pemerintah untuk usaha sosial.
Foto/Wikipedia
Zambrano menduduki posisi sebagai anggota parlemen nasional Ekuador.
Dia merupakan tokoh LGBTQ kedua yang mencalonkan diri di Ekuador. Pada 1998, perlindungan dari diskriminasi untuk laki-laki gay dan lesbian dituliskan ke dalam konstitusi, tetapi tidak diperluas ke orang trans.
Zambrano, yang juga seorang aktivis selama lebih dari dua dekade, mengaku masih menerima ancaman pembunuhan atas pekerjaannya.
“Saya terus memperjuangkan hak-hak LGBT karena meskipun saya tidak mendapatkan manfaat dari hak-hak tersebut, generasi lain dapat hidup tanpa diskriminasi atau kekerasan,” tulisnya di situs hak asasi manusia Frontline Defenders pada tahun 2015.
Untuk mampu meraih posisi baik di pemerintahan atau lembaga legislatif, para politikus transgender juga berusaha unjuk diri dan kemampuan. Mereka ingin ditempatkan pada posisi yang setara dengan warga lainnya.
Hal itu tidak lain sebagai langkah untuk mengurangi stigma buruk tentang transgender. Dengan begitu, mereka bisa diterima positif di masyarakat.
Berikut adalah 6 politikus transgender yang mampu membuat sejarah di dunia.
1. Pauline Ngarmpring
Foto/Facebook
Pada 2019, nama Pauline Ngarmpring pernah sempat terkenal karena dia mencalonkan diri sebagai Perdana Menteri. Namun, dia tidak terpilih karena dianggap sebagai kandidat yang tidak difavoritkan.
Dalam wawancara dengan DW, Ngarmpring mengatakan dia ingin memberi harapan bagi kelompok yang terpinggirkan dan menciptakan ruang politik bagi generasi masa depan orang-orang LGBT. "Orang-orang di seluruh dunia berpikir bahwa Thailand adalah semacam surga bagi orang-orang LGBT tetapi pada kenyataannya sangat sulit bagi orang untuk membuka diri," katanya.
2. Rachel Levine
Foto/Reuters
Levine ditunjuk sebagai asisten Menteri Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan Amerika Serikat (AS) pada 25 Februari 2021.
Dia membuat sejarah sebagai orang transgender pertama yang secara terbuka dikonfirmasi dalam jabatan tinggi pemerintah oleh Senat AS, dengan suara senator 52-48 untuk menyetujui pengangkatannya sebagai asisten menteri kesehatan di pemerintahan Presiden AS Joe Biden.
Seorang profesor pediatri dan psikiatri di Penn State College of Medicine, Levine memimpin penanganan Pennsylvania terhadap pandemi virus corona sebagai pejabat tinggi kesehatan negara bagian.
Pada awal 2023 lalu, dia mendapatkan laksamana bintang empat pertama di Korps Pelayanan Kesehatan Masyarakat AS. Dia mengubah dirinya menjadi wanita pada 2011 padahal, dia memiliki dua anak dan seorang istri.
3. Tamara Adrian
Foto/Reuters
Adrian merupakan wakil di Majelis Nasional Venezuela. Dia merupakan pemimpin partai Popular Will.
Setahun sebelum pemilihannya, dia mengajukan banding untuk pengakuan identitas gendernya ke Mahkamah Agung, tetapi meskipun mengumpulkan lebih dari 4.000 tanda tangan, kasus tersebut tidak mendapat tanggapan dari pengadilan. Alhasil, Adrian terpaksa berkampanye dengan nama di akte kelahirannya.
4. Petra De Sutter
Foto/Reuters
De Sutter, seorang aktivis undang-undang progresif mengenai masalah transgender dan reproduksi yang dibantu secara medis, ditunjuk pada 2020. Dia menjadi salah satu dari tujuh wakil perdana menteri dalam pemerintahan koalisi Belgia.
Terpilih sebagai anggota Parlemen Eropa (MEP) pada 2019, De Sutter telah mengetuai Kelompok Antarparlemen Eropa tentang hak LGBTQ+ dan menjadi ketua bersama Kelompok Anggota Parlemen Melawan Kanker.
De Sutter juga menteri untuk layanan publik dan perusahaan publik, dan kelompok hak asasi LGBTQ+ menyambut baik penunjukannya sebagai langkah maju yang penting bagi politisi transgender di Eropa.
5. Audrey Tang
Foto/Reuters
Tang merupakan menteri digital Taiwan. Dia ditunjuk sebagai menteri digital pada 2016. Dia menjadi orang termuda yang memegang jabatan menteri di Taiwan.
Tang mengatakan menegaskan identitas gendernya menginformasikan politiknya dengan memberinya pemahaman yang lebih besar tentang apa artinya menjadi rentan.
Sebagai seorang menteri, dia telah berjanji untuk memberikan akses preferensial ke kontrak pemerintah untuk usaha sosial.
6. Diane Marie Rodriguez Zambrano
Foto/Wikipedia
Zambrano menduduki posisi sebagai anggota parlemen nasional Ekuador.
Dia merupakan tokoh LGBTQ kedua yang mencalonkan diri di Ekuador. Pada 1998, perlindungan dari diskriminasi untuk laki-laki gay dan lesbian dituliskan ke dalam konstitusi, tetapi tidak diperluas ke orang trans.
Zambrano, yang juga seorang aktivis selama lebih dari dua dekade, mengaku masih menerima ancaman pembunuhan atas pekerjaannya.
“Saya terus memperjuangkan hak-hak LGBT karena meskipun saya tidak mendapatkan manfaat dari hak-hak tersebut, generasi lain dapat hidup tanpa diskriminasi atau kekerasan,” tulisnya di situs hak asasi manusia Frontline Defenders pada tahun 2015.
(ahm)