5 Pemicu Ketegangan Serbia vs Kosovo, Nomor 3 Sejarah Jadi Penghalang
loading...
A
A
A
BRUSSELS - Ketegangan antara Serbia dan Kosovo kembali memanas. Konflik itu menimbulkan kekhawatiran bagi negara-negara di Eropa karena mereka juga dipusingkan dengan perang Ukraina-Rusia.
Konflik terbaru dipicu ketika polisi Kosovo menggerebek daerah-daerah yang didominasi Serbia di utara kawasan itu dan menyita gedung-gedung kotamadya. Bentrokan antara polisi Kosovo dan pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin NATO juga tak bisa dihindarkan.
Dunia sangat khawatir jika terulangnya konflik 1998-99 di Kosovo yang menewaskan lebih dari 10.000 jiwa. Konflik tersebut menyebabkan lebih dari satu juta orang kehilangan tempat tinggal.
Berikut 5 pemicu ketegangan antara Serbia dan Kosovo.
1. Serbia Tak Mengakui Status Kosovo
Foto/Reuters
Kosovo adalah wilayah berpenduduk mayoritas etnis Albania yang dulunya merupakan provinsi Serbia. Wilayah tersebut mendeklarasikan kemerdekaan pada 2008.
Serbia telah menolak untuk mengakui status kenegaraan Kosovo dan masih menganggapnya sebagai bagian dari Serbia, meskipun tidak memiliki kendali resmi di sana.
Kemerdekaan Kosovo telah diakui oleh sekitar 100 negara, termasuk Amerika Serikat.
Namun, Rusia, China, dan lima negara Uni Eropa memihak Serbia. Kebuntuan telah membuat ketegangan terus membara dan mencegah stabilisasi penuh wilayah Balkan setelah perang berdarah pada 1990-an.
2. Ketegangan Antar-etnis
Melansir Reuters, gejolak terbaru di Kosovo dan Serbia dipicu karena konflik etnis. Setelah orang Serbia memboikot pemilihan lokal bulan lalu yang diadakan di Kosovo utara, di mana orang Serbia merupakan mayoritas, walikota etnis Albania yang baru terpilih pindah ke kantor mereka dengan bantuan polisi anti huru hara Kosovo .
Orang Serbia berusaha mencegah mereka mengambil alih tempat itu, tetapi polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan mereka.
Demonstrasi digelar warga etnik Serbia melakukan protes di depan gedung kotamadya, memicu ketegangan yang mengakibatkan bentrokan sengit antara orang Serbia dan penjaga perdamaian Kosovo serta polisi setempat.
3. Berlatar belakang Sejarah
Foto/Reuters
Perselisihan Kosovo sudah berlangsung berabad-abad. Serbia menghargai wilayah itu sebagai jantung kenegaraan. Selain itu, faktor agama juga kerap dikaitkan.
Sebenarnya banyak biara Kristen Ortodoks Serbia abad pertengahan berada di Kosovo. Nasionalis Serbia memandang pertempuran pada 1389 melawan Turki Ottoman sebagai simbol perjuangan nasional mereka.
Mayoritas etnis Albania Kosovo memandang Kosovo sebagai negara mereka dan menuduh Serbia melakukan pendudukan dan penindasan. Pemberontak etnis Albania melancarkan pemberontakan pada 1998 untuk membebaskan negara dari kekuasaan Serbia.
Tanggapan brutal Beograd mendorong intervensi NATO pada 1999. Itu memaksa Serbia untuk menarik diri dan menyerahkan kendali kepada penjaga perdamaian internasional.
4. Dialog Selalu Buntu
Sudah banyak agenda internasional terus-menerus untuk menemukan titik temu, tetapi sejauh ini belum ada kesepakatan akhir.
Pejabat Uni Eropa (UE) berusaha memediasi negosiasi yang dirancang untuk menormalkan hubungan antara keduanya. Banyak kesepakatan sebenarnya sudah dicapai selama negosiasi, tetapi jarang diimplementasikan di lapangan.
Sebuah ide telah dilontarkan untuk perubahan perbatasan dan pertukaran lahan sebagai jalan ke depan, tetapi ini ditolak oleh banyak negara UE karena khawatir hal itu dapat menyebabkan reaksi berantai di daerah campuran etnis lainnya di Balkan dan memicu lebih banyak masalah di wilayah tersebut setelahnya perang tahun 1990-an.
5. Nasionalisme Jadi Penghambat
Foto/Reuters
Baik Kosovo maupun Serbia dipimpin oleh para pemimpin nasionalis yang belum menunjukkan kesiapan untuk berkompromi. Mereka lebih berpikir tentang kepentingan kelompoknya, sehingga sulit menemukan titik temu.
Di Kosovo, Albin Kurti, mantan pemimpin demonstran mahasiswa dan tahanan politik di Serbia, memimpin pemerintah dan negosiator utama dalam pembicaraan yang dimediasi UE. Dia juga dikenal sebagai pendukung kuat penyatuan Kosovo dengan Albania dan menentang kompromi apa pun dengan Serbia.
Sedangkan Serbia dipimpin oleh Presiden populis Aleksandar Vucic, yang menjadi menteri informasi selama perang di Kosovo. Mantan ultranasionalis itu menegaskan bahwa solusi apa pun harus berupa kompromi agar bertahan lama dan mengatakan bahwa negara tidak akan tenang kecuali memperoleh sesuatu.
Konflik terbaru dipicu ketika polisi Kosovo menggerebek daerah-daerah yang didominasi Serbia di utara kawasan itu dan menyita gedung-gedung kotamadya. Bentrokan antara polisi Kosovo dan pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin NATO juga tak bisa dihindarkan.
Dunia sangat khawatir jika terulangnya konflik 1998-99 di Kosovo yang menewaskan lebih dari 10.000 jiwa. Konflik tersebut menyebabkan lebih dari satu juta orang kehilangan tempat tinggal.
Berikut 5 pemicu ketegangan antara Serbia dan Kosovo.
1. Serbia Tak Mengakui Status Kosovo
Foto/Reuters
Kosovo adalah wilayah berpenduduk mayoritas etnis Albania yang dulunya merupakan provinsi Serbia. Wilayah tersebut mendeklarasikan kemerdekaan pada 2008.
Serbia telah menolak untuk mengakui status kenegaraan Kosovo dan masih menganggapnya sebagai bagian dari Serbia, meskipun tidak memiliki kendali resmi di sana.
Kemerdekaan Kosovo telah diakui oleh sekitar 100 negara, termasuk Amerika Serikat.
Namun, Rusia, China, dan lima negara Uni Eropa memihak Serbia. Kebuntuan telah membuat ketegangan terus membara dan mencegah stabilisasi penuh wilayah Balkan setelah perang berdarah pada 1990-an.
2. Ketegangan Antar-etnis
Melansir Reuters, gejolak terbaru di Kosovo dan Serbia dipicu karena konflik etnis. Setelah orang Serbia memboikot pemilihan lokal bulan lalu yang diadakan di Kosovo utara, di mana orang Serbia merupakan mayoritas, walikota etnis Albania yang baru terpilih pindah ke kantor mereka dengan bantuan polisi anti huru hara Kosovo .
Orang Serbia berusaha mencegah mereka mengambil alih tempat itu, tetapi polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan mereka.
Demonstrasi digelar warga etnik Serbia melakukan protes di depan gedung kotamadya, memicu ketegangan yang mengakibatkan bentrokan sengit antara orang Serbia dan penjaga perdamaian Kosovo serta polisi setempat.
3. Berlatar belakang Sejarah
Foto/Reuters
Perselisihan Kosovo sudah berlangsung berabad-abad. Serbia menghargai wilayah itu sebagai jantung kenegaraan. Selain itu, faktor agama juga kerap dikaitkan.
Sebenarnya banyak biara Kristen Ortodoks Serbia abad pertengahan berada di Kosovo. Nasionalis Serbia memandang pertempuran pada 1389 melawan Turki Ottoman sebagai simbol perjuangan nasional mereka.
Mayoritas etnis Albania Kosovo memandang Kosovo sebagai negara mereka dan menuduh Serbia melakukan pendudukan dan penindasan. Pemberontak etnis Albania melancarkan pemberontakan pada 1998 untuk membebaskan negara dari kekuasaan Serbia.
Tanggapan brutal Beograd mendorong intervensi NATO pada 1999. Itu memaksa Serbia untuk menarik diri dan menyerahkan kendali kepada penjaga perdamaian internasional.
4. Dialog Selalu Buntu
Sudah banyak agenda internasional terus-menerus untuk menemukan titik temu, tetapi sejauh ini belum ada kesepakatan akhir.
Pejabat Uni Eropa (UE) berusaha memediasi negosiasi yang dirancang untuk menormalkan hubungan antara keduanya. Banyak kesepakatan sebenarnya sudah dicapai selama negosiasi, tetapi jarang diimplementasikan di lapangan.
Sebuah ide telah dilontarkan untuk perubahan perbatasan dan pertukaran lahan sebagai jalan ke depan, tetapi ini ditolak oleh banyak negara UE karena khawatir hal itu dapat menyebabkan reaksi berantai di daerah campuran etnis lainnya di Balkan dan memicu lebih banyak masalah di wilayah tersebut setelahnya perang tahun 1990-an.
5. Nasionalisme Jadi Penghambat
Foto/Reuters
Baik Kosovo maupun Serbia dipimpin oleh para pemimpin nasionalis yang belum menunjukkan kesiapan untuk berkompromi. Mereka lebih berpikir tentang kepentingan kelompoknya, sehingga sulit menemukan titik temu.
Di Kosovo, Albin Kurti, mantan pemimpin demonstran mahasiswa dan tahanan politik di Serbia, memimpin pemerintah dan negosiator utama dalam pembicaraan yang dimediasi UE. Dia juga dikenal sebagai pendukung kuat penyatuan Kosovo dengan Albania dan menentang kompromi apa pun dengan Serbia.
Sedangkan Serbia dipimpin oleh Presiden populis Aleksandar Vucic, yang menjadi menteri informasi selama perang di Kosovo. Mantan ultranasionalis itu menegaskan bahwa solusi apa pun harus berupa kompromi agar bertahan lama dan mengatakan bahwa negara tidak akan tenang kecuali memperoleh sesuatu.
(ahm)