Pandemi Corona Picu Konflik Sosial di Beberapa Negara
loading...
A
A
A
SOFIA - Jutaan warga di dunia melakukan protes terkait sikap pemerintah dalam menangani virus Corona, Covid-19. Sebagian besar demonstrasi juga berujung pada kerusuhan sosial. Masyarakat tidak hanya frustrasi dengan upaya penanggulangan yang setengah matang tapi juga maraknya korupsi dana bantuan.
Demonstrasi meluas dan melebar di Israel, Bulgaria, Tongo hingga Lebanon. Demonstrasi tidak terkait dengan gerakan antirasisme di Amerika Serikat (AS) yang sempat melebar ke berbagai negara. Namun, demonstrasi tersebut terkait Covid-19, yakni masalah kesehatan yang sudah sangat mendasar bagi kehidupan manusia.
Publik di berbagai belahan dunia kini peduli karena urusan kesehatan sudah menjadi ranah politik. Kesehatan pribadi hingga masyarakat juga sudah dikendalikan oleh politik. Dengan desakan kepada pemerintah, mereka berharap akan terjadi perubahan, minimal pada kebijakan.
Meskipun demonstrasi itu kerap ditunggangi kelompok oposisi yang hendak memanfaatkan situasi dan kondisi terkini. Tujuannya adalah dorongan untuk perubahan kekuasaan. Kekecewaan terhadap pemerintah pastinya dan pertama kali diungkapkan oleh mereka yang tidak duduk di kekuasaan. Akan tetapi, Covid-19 bukan hanya isu. Itu adalah realitas pandemi yang memang menjadi ancaman nyata. (Baca: Kasus Virus Corona di Brasil Mencapai Dua Juta Orang)
Pandemi telah mengubah struktur perkembangan sosial-ekonomi di beberapa negara. Pandemi juga telah mengakibatkan krisis kemanusiaan dan berpotensi memicu kerusuhan dan konflik. Pandemi juga mendorong perubahan struktur, institusi, hingga struktur yang mengubah tatanan masyarakat yang awalnya damai. Jika tidak segera ditangani, pandemi akan mendorong munculnya konflik sosial yang lebih meluas.
Bulgaria, misalnya, telah dilanda demonstrasi sejak lama. Ribuan warga Bulgaria telah turun ke jalan menuntut adanya perbaikan tatanan di tingkat birokrasi, menyusul tingginya angka korupsi. Mereka bahkan berupaya menggulingkan pemerintahan kanan-tengah pimpinan Perdana Menteri (PM) Boyko Borissov.
Para pengunjuk rasa, yang meneriakkan slogan "mafia" dan "pengunduran diri", menuduh Borissov beserta antek-anteknya dan Kepala Jaksa Agung Ivan Geshev sengaja menunda penyelidikan pejabat korup dan oligarki domestik.
Unjuk rasa tersebut terjadi di berbagai kota di Negeri Balkan. Dengan tingginya intensitas protes hingga menimbulkan simpati sebagian besar masyarakat menyebabkan polisi kewalahan dan meminta pendemo tidak bersikap anarkis. (Baca juga: Anies Minta Masyarakat Tidak Anggap Remeh Kasus Covid-19)
Sampai kemarin, petugas keamanan Belgia setidaknya menangkap 18 orang setelah terjadi kerusuhan di beberapa titik. Mereka menyamakan pemerintahan Borissov mirip dengan lintah darat, seperti mafia dan menjadikan rakyat sebagai tumbal.
Bulgaria merupakan negara anggota Uni Eropa (UE) yang menderita kemiskinan dan korupsi. Protes dan tuntutan hukum terhadap koruptor tidak hanya terjadi kali ini, tapi beberapa tahun sebelumnya. Namun, sampai sekarang tidak ada pejabat senior yang didakwa tuduhan korupsi.
Demonstrasi meluas dan melebar di Israel, Bulgaria, Tongo hingga Lebanon. Demonstrasi tidak terkait dengan gerakan antirasisme di Amerika Serikat (AS) yang sempat melebar ke berbagai negara. Namun, demonstrasi tersebut terkait Covid-19, yakni masalah kesehatan yang sudah sangat mendasar bagi kehidupan manusia.
Publik di berbagai belahan dunia kini peduli karena urusan kesehatan sudah menjadi ranah politik. Kesehatan pribadi hingga masyarakat juga sudah dikendalikan oleh politik. Dengan desakan kepada pemerintah, mereka berharap akan terjadi perubahan, minimal pada kebijakan.
Meskipun demonstrasi itu kerap ditunggangi kelompok oposisi yang hendak memanfaatkan situasi dan kondisi terkini. Tujuannya adalah dorongan untuk perubahan kekuasaan. Kekecewaan terhadap pemerintah pastinya dan pertama kali diungkapkan oleh mereka yang tidak duduk di kekuasaan. Akan tetapi, Covid-19 bukan hanya isu. Itu adalah realitas pandemi yang memang menjadi ancaman nyata. (Baca: Kasus Virus Corona di Brasil Mencapai Dua Juta Orang)
Pandemi telah mengubah struktur perkembangan sosial-ekonomi di beberapa negara. Pandemi juga telah mengakibatkan krisis kemanusiaan dan berpotensi memicu kerusuhan dan konflik. Pandemi juga mendorong perubahan struktur, institusi, hingga struktur yang mengubah tatanan masyarakat yang awalnya damai. Jika tidak segera ditangani, pandemi akan mendorong munculnya konflik sosial yang lebih meluas.
Bulgaria, misalnya, telah dilanda demonstrasi sejak lama. Ribuan warga Bulgaria telah turun ke jalan menuntut adanya perbaikan tatanan di tingkat birokrasi, menyusul tingginya angka korupsi. Mereka bahkan berupaya menggulingkan pemerintahan kanan-tengah pimpinan Perdana Menteri (PM) Boyko Borissov.
Para pengunjuk rasa, yang meneriakkan slogan "mafia" dan "pengunduran diri", menuduh Borissov beserta antek-anteknya dan Kepala Jaksa Agung Ivan Geshev sengaja menunda penyelidikan pejabat korup dan oligarki domestik.
Unjuk rasa tersebut terjadi di berbagai kota di Negeri Balkan. Dengan tingginya intensitas protes hingga menimbulkan simpati sebagian besar masyarakat menyebabkan polisi kewalahan dan meminta pendemo tidak bersikap anarkis. (Baca juga: Anies Minta Masyarakat Tidak Anggap Remeh Kasus Covid-19)
Sampai kemarin, petugas keamanan Belgia setidaknya menangkap 18 orang setelah terjadi kerusuhan di beberapa titik. Mereka menyamakan pemerintahan Borissov mirip dengan lintah darat, seperti mafia dan menjadikan rakyat sebagai tumbal.
Bulgaria merupakan negara anggota Uni Eropa (UE) yang menderita kemiskinan dan korupsi. Protes dan tuntutan hukum terhadap koruptor tidak hanya terjadi kali ini, tapi beberapa tahun sebelumnya. Namun, sampai sekarang tidak ada pejabat senior yang didakwa tuduhan korupsi.