Hagia Sophia, Lebih dari Sekadar Tempat Ibadah
Senin, 13 Juli 2020 - 06:38 WIB
ISTANBUL - Hagia Sophia , bangunan bersejarah yang dibangun pada era Bizantium dengan arsitektur megah di Kota Istanbul, Turki, menjadi sorotan setelah pemerintah setempat menyatakan perubahan status dari museum menjadi masjid.
Didirikan pada 537, Hagia Sophia menjadi masterpiece pada masanya, bahkan hingga kini. Bangunan dengan kubah raksasa yang menjadi jantung perhatian itu selalu dikenang bagi orang yang mengunjungi Istanbul.
Pada awal keberadaannya, Hagia Sophia difungsikan sebagai gereja Kristen Ortodoks Konstantinopel dan menjadi jantung spiritual Bizantium (Romawi). Bangunan yang dibuat atas perintah Kaisar Bizantium, Justinian I, itu awalnya merupakan katedral terbesar di dunia selama hampir 1.000 tahun.
Namun, semuanya berubah ketika kota itu direbut Khilafah Turki Usmani pada 1453. Konstantinopel berganti nama menjadi Istanbul seiring dengan difungsikannya Hagia Sophia menjadi masjid bernama Ayasofya. Tetapi, pada 1935, Mustafa Kemal Ataturk, presiden pertama Turki yang dikenal sekuler, mengubah Hagia Sophia menjadi museum.
Adalah Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, yang pada Jumat (10/7/2020), menandatangani dekrit yang menjadi dasar hukum perubahan status Hagia Sophia di Istanbul dari museum menjadi masjid. Memang sudah sejak lama perubahan status dari museum menjadi masjid diserukan oleh Erdogan. Dia menyerukan agar Hagia Sophia diubah menjadi masjid selama kampanye pemilu tahun lalu. Menurutnya, kesalahan sangat besar mengubah Hagia Sophia menjadi museum. (Baca: Sejarah Hagia Sphia, Antara Katedral Kristen Ortodoks dan Masjid)
Keputusan menjadikan bangunan megah itu sebagai masjid muncul setelah keputusan Mahkamah Agung Turki membatalkan status museum bangunan ikonik tersebut. Keputusan itu memungkinkan situs budaya dunia ini berubah fungsi menjadi masjid. Kelompok Islam memang menuntut agar bangunan itu dikembalikan menjadi masjid. Tetapi, kelompok berhaluan sekuler menentang langkah itu.
“Dengan keputusan pengadilan, dengan sejumlah langkah yang kita putuskan, Hagia Sophia menjadi masjid lagi setelah 86 tahun. Itulah yang diinginkan Fatih, penakluk Istanbul,” kata Erdogan, dilansir Reuters. “Seperti semua masjid, pintu Hagia Sophia tetap terbuka untuk semua, warga lokal, orang asing, muslim dan nonmuslim,” kata Erdogan.
Bukan hanya Hagia Sophia, gereja Bizantium, yang diubah menjadi masjid. Pada 2019 pengadilan setempat juga memutuskan Chora, gereja Bizantium di Istanbul yang pernah menjadi masjid dan kemudian berubah menjadi museum dan kini status museumnya juga telah dibatalkan. Bangunan dari abad yang sama di Iznik dan Trabzon juga berubah fungsi menjadi masjid pada 2011 dan 2013. Itu semua karena menguatnya kepemimpinan Erdogan yang mendapatkan dukungan dari kalangan Islam.
Dalam pandangan Sinem Adar, peneliti di Pusat Kajian Turki di German Institute for International and Security Affairs, perubahan Hagia Sophia menjadi masjid bukan hanya mobilisasi populer. “Itu adalah retorika perang untuk melindungi kedaulatan nasional,” kata Adar, dilansir The Guardian.
Ikonik
Hagia Sophia memang menarik perhatian. Bangunan kubah yang ikonik ini terletak di distrik Fatih di Kota Istanbul, di sisi barat Selat Bosporus. Kaisar Bizantium Justinian I memerintahkan pembangunan katedral berukuran besar di Konstantinopel yang saat itu menjadi ibu kota Kekaisaran Bizantium atau Romawi. Para ahli bangunan membawa bahan-bahan dari seluruh wilayah Mediterania untuk membangun katedral kolosal tersebut.
Setelah pembangunan katedral itu rampung pada 537, kota ini menjadi tempat kedudukan pimpinan gereja Ortodoks. Upacara kenegaraan Kekaisaran Bizantium, seperti penobatan, dilangsungkan di bangunan tersebut.
Hagia Sophia menjadi rumah bagi Gereja Ortodoks Timur selama hampir 900 tahun, tetapi sempat dilarang pada periode singkat di abad ke-13, ketika tempat ini diubah menjadi Katedral Katolik Roma di bawah kontrol pasukan invasi dari Eropa selama Perang Salib Keempat. (Baca juga: Dunia Harus Didorong Tolak Aneksasi Barat)
Tetapi, pada 1453, Kekhalifahan Utsmaniyah di bawah Sultan Mehmed II atau Muhammad Al Fatih menguasai Konstantinopel dan mengganti namanya menjadi Istanbul, sekaligus mengakhiri Kekaisaran Bizantium untuk selamanya. Saat memasuki Hagia Sophia, Mehmed II bersikeras untuk merenovasi dan mengubahnya menjadi masjid. Dia pun menghadiri salat Jumat pertama di gedung itu. Para arsitek Utsmaniyah kemudian menghapus atau menutupi simbol-simbol Kristen Ortodoks di dalam bangunan itu dan menambahkan menara ke dalam strukturnya.
Hingga selesai pembangunan Masjid Biru di Istanbul pada 1616, Hagia Sophia adalah masjid utama di kota tersebut, dan arsitekturnya mengilhami pembangunan Masjid Biru dan beberapa masjid lainnya di sekitar kota dan dunia. Setelah berakhir Perang Dunia I pada 1918, Kekhalifahan Utsmaniyah yang mengalami kekalahan, wilayahnya dipecah-pecah oleh negara-negara sekutu sebagai pihak yang menang. Sejak dibuka kembali untuk umum pada 1935, tempat ini menjadi satu di antara tempat wisata paling banyak dikunjungi di Turki.
Aneka Penolakan
Dikarenakan bangunan bersejarah sudah berusia 1.500 tahun, Hagia Sophia memiliki makna keagamaan, spiritual, dan politik yang signifikan bagi kelompok-kelompok di dalam dan di luar Turki. Hagia Sophia pun bukan hanya milik Turki, tetapi juga warga dunia turut memilikinya.
Badan kebudayaan PBB, UNESCO, pernah menyatakan, harus ada diskusi yang mendalam sebelum Hagia Sophia diubah menjadi masjid. Wakil Direktur UNESCO Ernesto Ottone Ramirez mengatakan, diperlukan ada persetujuan yang lebih luas kalau ingin mengubah Hagia Sophia menjadi masjid. “Kita sudah menyurati Pemerintah Turki tentang proposal tersebut, tetapi tidak menerima jawaban,” kata Ernesto.
Kepala Gereja Ortodoks Timur menentang langkah itu seperti Pemerintah Yunani, rumah bagi jutaan pengikut Ortodoks. Menteri Kebudayaan Yunani Lina Mendoni bahkan menuduh Turki menghidupkan kembali sentimen nasionalis dan agama yang fanatik. “Situs Warisan Dunia UNESCO itu tidak diubah tanpa ada persetujuan komite antarpemerintah,” kata Mendoni.
Hal senada dikuatkan PM Yunani Kyriakos Mitsotakis. “Pilihannya adalah mengakui monumen itu sebagai Situs Warisan Dunia,” katanya. (Baca juga: kepala Puskesmas Slempit Gresik Meninggal Terpapar Covid-19)
Kepala Gereja Ortodoks Timur, yang dikenal sebagai Ecumenical Patriarch of Constantinople, yang masih berbasis di Istanbul, Patriark Bartholomew I memperingatkan bahwa perubahan bangunan itu akan “mengecewakan jutaan orang Kristen”. “Tindakan Turki bisa memecah belah dunia,” katanya. Gereja Ortodoks Rusia juga menyatakan hal yang sama.
Reaksi keras juga disampaikan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo. Dia memperingatkan bahwa setiap perubahan dalam status Hagia Sophia akan mengurangi kemampuannya “melayani umat manusia sebagai jembatan yang sangat dibutuhkan antara mereka yang berbeda keyakinan dan budaya”. Pekan lalu Duta Besar AS untuk Large for International Religious Freedom Sam Brownback telah meminta Turki agar membiarkan gedung itu berfungsi seperti semula. (Lihat videonya: Penjaga Masjid Lakukan Aksi Heroik SelamatkanKotak Amal)
Tetapi, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu bersikeras bahwa Athena tidak memiliki suara dalam keputusan tersebut karena gedung itu berada di wilayah Turki. “Apa yang kami lakukan di negara kami, dan dengan properti milik kami, itu tergantung pada kami,” katanya kepada stasiun televisi Turki 24 TV. (Muh Shamil)
Lihat Juga: Pertama Kali di Dunia! Drone Bayraktar TB3 Mampu Mampu Lepas Landas dari Kapal Perang Kecil
Didirikan pada 537, Hagia Sophia menjadi masterpiece pada masanya, bahkan hingga kini. Bangunan dengan kubah raksasa yang menjadi jantung perhatian itu selalu dikenang bagi orang yang mengunjungi Istanbul.
Pada awal keberadaannya, Hagia Sophia difungsikan sebagai gereja Kristen Ortodoks Konstantinopel dan menjadi jantung spiritual Bizantium (Romawi). Bangunan yang dibuat atas perintah Kaisar Bizantium, Justinian I, itu awalnya merupakan katedral terbesar di dunia selama hampir 1.000 tahun.
Namun, semuanya berubah ketika kota itu direbut Khilafah Turki Usmani pada 1453. Konstantinopel berganti nama menjadi Istanbul seiring dengan difungsikannya Hagia Sophia menjadi masjid bernama Ayasofya. Tetapi, pada 1935, Mustafa Kemal Ataturk, presiden pertama Turki yang dikenal sekuler, mengubah Hagia Sophia menjadi museum.
Adalah Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, yang pada Jumat (10/7/2020), menandatangani dekrit yang menjadi dasar hukum perubahan status Hagia Sophia di Istanbul dari museum menjadi masjid. Memang sudah sejak lama perubahan status dari museum menjadi masjid diserukan oleh Erdogan. Dia menyerukan agar Hagia Sophia diubah menjadi masjid selama kampanye pemilu tahun lalu. Menurutnya, kesalahan sangat besar mengubah Hagia Sophia menjadi museum. (Baca: Sejarah Hagia Sphia, Antara Katedral Kristen Ortodoks dan Masjid)
Keputusan menjadikan bangunan megah itu sebagai masjid muncul setelah keputusan Mahkamah Agung Turki membatalkan status museum bangunan ikonik tersebut. Keputusan itu memungkinkan situs budaya dunia ini berubah fungsi menjadi masjid. Kelompok Islam memang menuntut agar bangunan itu dikembalikan menjadi masjid. Tetapi, kelompok berhaluan sekuler menentang langkah itu.
“Dengan keputusan pengadilan, dengan sejumlah langkah yang kita putuskan, Hagia Sophia menjadi masjid lagi setelah 86 tahun. Itulah yang diinginkan Fatih, penakluk Istanbul,” kata Erdogan, dilansir Reuters. “Seperti semua masjid, pintu Hagia Sophia tetap terbuka untuk semua, warga lokal, orang asing, muslim dan nonmuslim,” kata Erdogan.
Bukan hanya Hagia Sophia, gereja Bizantium, yang diubah menjadi masjid. Pada 2019 pengadilan setempat juga memutuskan Chora, gereja Bizantium di Istanbul yang pernah menjadi masjid dan kemudian berubah menjadi museum dan kini status museumnya juga telah dibatalkan. Bangunan dari abad yang sama di Iznik dan Trabzon juga berubah fungsi menjadi masjid pada 2011 dan 2013. Itu semua karena menguatnya kepemimpinan Erdogan yang mendapatkan dukungan dari kalangan Islam.
Dalam pandangan Sinem Adar, peneliti di Pusat Kajian Turki di German Institute for International and Security Affairs, perubahan Hagia Sophia menjadi masjid bukan hanya mobilisasi populer. “Itu adalah retorika perang untuk melindungi kedaulatan nasional,” kata Adar, dilansir The Guardian.
Ikonik
Hagia Sophia memang menarik perhatian. Bangunan kubah yang ikonik ini terletak di distrik Fatih di Kota Istanbul, di sisi barat Selat Bosporus. Kaisar Bizantium Justinian I memerintahkan pembangunan katedral berukuran besar di Konstantinopel yang saat itu menjadi ibu kota Kekaisaran Bizantium atau Romawi. Para ahli bangunan membawa bahan-bahan dari seluruh wilayah Mediterania untuk membangun katedral kolosal tersebut.
Setelah pembangunan katedral itu rampung pada 537, kota ini menjadi tempat kedudukan pimpinan gereja Ortodoks. Upacara kenegaraan Kekaisaran Bizantium, seperti penobatan, dilangsungkan di bangunan tersebut.
Hagia Sophia menjadi rumah bagi Gereja Ortodoks Timur selama hampir 900 tahun, tetapi sempat dilarang pada periode singkat di abad ke-13, ketika tempat ini diubah menjadi Katedral Katolik Roma di bawah kontrol pasukan invasi dari Eropa selama Perang Salib Keempat. (Baca juga: Dunia Harus Didorong Tolak Aneksasi Barat)
Tetapi, pada 1453, Kekhalifahan Utsmaniyah di bawah Sultan Mehmed II atau Muhammad Al Fatih menguasai Konstantinopel dan mengganti namanya menjadi Istanbul, sekaligus mengakhiri Kekaisaran Bizantium untuk selamanya. Saat memasuki Hagia Sophia, Mehmed II bersikeras untuk merenovasi dan mengubahnya menjadi masjid. Dia pun menghadiri salat Jumat pertama di gedung itu. Para arsitek Utsmaniyah kemudian menghapus atau menutupi simbol-simbol Kristen Ortodoks di dalam bangunan itu dan menambahkan menara ke dalam strukturnya.
Hingga selesai pembangunan Masjid Biru di Istanbul pada 1616, Hagia Sophia adalah masjid utama di kota tersebut, dan arsitekturnya mengilhami pembangunan Masjid Biru dan beberapa masjid lainnya di sekitar kota dan dunia. Setelah berakhir Perang Dunia I pada 1918, Kekhalifahan Utsmaniyah yang mengalami kekalahan, wilayahnya dipecah-pecah oleh negara-negara sekutu sebagai pihak yang menang. Sejak dibuka kembali untuk umum pada 1935, tempat ini menjadi satu di antara tempat wisata paling banyak dikunjungi di Turki.
Aneka Penolakan
Dikarenakan bangunan bersejarah sudah berusia 1.500 tahun, Hagia Sophia memiliki makna keagamaan, spiritual, dan politik yang signifikan bagi kelompok-kelompok di dalam dan di luar Turki. Hagia Sophia pun bukan hanya milik Turki, tetapi juga warga dunia turut memilikinya.
Badan kebudayaan PBB, UNESCO, pernah menyatakan, harus ada diskusi yang mendalam sebelum Hagia Sophia diubah menjadi masjid. Wakil Direktur UNESCO Ernesto Ottone Ramirez mengatakan, diperlukan ada persetujuan yang lebih luas kalau ingin mengubah Hagia Sophia menjadi masjid. “Kita sudah menyurati Pemerintah Turki tentang proposal tersebut, tetapi tidak menerima jawaban,” kata Ernesto.
Kepala Gereja Ortodoks Timur menentang langkah itu seperti Pemerintah Yunani, rumah bagi jutaan pengikut Ortodoks. Menteri Kebudayaan Yunani Lina Mendoni bahkan menuduh Turki menghidupkan kembali sentimen nasionalis dan agama yang fanatik. “Situs Warisan Dunia UNESCO itu tidak diubah tanpa ada persetujuan komite antarpemerintah,” kata Mendoni.
Hal senada dikuatkan PM Yunani Kyriakos Mitsotakis. “Pilihannya adalah mengakui monumen itu sebagai Situs Warisan Dunia,” katanya. (Baca juga: kepala Puskesmas Slempit Gresik Meninggal Terpapar Covid-19)
Kepala Gereja Ortodoks Timur, yang dikenal sebagai Ecumenical Patriarch of Constantinople, yang masih berbasis di Istanbul, Patriark Bartholomew I memperingatkan bahwa perubahan bangunan itu akan “mengecewakan jutaan orang Kristen”. “Tindakan Turki bisa memecah belah dunia,” katanya. Gereja Ortodoks Rusia juga menyatakan hal yang sama.
Reaksi keras juga disampaikan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo. Dia memperingatkan bahwa setiap perubahan dalam status Hagia Sophia akan mengurangi kemampuannya “melayani umat manusia sebagai jembatan yang sangat dibutuhkan antara mereka yang berbeda keyakinan dan budaya”. Pekan lalu Duta Besar AS untuk Large for International Religious Freedom Sam Brownback telah meminta Turki agar membiarkan gedung itu berfungsi seperti semula. (Lihat videonya: Penjaga Masjid Lakukan Aksi Heroik SelamatkanKotak Amal)
Tetapi, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu bersikeras bahwa Athena tidak memiliki suara dalam keputusan tersebut karena gedung itu berada di wilayah Turki. “Apa yang kami lakukan di negara kami, dan dengan properti milik kami, itu tergantung pada kami,” katanya kepada stasiun televisi Turki 24 TV. (Muh Shamil)
Lihat Juga: Pertama Kali di Dunia! Drone Bayraktar TB3 Mampu Mampu Lepas Landas dari Kapal Perang Kecil
(ysw)
tulis komentar anda