RS Terbesar Sri Lanka Bangkrut, Pasien Masih Kesakitan Tak Diobati

Selasa, 26 Juli 2022 - 14:19 WIB
Rumah Sakit Nasional Sri Lanka, rumah sakit terbesar di negara itu, bangkrut akibat krisis ekonomi. Para pasien yang masih kesakitan tidak diobati. Foto/Daily News
KOLOMBO - Seluruh bangsal gelap dan hampir kosong di rumah sakit terbesar di Sri Lanka . Beberapa pasien yang masih kesakitan tidak diobati, dan para dokter bahkan tidak datang untuk shift mereka.

Krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya telah memberikan pukulan telak terhadap sistem perawatan kesehatan gratis dan universal, yang hanya beberapa bulan sebelumnya membuat iri negara-negara tetangga di Asia Selatan.

Menderita diabetes dan tekanan darah tinggi yang meradang persendiannya, Theresa Mary (70) pergi ke ibu kota; Kolombo, untuk berobat di Rumah Sakit Nasional Sri Lanka.



Karena tidak dapat menemukan tumpangan untuk perjalanan terakhirnya, dia harus berjalan pincang sejauh lima kilometer.

Dia dipulangkan empat hari kemudian, masih merasa sulit untuk berdiri, karena apotek telah kehabisan obat penghilang rasa sakit bersubsidi.



"Dokter meminta saya untuk membeli obat-obatan dari apotek swasta, tetapi saya tidak punya uang," kata Mary kepada AFP, Selasa (26/7/2022).

"Lutut saya masih bengkak. Saya tidak punya rumah di Kolombo. Saya tidak tahu berapa lama saya harus berjalan."

Rumah Sakit Nasional Sri Lanka biasanya melayani orang-orang di seluruh negeri yang membutuhkan perawatan spesialis, tetapi sekarang berjalan dengan staf yang berkurang dan banyak dari 3.400 tempat tidurnya tergeletak tidak terpakai.

Persediaan peralatan operasi dan obat-obatan penyelamat hampir habis, sementara kekurangan bahan bakar kronis telah membuat pasien dan dokter tidak dapat melakukan perjalanan untuk perawatan pasien.

"Pasien yang dijadwalkan untuk operasi tidak melapor," kata Dr Vasan Ratnasingham, anggota asosiasi petugas medis pemerintah, kepada AFP.

"Beberapa staf medis bekerja dua shift karena yang lain tidak bisa melapor untuk bertugas. Mereka punya mobil tapi tidak punya bahan bakar."

Sri Lanka mengimpor 85 persen obat-obatan dan peralatan medisnya, bersama dengan bahan baku untuk memproduksi sisa kebutuhannya.

Tetapi negara itu sekarang bangkrut dan kurangnya mata uang asing telah membuatnya tidak dapat memperoleh cukup bahan bakar untuk menjaga perekonomian tetap bergerak. Sri Lanka juga tidak berdaya mengimpor obat-obatan untuk mengobati penyakit para warganya yang sakit.

"Pereda nyeri normal, antibiotik, dan obat-obatan anak sangat terbatas. Obat-obatan lain menjadi empat kali lipat mahal dalam tiga bulan terakhir," kata pemilik apotek, K. Mathiyalagan, kepada AFP.

Mathiyalagan mengatakan rekan-rekannya harus menolak tiga dari setiap 10 resep karena mereka tidak memiliki sarana untuk mengisinya.

“Banyak obat-obatan dasar yang benar-benar habis,” imbuh dia.

"Dokter meresepkan tanpa mengetahui apa yang tersedia di apotek."

Pejabat Kementerian Kesehatan menolak untuk memberikan rincian tentang keadaan layanan kesehatan masyarakat Sri Lanka saat ini, di mana 90 persen dari populasi bergantung.

Tetapi para dokter yang bekerja di rumah sakit pemerintah mengatakan mereka terpaksa membatasi operasi rutin untuk memprioritaskan keadaan darurat yang mengancam jiwa, dan menggunakan obat-obatan pengganti yang kurang efektif.

"Sistem perawatan kesehatan Sri Lanka yang dulu kuat sekarang dalam bahaya," kata Koordinator Residen PBB Hanaa Singer-Hamdy dalam sebuah pernyataan.

"Yang paling rentan menghadapi dampak terbesar."

Bank Dunia baru-baru ini mengalihkan dana pembangunan untuk membantu Sri Lanka membayar obat-obatan yang sangat dibutuhkan, termasuk vaksin anti-rabies.

India, Bangladesh, Jepang, dan negara-negara lain telah membantu dengan sumbangan untuk sektor perawatan kesehatan, sementara warga Sri Lanka yang tinggal di luar negeri ikut serta dengan mengirimkan obat-obatan dan peralatan medis ke rumah.

Tetapi Presiden baru Ranil Wickremesinghe telah memperingatkan bahwa krisis ekonomi negara itu kemungkinan akan berlanjut hingga akhir tahun depan, dan Sri Lanka menatap prospek krisis kesehatan masyarakat yang lebih buruk yang akan datang.

Hiperinflasi telah mendorong harga pangan begitu tinggi sehingga banyak rumah tangga berjuang untuk memenuhi kebutuhan makan mereka sendiri.

Menurut Program Pangan Dunia, hampir lima juta orang—22 persen dari populasi—membutuhkan bantuan makanan, dengan lebih dari lima dari setiap enam keluarga melewatkan makan, makan lebih sedikit atau membeli makanan berkualitas rendah.

"Jika krisis berlarut-larut, lebih banyak bayi akan meninggal, dan malnutrisi akan merajalela di Sri Lanka," kata Dr Vasan dari asosiasi petugas medis kepada AFP.

"Ini akan membawa sistem perawatan kesehatan kita ke ambang kehancuran."
(min)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More