NATO Prediksi Bagaimana Konflik Ukraina akan Berakhir

Minggu, 26 Juni 2022 - 05:01 WIB
Pasukan pro-Rusia menembakkan Howitzer 2S1 Gvozdika ke arah Sievierodonetsk di wilayah Luhansk, 24 Mei 2022. Foto/REUTERS/Alexander Ermochenko
BRUSSELS - Konflik antara Rusia dan Ukraina mungkin akan berakhir dengan penyelesaian yang dirundingkan. Meski demikian, itu tidak berarti Barat harus berhenti mengirim senjata ke Kiev atau mengurangi tekanan sanksi terhadap Moskow.

Pernyataan itu diungkapkan Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg pada Sabtu (25/6/2022).

“Kemungkinan besar, perang ini akan berakhir di meja perundingan,” ujar Stoltenberg kepada surat kabar Spanyol El Pais, mengakui kemenangan militer tidak akan terjadi.





"Tanggung jawab kami adalah memastikan Ukraina berada dalam posisi terkuat dan membantunya tetap menjadi negara Eropa yang berdaulat dan independen," papar dia.

Menurut dia, cara terbaik untuk memperkuat posisi Kiev menjelang pembicaraan dengan Moskow adalah memberikan dukungan militer yang kuat, dukungan ekonomi, dan mendorong melalui sanksi keras terhadap Rusia.



Namun, dia menolak mengatakan kapan negosiasi antara Rusia dan Ukraina bisa dilakukan.

“Kedamaian selalu bisa dicapai jika Anda menyerah. Tetapi Ukraina berjuang untuk kebebasannya, demi haknya untuk hidup, untuk hak menjadi negara demokratis tanpa tunduk pada kekuasaan Rusia. Dan Ukraina siap membayar harga yang sangat tinggi, mengorbankan diri mereka untuk nilai-nilai ini. Bukan tugas kami untuk memberi tahu mereka seberapa jauh pengorbanan mereka harus dilakukan,” ujar Stoltenberg.



Ketika ditanya apakah mempersenjatai Kiev oleh Barat memicu konflik dan meningkatkan korban jiwa di Ukraina, kepala NATO itu menjawab, “Kami membantu mereka karena mereka memintanya.”

“Sepanjang sejarah kita telah melihat negara-negara bersedia menerima pengorbanan besar untuk kebebasan,” ungkap dia.

Stolteneng juga mencatat meskipun persenjataan disediakan ke Ukraina oleh Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE), “Tidak ada perang total antara NATO dan Rusia.”

Moskow telah berulang kali memperingatkan pengiriman senjata asing ke Kiev, dengan alasan senjata hanya akan memperpanjang pertempuran dan meningkatkan risiko konfrontasi langsung antara Rusia dan NATO.

Pada April, Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia Sergey Lavrov menggambarkan konflik di Ukraina sebagai perang proxy yang dilakukan aliansi militer pimpinan AS melawan Moskow.

Delegasi Rusia dan Ukraina dari berbagai tingkatan mengadakan beberapa putaran negosiasi damai tak lama setelah pecahnya pertempuran.

Tetapi tidak ada pertemuan tatap muka antara kedua pihak sejak akhir Maret, ketika mereka bertemu di Istanbul.

Moskow pada awalnya optimis tentang hasil pembicaraan di Turki, tetapi kemudian menuduh Kiev mundur dari kesepakatan yang telah dicapai di sana.

Rusia menyatakan telah kehilangan semua kepercayaan pada negosiator Ukraina.

Rusia menyerang Ukraina menyusul kegagalan Kiev menerapkan persyaratan perjanjian Minsk, yang pertama kali ditandatangani pada 2014, dan pengakuan Moskow atas kemerdekaan republik Donbass, Donetsk dan Luhansk.

Protokol yang ditengahi Jerman dan Prancis dirancang untuk memberikan status khusus kepada daerah-daerah yang memisahkan diri di dalam negara Ukraina.

Kremlin sejak itu menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO yang dipimpin AS.

Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan membantah klaim pihaknya berencana merebut kembali kedua republik dengan paksa.
(sya)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More