Rusia Disebut Dapat Padamkan Listrik AS Hanya dalam Satu Langkah
Senin, 13 Juni 2022 - 20:06 WIB
WASHINGTON - Keputusan Rusia menghentikan pasokan uranium yang diperkaya ke perusahaan-perusahaan listrik Amerika Serikat (AS) akan membuat banyak reaktor nuklir Amerika offline dalam waktu satu tahun.
Langkah itu akan menyebabkan lonjakan harga listrik melebihi inflasi harga saat ini. Situasi itu berpotensi membuat beberapa daerah di negara itu tidak dapat memenuhi permintaan listrik.
Hasil analisa itu diungkapkan The Hill terkait "dominasi tenaga nuklir Rusia", dilansir Sputnik pada Senin (13/6/2022).
Peringatan keras itu menyusul laporan pekan lalu yang menunjukkan China mengendalikan hampir 90% pasokan mineral tanah langka dunia.
Itu artinya, Beijing dapat membuat kompleks industri militer AS kekurangan kemampuannya memproduksi senjata baru dengan menghentikan ekspor sumber daya itu.
Laporan tersebut, yang ditulis mantan Wakil Sekretaris Departemen Energi AS Paul Dabbar dan peneliti energi Universitas Columbia Matt Bowen, menunjukkan tenaga nuklir menyumbang lebih dari 20% dari kapasitas pembangkit listrik AS.
Hampir setengah dari uranium yang digunakan oleh 56 pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) operasional di AS diimpor dari Rusia, Kazakhstan, dan Uzbekistan.
Dabbar dan Bowen mencatat meskipun Rusia hanya menambang 6% uranium dunia, Rusia menguasai sekitar 40% pasar konversi uranium global, dan 46% dari total kapasitas pengayaan uranium.
“Negara-negara lain bahkan lebih bergantung pada Rusia untuk kebutuhan pembangkit tenaga nuklir mereka,” ungkap para penulis laporan itu.
“Finlandia, Republik Ceko, Hungaria, Finlandia, dan Turki bergantung pada raksasa nuklir negara Rusia Rosatom untuk segala hal mulai dari penambangan uranium, penggilingan, konversi, pengayaan, dan fabrikasi bahan bakar untuk konstruksi dan servis reaktor mutakhir,” papar laporan itu.
Dabbar dan Bowen mendesak para pemimpin Barat untuk, “Segera mempertimbangkan paparan mereka terhadap ekspor nuklir Rusia dan mengambil langkah-langkah untuk menguranginya atau menghadapi kejutan energi lain di tangan Putin.”
Mereka mendesak pemerintah federal AS memberikan bantuan dan insentif bagi perusahaan yang melakukan konversi uranium dan fasilitas pengayaan di AS untuk membangun kembali rantai pasokan bahan bakar nuklir negara yang bobrok.
Penulis laporan tersebut tidak merinci mengapa “Putin” atau Rusia akan bergerak untuk menghilangkan AS atau Eropa dari kebutuhan sumber daya terkait energi nuklir mereka.
Dalam beberapa bulan terakhir, terlepas dari krisis Ukraina, pemerintah Rusia dan perusahaan-perusahaan besar, termasuk Rosatom, Gazprom, dan Rosneft, sejauh ini berkomitmen terus memenuhi kontrak dengan mitra komersial mereka.
Mereka memberi peringatan bahwa gas yang dibeli negara-negara yang memberikan sanksi kepada Rusia harus dibayar dalam rubel.
Pada Maret, Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak mengatakan Moskow sedang mempertimbangkan larangan ekspor uranium ke AS sebagai tanggapan atas sanksi Washington, tetapi tidak ada keputusan akhir tentang masalah tersebut yang telah dibuat.
Putin dan pejabat lainnya memandang dengan bingung pada keputusan yang dibuat negara-negara Barat untuk mengurangi ketergantungan pada pengiriman energi Rusia.
Bulan lalu, presiden Rusia menyesali keputusan Uni Eropa untuk melakukan "bunuh diri ekonomi" dengan mengurangi pembelian gas Rusia.
Menurut Putin, keputusan Barat itu tidak hanya akan mengakibatkan harga tinggi bagi konsumen, tetapi juga merusak daya saing industri Eropa secara global.
“Auto-da-fe ekonomi seperti itu…tentu saja merupakan urusan internal negara-negara Eropa. Kita harus melanjutkan secara pragmatis dan terutama dari kepentingan ekonomi kita sendiri,” tutur Putin.
Presiden AS Joe Biden menandatangani perintah eksekutif pada Maret yang melarang impor energi Rusia, tetapi meninggalkan uranium dari daftar barang terlarang Washington.
Langkah Biden itu menyusul lobi berat dari National Energy Institute, kelompok perdagangan perusahaan pembangkit tenaga nuklir AS yang besar.
Minyak Rusia hanya menyumbang 1% dari konsumsi AS, tetapi kerugiannya berdampak nyata pada harga energi AS, dengan harga bensin mencapai level tertinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya di atas USD5 per galon pekan lalu.
Biden selalu menyalahkan Putin, perusahaan minyak AS, virus corona, dan bahkan bantuan AS ke Ukraina atas krisis tersebut, tetapi bukan kebijakan pemerintahannya sendiri.
AS telah bergantung pada impor uranium Rusia sejak awal 1990-an. Pada tahun 1993, Wakil Presiden saat itu Al Gore dan Perdana Menteri Rusia Viktor Chernomyrdin menandatangani kesepakatan 20 tahun senilai USD11,9 miliar untuk pengiriman lebih dari 550 metrik ton uranium yang diperkaya yang diekstraksi dari hulu ledak nuklir Soviet yang dibuang.
Pengiriman ini akhirnya memasok sekitar 10% dari semua listrik yang dihasilkan di Amerika Serikat selama 15 tahun ke depan, dan memompa lebih dari tujuh miliar megawatt jam energi.
Langkah itu akan menyebabkan lonjakan harga listrik melebihi inflasi harga saat ini. Situasi itu berpotensi membuat beberapa daerah di negara itu tidak dapat memenuhi permintaan listrik.
Hasil analisa itu diungkapkan The Hill terkait "dominasi tenaga nuklir Rusia", dilansir Sputnik pada Senin (13/6/2022).
Peringatan keras itu menyusul laporan pekan lalu yang menunjukkan China mengendalikan hampir 90% pasokan mineral tanah langka dunia.
Itu artinya, Beijing dapat membuat kompleks industri militer AS kekurangan kemampuannya memproduksi senjata baru dengan menghentikan ekspor sumber daya itu.
Laporan tersebut, yang ditulis mantan Wakil Sekretaris Departemen Energi AS Paul Dabbar dan peneliti energi Universitas Columbia Matt Bowen, menunjukkan tenaga nuklir menyumbang lebih dari 20% dari kapasitas pembangkit listrik AS.
Hampir setengah dari uranium yang digunakan oleh 56 pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) operasional di AS diimpor dari Rusia, Kazakhstan, dan Uzbekistan.
Dabbar dan Bowen mencatat meskipun Rusia hanya menambang 6% uranium dunia, Rusia menguasai sekitar 40% pasar konversi uranium global, dan 46% dari total kapasitas pengayaan uranium.
“Negara-negara lain bahkan lebih bergantung pada Rusia untuk kebutuhan pembangkit tenaga nuklir mereka,” ungkap para penulis laporan itu.
“Finlandia, Republik Ceko, Hungaria, Finlandia, dan Turki bergantung pada raksasa nuklir negara Rusia Rosatom untuk segala hal mulai dari penambangan uranium, penggilingan, konversi, pengayaan, dan fabrikasi bahan bakar untuk konstruksi dan servis reaktor mutakhir,” papar laporan itu.
Dabbar dan Bowen mendesak para pemimpin Barat untuk, “Segera mempertimbangkan paparan mereka terhadap ekspor nuklir Rusia dan mengambil langkah-langkah untuk menguranginya atau menghadapi kejutan energi lain di tangan Putin.”
Mereka mendesak pemerintah federal AS memberikan bantuan dan insentif bagi perusahaan yang melakukan konversi uranium dan fasilitas pengayaan di AS untuk membangun kembali rantai pasokan bahan bakar nuklir negara yang bobrok.
Penulis laporan tersebut tidak merinci mengapa “Putin” atau Rusia akan bergerak untuk menghilangkan AS atau Eropa dari kebutuhan sumber daya terkait energi nuklir mereka.
Dalam beberapa bulan terakhir, terlepas dari krisis Ukraina, pemerintah Rusia dan perusahaan-perusahaan besar, termasuk Rosatom, Gazprom, dan Rosneft, sejauh ini berkomitmen terus memenuhi kontrak dengan mitra komersial mereka.
Mereka memberi peringatan bahwa gas yang dibeli negara-negara yang memberikan sanksi kepada Rusia harus dibayar dalam rubel.
Pada Maret, Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak mengatakan Moskow sedang mempertimbangkan larangan ekspor uranium ke AS sebagai tanggapan atas sanksi Washington, tetapi tidak ada keputusan akhir tentang masalah tersebut yang telah dibuat.
Putin dan pejabat lainnya memandang dengan bingung pada keputusan yang dibuat negara-negara Barat untuk mengurangi ketergantungan pada pengiriman energi Rusia.
Bulan lalu, presiden Rusia menyesali keputusan Uni Eropa untuk melakukan "bunuh diri ekonomi" dengan mengurangi pembelian gas Rusia.
Menurut Putin, keputusan Barat itu tidak hanya akan mengakibatkan harga tinggi bagi konsumen, tetapi juga merusak daya saing industri Eropa secara global.
“Auto-da-fe ekonomi seperti itu…tentu saja merupakan urusan internal negara-negara Eropa. Kita harus melanjutkan secara pragmatis dan terutama dari kepentingan ekonomi kita sendiri,” tutur Putin.
Presiden AS Joe Biden menandatangani perintah eksekutif pada Maret yang melarang impor energi Rusia, tetapi meninggalkan uranium dari daftar barang terlarang Washington.
Langkah Biden itu menyusul lobi berat dari National Energy Institute, kelompok perdagangan perusahaan pembangkit tenaga nuklir AS yang besar.
Minyak Rusia hanya menyumbang 1% dari konsumsi AS, tetapi kerugiannya berdampak nyata pada harga energi AS, dengan harga bensin mencapai level tertinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya di atas USD5 per galon pekan lalu.
Biden selalu menyalahkan Putin, perusahaan minyak AS, virus corona, dan bahkan bantuan AS ke Ukraina atas krisis tersebut, tetapi bukan kebijakan pemerintahannya sendiri.
AS telah bergantung pada impor uranium Rusia sejak awal 1990-an. Pada tahun 1993, Wakil Presiden saat itu Al Gore dan Perdana Menteri Rusia Viktor Chernomyrdin menandatangani kesepakatan 20 tahun senilai USD11,9 miliar untuk pengiriman lebih dari 550 metrik ton uranium yang diperkaya yang diekstraksi dari hulu ledak nuklir Soviet yang dibuang.
Pengiriman ini akhirnya memasok sekitar 10% dari semua listrik yang dihasilkan di Amerika Serikat selama 15 tahun ke depan, dan memompa lebih dari tujuh miliar megawatt jam energi.
(sya)
tulis komentar anda