Kepala Intelijen Norwegia: Tidak Ada Alternatif Selain Putin di Rusia
Kamis, 31 Maret 2022 - 14:14 WIB
OSLO - Kepala Badan Intelijen Norwegia, Nils Andreas Stensones, mengatakan tak ada alternatif selain Vladimir Putin sebagai pemimpin di Rusia untuk saat ini. Artinya, belum ada kandidat suksesor.
Putin, pemimpin Eropa terlama kedua, berada di bawah tekanan setelah keputusannya menginvasi Ukraina.
Media-media Barat melaporkan ada gejolak di internal Dinas Keamanan Federal (FSB) karena ketidaksukaan pada kebijakan invasi Putin.
Sedangkan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden terang-terangan menyatakan Putin tidak bisa terus berkuasa di Rusia, meski akhirnya mengklarifikasi bahwa ucapan itu tidak bermaksud sebagai seruan penggulingan rezim Kremlin.
“Kami tidak melihat alternatif selain Putin di Rusia. Mereka memiliki tradisi pemimpin yang kuat yang sangat panjang. Untuk membayangkan kerangka pemerintahan yang berbeda–yang akan membutuhkan waktu lama untuk matang di Rusia,” kata Stensones pada Konferensi Keamanan yang diselenggarakan oleh Otoritas Keamanan Nasional, seperti dikutip oleh surat kabar Bergens Tidende, Kamis (31/3/2022).
Menurut Stensones, sulit untuk memperkirakan apakah Vladimir Putin telah memperkuat atau melemahkan posisinya sebagai akibat dari operasi khusus Rusia di Ukraina, dengan alasan berkurangnya kehadiran media Barat dan kurangnya akses ke informasi yang kredibel.
Stensones menyimpulkan bahwa pada umumnya sulit untuk menilai stabilitas dari apa yang disebutnya sebagai “rezim tertutup”.
Vladimir Putin telah menjadi presiden Rusia sejak 2012, dan sebelumnya menjadi presiden dari tahun 2000 hingga 2008.
Dia juga menjabat sebagai perdana menteri negara itu dari 1999 hingga 2000, dan sekali lagi dari 2008 hingga 2012.
Sampai sekarang, Putin adalah yang terlama kedua di Eropa saat ini setelah Alexander Lukashenko dari Belarusia.
Rusia dan sekutunya dari Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk yang baru diakui kemerdekaannya memulai operasi militer di Ukraina sejak 24 Februari.
Operasi tersebut menyusul hampir delapan tahun konflik sipil yang mengerikan di Donbass dan terjadi setelah berminggu-minggu meningkatnya ketegangan ketika pasukan Ukraina melakukan sabotase dan serangan sniper terhadap pasukan Donbass.
Sebelumnya pada bulan Maret, militer Rusia merilis dokumen yang menunjukkan bahwa Kiev telah merencanakan untuk melakukan serangan skala penuh terhadap Donetsk dan Luhansk yang memisahkan diri.
Lihat Juga: Kisah Zulkifli Lubis, Bapak Intelijen Indonesia Dituding Terlibat Peristiwa Cikini yang Meneror Soekarno
Putin, pemimpin Eropa terlama kedua, berada di bawah tekanan setelah keputusannya menginvasi Ukraina.
Media-media Barat melaporkan ada gejolak di internal Dinas Keamanan Federal (FSB) karena ketidaksukaan pada kebijakan invasi Putin.
Sedangkan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden terang-terangan menyatakan Putin tidak bisa terus berkuasa di Rusia, meski akhirnya mengklarifikasi bahwa ucapan itu tidak bermaksud sebagai seruan penggulingan rezim Kremlin.
“Kami tidak melihat alternatif selain Putin di Rusia. Mereka memiliki tradisi pemimpin yang kuat yang sangat panjang. Untuk membayangkan kerangka pemerintahan yang berbeda–yang akan membutuhkan waktu lama untuk matang di Rusia,” kata Stensones pada Konferensi Keamanan yang diselenggarakan oleh Otoritas Keamanan Nasional, seperti dikutip oleh surat kabar Bergens Tidende, Kamis (31/3/2022).
Menurut Stensones, sulit untuk memperkirakan apakah Vladimir Putin telah memperkuat atau melemahkan posisinya sebagai akibat dari operasi khusus Rusia di Ukraina, dengan alasan berkurangnya kehadiran media Barat dan kurangnya akses ke informasi yang kredibel.
Stensones menyimpulkan bahwa pada umumnya sulit untuk menilai stabilitas dari apa yang disebutnya sebagai “rezim tertutup”.
Vladimir Putin telah menjadi presiden Rusia sejak 2012, dan sebelumnya menjadi presiden dari tahun 2000 hingga 2008.
Dia juga menjabat sebagai perdana menteri negara itu dari 1999 hingga 2000, dan sekali lagi dari 2008 hingga 2012.
Sampai sekarang, Putin adalah yang terlama kedua di Eropa saat ini setelah Alexander Lukashenko dari Belarusia.
Rusia dan sekutunya dari Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk yang baru diakui kemerdekaannya memulai operasi militer di Ukraina sejak 24 Februari.
Operasi tersebut menyusul hampir delapan tahun konflik sipil yang mengerikan di Donbass dan terjadi setelah berminggu-minggu meningkatnya ketegangan ketika pasukan Ukraina melakukan sabotase dan serangan sniper terhadap pasukan Donbass.
Sebelumnya pada bulan Maret, militer Rusia merilis dokumen yang menunjukkan bahwa Kiev telah merencanakan untuk melakukan serangan skala penuh terhadap Donetsk dan Luhansk yang memisahkan diri.
Lihat Juga: Kisah Zulkifli Lubis, Bapak Intelijen Indonesia Dituding Terlibat Peristiwa Cikini yang Meneror Soekarno
(min)
tulis komentar anda