Rusia Tuduh Barat Ingin Ubah Ukraina jadi Afghanistan Kedua
Kamis, 31 Maret 2022 - 06:01 WIB
BEIJING - Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia Sergey Lavrov menuduh Barat berusaha mengubah Ukraina menjadi "Afghanistan kedua".
Pernyataan itu muncul di tengah serangan militer Moskow yang sedang berlangsung di Ukraina.Dia berbicara pada pertemuan dengan Menlu Pakistan Makhdoom Shah Mahmood Qureshi, di China pada Rabu (30/3/2022).
Lavrov menggambarkan situasi saat ini di Ukraina sebagai upaya negara-negara Barat menciptakan Afghanistan baru.
“Mereka yang mencoba menjadikan Afghanistan sebagai pusat politik dunia sekarang mencoba menggantikan Afghanistan dengan Ukraina,” papar Lavrov, dilansir RT.com.
Pernyataannya muncul menjelang konferensi tingkat tinggi (KTT) Afghanistan, yang akan berlangsung pada Kamis di kota Tunxi, China.
Acara itu akan dihadiri China dan Rusia, serta Amerika Serikat (AS) dan Pakistan.
Sejak 1978, Afganistan telah menjadi tempat terjadinya banyak perang dengan berbagai pemain internasional yang terlibat.
AS dan pasukan Barat lainnya meninggalkan Afghanistan tahun lalu setelah lebih dari 20 tahun menginvasi, dengan negara itu sekarang kembali jatuh ke tangan Taliban.
Berbicara menjelang pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi, Lavrov mengatakan dunia sekarang sedang melalui “tahap yang sangat serius dalam sejarah hubungan internasional.”
Lavrov menjelaskan, Moskow, Beijing dan “simpatisan” mereka akan bergerak bersama menuju tatanan dunia baru “multipolar, adil, demokratis”.
China, sementara itu, telah mengambil posisi “netral” dalam konflik Ukraina. Meskipun menyuarakan dukungan untuk kedaulatan Ukraina, Beijing tidak dengan tegas mengutuk serangan Rusia terhadap Ukraina.
Sebaliknya, China menyatakan Moskow memiliki kekhawatiran yang sah yang perlu ditangani.
Dalam wawancara awal pekan ini, Menlu China Wang Yi mengatakan, “Baik perang maupun sanksi bukanlah solusi yang baik.”
Selain itu, dia menjelaskan bahwa netral bukan hanya posisi China tetapi juga sikap negara-negara Asia lainnya.
Moskow menyerang tetangganya pada akhir Februari, menyusul kegagalan Ukraina mengimplementasikan ketentuan perjanjian Minsk yang ditandatangani pada 2014, dan pengakuan Rusia atas kemerdekaan republik Donbass di Donetsk dan Luhansk.
Protokol yang diperantarai Jerman dan Prancis telah dirancang untuk mengatur status wilayah-wilayah tersebut di dalam negara Ukraina.
Rusia kini menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO yang dipimpin AS.
Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan membantah klaim pihaknya berencana merebut kembali kedua republik dengan paksa.
Negara-negara Barat telah mengutuk “operasi militer khusus” Rusia dan memberlakukan sanksi yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Moskow.
Pernyataan itu muncul di tengah serangan militer Moskow yang sedang berlangsung di Ukraina.Dia berbicara pada pertemuan dengan Menlu Pakistan Makhdoom Shah Mahmood Qureshi, di China pada Rabu (30/3/2022).
Lavrov menggambarkan situasi saat ini di Ukraina sebagai upaya negara-negara Barat menciptakan Afghanistan baru.
“Mereka yang mencoba menjadikan Afghanistan sebagai pusat politik dunia sekarang mencoba menggantikan Afghanistan dengan Ukraina,” papar Lavrov, dilansir RT.com.
Pernyataannya muncul menjelang konferensi tingkat tinggi (KTT) Afghanistan, yang akan berlangsung pada Kamis di kota Tunxi, China.
Acara itu akan dihadiri China dan Rusia, serta Amerika Serikat (AS) dan Pakistan.
Sejak 1978, Afganistan telah menjadi tempat terjadinya banyak perang dengan berbagai pemain internasional yang terlibat.
AS dan pasukan Barat lainnya meninggalkan Afghanistan tahun lalu setelah lebih dari 20 tahun menginvasi, dengan negara itu sekarang kembali jatuh ke tangan Taliban.
Berbicara menjelang pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi, Lavrov mengatakan dunia sekarang sedang melalui “tahap yang sangat serius dalam sejarah hubungan internasional.”
Lavrov menjelaskan, Moskow, Beijing dan “simpatisan” mereka akan bergerak bersama menuju tatanan dunia baru “multipolar, adil, demokratis”.
China, sementara itu, telah mengambil posisi “netral” dalam konflik Ukraina. Meskipun menyuarakan dukungan untuk kedaulatan Ukraina, Beijing tidak dengan tegas mengutuk serangan Rusia terhadap Ukraina.
Sebaliknya, China menyatakan Moskow memiliki kekhawatiran yang sah yang perlu ditangani.
Dalam wawancara awal pekan ini, Menlu China Wang Yi mengatakan, “Baik perang maupun sanksi bukanlah solusi yang baik.”
Selain itu, dia menjelaskan bahwa netral bukan hanya posisi China tetapi juga sikap negara-negara Asia lainnya.
Moskow menyerang tetangganya pada akhir Februari, menyusul kegagalan Ukraina mengimplementasikan ketentuan perjanjian Minsk yang ditandatangani pada 2014, dan pengakuan Rusia atas kemerdekaan republik Donbass di Donetsk dan Luhansk.
Protokol yang diperantarai Jerman dan Prancis telah dirancang untuk mengatur status wilayah-wilayah tersebut di dalam negara Ukraina.
Rusia kini menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO yang dipimpin AS.
Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan membantah klaim pihaknya berencana merebut kembali kedua republik dengan paksa.
Negara-negara Barat telah mengutuk “operasi militer khusus” Rusia dan memberlakukan sanksi yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Moskow.
(sya)
tulis komentar anda