Dubes Hermono: Banyak PRT Indonesia Diperlakukan seperti Budak Zaman Modern di Malaysia
Sabtu, 19 Februari 2022 - 18:05 WIB
KUALA LUMPUR - Duta Besar (Dubes) Republik Indonesia di Kuala Lumpur, Hermono, mengatakan banyak warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi pekerja rumah tangga (PRT) di Malaysia diperlakukan seperti budak zaman modern.
Dia menyampaikan hal itu kepada media lokal, Free Malaysia Today (FMT). Menurutnya, WNI yang dipekerjakan di posisi yang sama di negara lain seperti Singapura, Hong Kong dan Taiwan tidak mengalami penganiayaan sebanyak di Malaysia.
Dubes Hermono mengatakan bahwa ada banyak kasus PRT Indonesia yang dipaksa bekerja selama bertahun-tahun tanpa dibayar dan kartu identitas mereka disita majikan.
Dia juga menceritakan para WNI yang bekerja berjam-jam tanpa hari istirahat dan mereka yang mengalami kekerasan fisik.
Hermono mengatakan kasus baru-baru ini melibatkan majikan yang tidak membayar gaji kepada PRT selama sekitar 10 tahun dengan mengatakan dia diizinkan untuk tinggal di rumah mereka dan bahwa mereka membayar makanannya.
“Itu adalah contoh perbudakan modern atau kerja paksa," katanya, yang dilansir Sabtu (19/2/2022).
“Kami memiliki pekerja rumah tangga di Singapura, Hong Kong dan Taiwan, tetapi kami tidak memiliki masalah serius seperti di sini (di Malaysia). Jadi mengapa kami memiliki masalah ini di sini?” ujarnya kepada FMT.
Hermono mengatakan Kedutaan Indonesia tahun lalu telah membantu dalam 206 kasus dengan majikan membayar lebih dari RM2 juta dan bahwa lebih dari 40 kasus sekarang di pengadilan.
Pada tahun ini, kedutaan juga membantu 16 PRT dan membantu dalam mendapatkan lebih dari RM300.000 dalam gaji yang belum dibayar.
Dia mencatat bahwa PRT lebih mungkin menghadapi pelecehan dibandingkan dengan pekerja migran lainnya, karena PRT bekerja sendiri dan tinggal di kediaman majikan mereka.
Dia juga mengatakan bahwa PRT Indonesia yang mengalami masalah tidak dapat melarikan diri dari majikan mereka atau memiliki tantangan dalam menginformasikannya ke kedutaan atau Konsulat Jenderal.
“Mereka diperingatkan bahwa jika mereka melarikan diri, polisi akan menangkap mereka dan imigrasi akan mengirim mereka ke depot mereka. Ancaman semacam ini adalah elemen murni dari kerja paksa,” katanya.
Malaysia dan Indonesia saat ini sedang dalam pembicaraan untuk kesepakatan pekerja baru.
Hermono membayangkan kesepakatan baru akan lebih melindungi WNI yang dipekerjakan sebagai PRT dalam sistem satu saluran yang akan memungkinkan pemerintah Indonesia untuk mengawasi mereka selama mereka bekerja di Malaysia.
Diplomat itu juga menyinggung usulan sistem gaji online yang memungkinkan pihak Indonesia untuk melihat apakah pekerjanya menerima gaji yang seharusnya.
“Jika mereka melewatkan bahkan satu bulan [membayar gaji pekerja], kami dapat menghubungi majikan melalui agen dan bertanya kepada mereka mengapa mereka belum membayar,” katanya.
Lihat Juga: FKH UWKS dan Universiti Malaysia Kelantan Kenalkan Konsep Animal Welfare ke Generasi Muda
Dia menyampaikan hal itu kepada media lokal, Free Malaysia Today (FMT). Menurutnya, WNI yang dipekerjakan di posisi yang sama di negara lain seperti Singapura, Hong Kong dan Taiwan tidak mengalami penganiayaan sebanyak di Malaysia.
Dubes Hermono mengatakan bahwa ada banyak kasus PRT Indonesia yang dipaksa bekerja selama bertahun-tahun tanpa dibayar dan kartu identitas mereka disita majikan.
Dia juga menceritakan para WNI yang bekerja berjam-jam tanpa hari istirahat dan mereka yang mengalami kekerasan fisik.
Baca Juga
Hermono mengatakan kasus baru-baru ini melibatkan majikan yang tidak membayar gaji kepada PRT selama sekitar 10 tahun dengan mengatakan dia diizinkan untuk tinggal di rumah mereka dan bahwa mereka membayar makanannya.
“Itu adalah contoh perbudakan modern atau kerja paksa," katanya, yang dilansir Sabtu (19/2/2022).
“Kami memiliki pekerja rumah tangga di Singapura, Hong Kong dan Taiwan, tetapi kami tidak memiliki masalah serius seperti di sini (di Malaysia). Jadi mengapa kami memiliki masalah ini di sini?” ujarnya kepada FMT.
Hermono mengatakan Kedutaan Indonesia tahun lalu telah membantu dalam 206 kasus dengan majikan membayar lebih dari RM2 juta dan bahwa lebih dari 40 kasus sekarang di pengadilan.
Pada tahun ini, kedutaan juga membantu 16 PRT dan membantu dalam mendapatkan lebih dari RM300.000 dalam gaji yang belum dibayar.
Dia mencatat bahwa PRT lebih mungkin menghadapi pelecehan dibandingkan dengan pekerja migran lainnya, karena PRT bekerja sendiri dan tinggal di kediaman majikan mereka.
Dia juga mengatakan bahwa PRT Indonesia yang mengalami masalah tidak dapat melarikan diri dari majikan mereka atau memiliki tantangan dalam menginformasikannya ke kedutaan atau Konsulat Jenderal.
“Mereka diperingatkan bahwa jika mereka melarikan diri, polisi akan menangkap mereka dan imigrasi akan mengirim mereka ke depot mereka. Ancaman semacam ini adalah elemen murni dari kerja paksa,” katanya.
Malaysia dan Indonesia saat ini sedang dalam pembicaraan untuk kesepakatan pekerja baru.
Hermono membayangkan kesepakatan baru akan lebih melindungi WNI yang dipekerjakan sebagai PRT dalam sistem satu saluran yang akan memungkinkan pemerintah Indonesia untuk mengawasi mereka selama mereka bekerja di Malaysia.
Diplomat itu juga menyinggung usulan sistem gaji online yang memungkinkan pihak Indonesia untuk melihat apakah pekerjanya menerima gaji yang seharusnya.
“Jika mereka melewatkan bahkan satu bulan [membayar gaji pekerja], kami dapat menghubungi majikan melalui agen dan bertanya kepada mereka mengapa mereka belum membayar,” katanya.
Lihat Juga: FKH UWKS dan Universiti Malaysia Kelantan Kenalkan Konsep Animal Welfare ke Generasi Muda
(min)
tulis komentar anda