Perang Saudi Melawan Turki Ottoman Dibumbui Campur Tangan Inggris
Rabu, 16 Februari 2022 - 08:18 WIB
RIYADH - Arab Saudi merupakan negara monarki absolut yang berdasarkan syariat Islam. Menurut catatan sejarah, kerajaan ini berdiri dalam 3 fase atau periode.
Fase pertama dimulai pada tahun 1744 hingga 1818. Tokoh yang berperan dalam pembangunan kerajaan Saudi adalah Muhammad bin Saud dan Muhammad bin Abdul Wahab.
Pada fase kedua, Kerajaan Saudi bangkit di bawah kendali Turki bin Abdullah bin Muhammad bin Saud, pada 1823 - 1891.
Kerajaan Saudi masuk ke fase ketiga atau masa modern di bawah kepemimpinan Abdul Aziz bin Abdurrahman bin Muhammad bin Saud, sejak tahun 1902.
Dalam sejarah panjang Arab Saudi, ada satu negara yang sudah berkonflik lama dengan negeri Raja Salman itu. Negara tersebut tak lain adalah Turki.
Konflik kedua negara sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu dan diperparah ketika Perang Dunia I yang berlangsung mulai tahun 1914 sampai 1918. Akibat konflik ini, Kota Diriyah hancur lebur.
Namun, perang kedua negara tak juga reda. Turki tetap melakukan intervensi kepada Saudi dan menekan negara tersebut.
Melihat Saudi yang terus-menerus berada di bawah tekanan Turki, pemerintah Inggris menyatakan dukungannya terhadap Saudi dan menyusun strategi agar Turki Utsmani (Ottoman) angkat kaki dari jazirah Arab.
Kekhalifahan Turki Utsmani runtuh pada 3 Maret 1924. Salah satu penyebab keruntuhan, saat itu Ottoman menghadapi kepungan modernisasi di berbagai bidang yang berimbas pada kian jauhnya nilai-nilai Islam.
Kondisi ini membuat Syarif Makkah yaitu Husain bin Ali menggalang kekuatan untuk melawan pemerintahan Turki Ottoman, pada 1916.
Kerajaan lainnya yang berada di bawah kekuasaan Ottoman juga mulai menunjukkan perlawanan terhadap kekhalifahan.
Menurut buku “Sejarah Asia Barat Modern”, seorang komisaris tinggi asal Inggris di Mesir melakukan korespondensi tertutup dan tersembunyi dengan salah satu pejabat dari kekaisaran Turki Ottoman.
Pihak Inggris lantas meminta rakyat yang menetap di Saudi untuk menggulingkan eksistensi Ottoman.
Sebagai imbalan, Inggris akan membantu Saudi untuk mendirikan negara yang independen. Dalam janjinya, Palestina akan dimasukkan ke dalam wilayah Saudi.
Korespondensi ini nyatanya berhasil melumerkan kekuasaan Turki Ottoman. Inggris kemudian mengambil alih wilayah kekuasaan Turki Ottoman selama Perang Dunia I.
Namun demikian, ada satu hal yang rupanya tidak ditepati oleh Inggris. Tanpa sepengetahuan siapa pun, pihak pemerintah Inggris melakukan perjanjian yang bertentangan dengan korespondensi tertutup saat itu.
Deklarasi Balfour, pernyataan yang berisi dukungan Inggris terkait terciptanya “a Jewish national home in Palestine” diwujudkan pemerintah Inggris, melalui Menteri Luar Negerinya saat itu.
Deklarasi ini dibuat sebagai wujud penghargaan dan apresiasi Inggris terhadap dukungan Yahudi yang dianggap penting selama perlawanan sengit menghadapi Ottoman.
Di sisi lain, deklarasi tersebut nyata membuat masyarakat Saudi menjadi gelisah. Apalagi, bagi mereka yang non-Yahudi.
Pihak Saudi merasa kesal, sebab Inggris dinilai tidak mampu menepati janjinya yakni membangun negara Arab yang independen.
Akhirnya, konflik demi konflik justru terjadi antara Palestina Arab dengan British Mandate. Bahkan, Palestina Arab dengan Yahudi.
Hubungan kedua negara ini, Saudi dan Turki masih panas hingga detik ini. Keadaan semakin mencekam ketika terjadi kasus pembunuhan jurnalis Saudi, Jamal Khasoggi, di tahun 2019.
Perang dagang antara 2 negara ini juga turut terjadi. Salah satu contohnya adalah aksi kepala kamar dagang Saudi, Ajlan Al-Ajlan, yang memboikot seluruh hal yang berhubungan dengan Turki. Mulai dari investasi, pariwisata hingga barang impor.
Fase pertama dimulai pada tahun 1744 hingga 1818. Tokoh yang berperan dalam pembangunan kerajaan Saudi adalah Muhammad bin Saud dan Muhammad bin Abdul Wahab.
Pada fase kedua, Kerajaan Saudi bangkit di bawah kendali Turki bin Abdullah bin Muhammad bin Saud, pada 1823 - 1891.
Kerajaan Saudi masuk ke fase ketiga atau masa modern di bawah kepemimpinan Abdul Aziz bin Abdurrahman bin Muhammad bin Saud, sejak tahun 1902.
Dalam sejarah panjang Arab Saudi, ada satu negara yang sudah berkonflik lama dengan negeri Raja Salman itu. Negara tersebut tak lain adalah Turki.
Konflik kedua negara sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu dan diperparah ketika Perang Dunia I yang berlangsung mulai tahun 1914 sampai 1918. Akibat konflik ini, Kota Diriyah hancur lebur.
Namun, perang kedua negara tak juga reda. Turki tetap melakukan intervensi kepada Saudi dan menekan negara tersebut.
Melihat Saudi yang terus-menerus berada di bawah tekanan Turki, pemerintah Inggris menyatakan dukungannya terhadap Saudi dan menyusun strategi agar Turki Utsmani (Ottoman) angkat kaki dari jazirah Arab.
Kekhalifahan Turki Utsmani runtuh pada 3 Maret 1924. Salah satu penyebab keruntuhan, saat itu Ottoman menghadapi kepungan modernisasi di berbagai bidang yang berimbas pada kian jauhnya nilai-nilai Islam.
Kondisi ini membuat Syarif Makkah yaitu Husain bin Ali menggalang kekuatan untuk melawan pemerintahan Turki Ottoman, pada 1916.
Kerajaan lainnya yang berada di bawah kekuasaan Ottoman juga mulai menunjukkan perlawanan terhadap kekhalifahan.
Menurut buku “Sejarah Asia Barat Modern”, seorang komisaris tinggi asal Inggris di Mesir melakukan korespondensi tertutup dan tersembunyi dengan salah satu pejabat dari kekaisaran Turki Ottoman.
Pihak Inggris lantas meminta rakyat yang menetap di Saudi untuk menggulingkan eksistensi Ottoman.
Sebagai imbalan, Inggris akan membantu Saudi untuk mendirikan negara yang independen. Dalam janjinya, Palestina akan dimasukkan ke dalam wilayah Saudi.
Korespondensi ini nyatanya berhasil melumerkan kekuasaan Turki Ottoman. Inggris kemudian mengambil alih wilayah kekuasaan Turki Ottoman selama Perang Dunia I.
Namun demikian, ada satu hal yang rupanya tidak ditepati oleh Inggris. Tanpa sepengetahuan siapa pun, pihak pemerintah Inggris melakukan perjanjian yang bertentangan dengan korespondensi tertutup saat itu.
Deklarasi Balfour, pernyataan yang berisi dukungan Inggris terkait terciptanya “a Jewish national home in Palestine” diwujudkan pemerintah Inggris, melalui Menteri Luar Negerinya saat itu.
Deklarasi ini dibuat sebagai wujud penghargaan dan apresiasi Inggris terhadap dukungan Yahudi yang dianggap penting selama perlawanan sengit menghadapi Ottoman.
Di sisi lain, deklarasi tersebut nyata membuat masyarakat Saudi menjadi gelisah. Apalagi, bagi mereka yang non-Yahudi.
Pihak Saudi merasa kesal, sebab Inggris dinilai tidak mampu menepati janjinya yakni membangun negara Arab yang independen.
Akhirnya, konflik demi konflik justru terjadi antara Palestina Arab dengan British Mandate. Bahkan, Palestina Arab dengan Yahudi.
Hubungan kedua negara ini, Saudi dan Turki masih panas hingga detik ini. Keadaan semakin mencekam ketika terjadi kasus pembunuhan jurnalis Saudi, Jamal Khasoggi, di tahun 2019.
Perang dagang antara 2 negara ini juga turut terjadi. Salah satu contohnya adalah aksi kepala kamar dagang Saudi, Ajlan Al-Ajlan, yang memboikot seluruh hal yang berhubungan dengan Turki. Mulai dari investasi, pariwisata hingga barang impor.
(sya)
tulis komentar anda