Ini yang Didapat Indonesia Jika Normalisasi dengan Israel
Selasa, 28 Desember 2021 - 15:57 WIB
WASHINGTON - Upaya Amerika Serikat (AS) mendorong Indonesia untuk melakukan normalisasi hubungan dengan Israel mendapat sorotan dari pakar Washington. Para pakar mengulas apa yang akan diperoleh Jakarta bila menjalin hubungan dengan Tel Aviv.
Baru-baru ini Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dilaporkan mengangkat isu kemungkinan normalisasi hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel dalam pertemuan dengan para pejabat di Jakarta.
Menurut laporan di Axios dan Walla, pemerintahan Joe Biden sedang mencoba untuk membangun Kesepakatan Abraham era Donald Trump dan melihat melampaui Timur Tengah ke negara-negara terbesar yang tidak mengakui Israel.
Indonesia, negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, adalah salah satu negara yang coba dibawa oleh pemerintahan Trump ke dalam Kesepakatan Abraham, meskipun negosiasi terhenti pada saat masa jabatan Trump berakhir.
Para pejabat AS dan Israel telah membahas cara-cara untuk memperluas Kesepakatan Abraham dalam beberapa bulan terakhir–dan Indonesia telah muncul dalam konteks itu.
Pada hari Minggu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Teuku Faizasyah mengatakan kepada Nikkei Asia bahwa masalah tersebut memang diangkat dalam pertemuan antara Blinken dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Menurut Nikkei Asia, Faizasyah menambahkan bahwa dalam pertemuan itu, Retno Marsudi menyampaikan sikap konsisten Indonesia terhadap Palestina bahwa Indonesia akan terus bersama rakyat Palestina memperjuangkan keadilan dan kemerdekaan.
Dennis Ross, penasihat dan distinguished fellow di The Washington Institute for Near East Policy, mengatakan bahwa jika Indonesia melakukan normalisasi atau bahkan mengambil langkah normalisasi seperti membuka kantor perdagangan komersial dengan Israel, itu akan menjadi "big deal".
“Negara mayoritas Muslim terbesar di dunia yang menormalkan hubungan dengan Israel, bahkan sebagai bagian dari proses, akan menandakan rekonsiliasi yang jauh lebih luas antara Muslim dan negara Israel,” katanya.
"Itu akan mencerminkan penerimaan yang lebih luas terhadap Israel di antara mereka yang secara historis telah menolaknya. Itu akan membuat isolasi Israel jauh lebih sulit," paparnya, seperti dikutip Jerusalem Post, Selasa (28/12/2021).
Akhirnya, kata Ross, hal itu akan terlihat secara lebih umum sebagai penambahan pada Kesepakatan Abraham. "Mengirim sinyal bahwa orang Arab dan Muslim non-Arab melihat manfaat dari hubungan dengan Israel dan tidak siap untuk membiarkan sikap penentangan Palestina untuk menyangkal kepentingan mereka yang ada di dalamnya," kata mantan diplomat AS tersebut.
"Itu juga akan menandakan bahwa membangun Kesepakatan Abraham penting bagi Administrasi Biden, yang mencerminkan pemahamannya bahwa kemajuan lebih lanjut akan melayani kepentingan Amerika yang lebih luas secara regional dan internasional.”
Ross lanta menebak apa yang akan diperoleh Indonesia jika melakukan normalisasi dengan Israel.
"Apa yang akan Indonesia dapatkan dari Amerika Serikat untuk penjangkauan seperti itu ke Israel? Jawabannya kemungkinan besar adalah janji investasi sektor swasta dan publik yang signifikan,” kata Ross.
“Tidak diragukan lagi, jika Indonesia mengambil langkah normalisasi, itu akan mencerminkan ekspektasi keuntungan ekonominya—mengirim pesan kepada orang lain tentang nilai ikatan semacam itu.”
Robert Hefner, profesor di Pardee School of Global Affairs Boston University, mengatakan bahwa pertanyaan apakah Indonesia harus menjalin hubungan diplomatik dengan Israel telah menjadi topik diskusi serius di Indonesia selama lebih dari 20 tahun.
“Almarhum Presiden Abdurrahman Wahid, seorang intelektual dan politisi Muslim yang terkenal dari organisasi sosial Muslim terbesar di negara itu (Nahdlatul Ulama [NU] yang memiliki sekitar 90 juta pengikut), adalah orang pertama yang serius membicarakan masalah ini,” kata Hefner.
"Namun, proposal tersebut terbukti kontroversial bahkan di antara pengikut Wahid [Gus Dur] sendiri, dan dalam menghadapi tentangan yang luar biasa dari komunitas Muslim yang lebih luas, inisiatif itu dihentikan," paparnya.
“Meskipun kemunduran ini, pada tahun-tahun sejak pemerintahan Wahid, beberapa pimpinan Nahdlatul Ulama terus mengunjungi atau berdialog dengan pejabat di Israel,” lanjut Hefner.
“Di bawah Presiden Joko Widodo saat ini, sosok yang tidak kalah pentingnya; Yahya Cholil Staquf—Ketua PBNU terpilih—, terus menggeluti isu tersebut, baik di lingkungan presiden maupun publik yang lebih luas.”
Dia mengatakan bahwa sayap penting kepemimpinan NU ini telah memperjelas bahwa mereka ingin Indonesia memainkan peran yang lebih tegas di antara negara-negara mayoritas Muslim, dan merasa bahwa, sebagai negara berpenduduk terbesar di dunia Muslim, keterlibatan Indonesia dengan Israel dapat berdampak positif di seluruh Timur Tengah.
"Namun, inisiatif semacam itu memiliki risiko politik. Sebagian besar survei menunjukkan bahwa mayoritas Muslim Indonesia menentang membangun hubungan dengan Israel, meskipun, di luar komunitas Islam kecil di Indonesia, masalah ini bukan masalah utama seperti di Arab Timur Tengah," kata Hefner.
“Kepemimpinan Indonesia tentu menyadari fakta bahwa normalisasi hubungan dengan Israel mungkin akan disambut di Washington,” lanjut Hefner.
“Tapi ini bukan perhatian utama yang mendorong diskusi. Ada perasaan di NU dan di antara kepemimpinan negara saat ini bahwa, dalam hal ini dan banyak hal lainnya, sudah saatnya Indonesia menunjukkan kepemimpinan.”
Murray Hiebert, pakar senior dari Southeast Asia Program di Center for Strategic and International, menjelaskan bahwa Indonesia, sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, memiliki kebijakan luar negeri yang sangat independen yang mencari keseimbangan antara AS dan China, termasuk selama perselisihan mereka saat ini.
Dia mencatat bahwa posisi Indonesia adalah Palestina dan banyak orang Indonesia yang memprotes keras pada bulan Mei, selama Operation Guardian of the Walls [perang Israel dan kelompok perlawanan Palestina di Gaza].
“Jakarta sering mengatakan tidak akan menormalkan hubungan sampai situasi Palestina diselesaikan, tetapi Indonesia masih mempertahankan hubungan informal dalam perdagangan dan diskusi antaragama,” kata Hiebert.
Jeffrey Winters, Profesor Ilmu Politik di Northwestern University dan pendiri dan Chairman of the Board of Trustees of the Indonesian Scholarship and Research Support Foundation (ISRSF), mengatakan bahwa saran Menlu Blinken kepada mitranya dari Indonesia bahwa negaranya harus mempertimbangkan langkah-langkah untuk menormalkan hubungan dengan Israel telah menarik tanggapan yang diredam di Indonesia.
“Kekuatan Islam konservatif telah mendapatkan pengaruh dan momentum di Indonesia selama 25 tahun terakhir,” katanya.
“Indonesia tetap menjadi negara sekuler hanya karena kelompok dan partai Islam terfragmentasi. Jika mereka mampu bersatu, kemungkinan besar Indonesia akan menjadi negara Islam.”
Winters mencatat bahwa Indonesia memiliki pemilu yang dijadwalkan pada tahun 2024. "Dan itu sekali lagi terbentuk sebagai pertempuran antara nasionalis yang lebih sekuler melawan kekuatan Islam yang telah mengusulkan untuk mengganti demokrasi negara dengan kekhalifahan," katanya.
“Kelemahan politik dari langkah diplomatik semacam itu jelas, sementara sisi baiknya jauh lebih tidak jelas,” ujarnya.
"Perubahan kebijakan besar tentang Israel akan membutuhkan persiapan dan sosialisasi yang ekstensif di semua lapisan masyarakat Indonesia. Pesan dan pembingkaian kembali isu-isu yang terlibat akan memakan waktu bertahun-tahun. Tidak ada yang menyerupai percakapan nasional tentang perubahan hubungan Indonesia-Israel yang bahkan telah dimulai, apalagi matang," paparnya.
Baru-baru ini Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dilaporkan mengangkat isu kemungkinan normalisasi hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel dalam pertemuan dengan para pejabat di Jakarta.
Menurut laporan di Axios dan Walla, pemerintahan Joe Biden sedang mencoba untuk membangun Kesepakatan Abraham era Donald Trump dan melihat melampaui Timur Tengah ke negara-negara terbesar yang tidak mengakui Israel.
Indonesia, negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, adalah salah satu negara yang coba dibawa oleh pemerintahan Trump ke dalam Kesepakatan Abraham, meskipun negosiasi terhenti pada saat masa jabatan Trump berakhir.
Para pejabat AS dan Israel telah membahas cara-cara untuk memperluas Kesepakatan Abraham dalam beberapa bulan terakhir–dan Indonesia telah muncul dalam konteks itu.
Pada hari Minggu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Teuku Faizasyah mengatakan kepada Nikkei Asia bahwa masalah tersebut memang diangkat dalam pertemuan antara Blinken dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Menurut Nikkei Asia, Faizasyah menambahkan bahwa dalam pertemuan itu, Retno Marsudi menyampaikan sikap konsisten Indonesia terhadap Palestina bahwa Indonesia akan terus bersama rakyat Palestina memperjuangkan keadilan dan kemerdekaan.
Dennis Ross, penasihat dan distinguished fellow di The Washington Institute for Near East Policy, mengatakan bahwa jika Indonesia melakukan normalisasi atau bahkan mengambil langkah normalisasi seperti membuka kantor perdagangan komersial dengan Israel, itu akan menjadi "big deal".
“Negara mayoritas Muslim terbesar di dunia yang menormalkan hubungan dengan Israel, bahkan sebagai bagian dari proses, akan menandakan rekonsiliasi yang jauh lebih luas antara Muslim dan negara Israel,” katanya.
"Itu akan mencerminkan penerimaan yang lebih luas terhadap Israel di antara mereka yang secara historis telah menolaknya. Itu akan membuat isolasi Israel jauh lebih sulit," paparnya, seperti dikutip Jerusalem Post, Selasa (28/12/2021).
Akhirnya, kata Ross, hal itu akan terlihat secara lebih umum sebagai penambahan pada Kesepakatan Abraham. "Mengirim sinyal bahwa orang Arab dan Muslim non-Arab melihat manfaat dari hubungan dengan Israel dan tidak siap untuk membiarkan sikap penentangan Palestina untuk menyangkal kepentingan mereka yang ada di dalamnya," kata mantan diplomat AS tersebut.
"Itu juga akan menandakan bahwa membangun Kesepakatan Abraham penting bagi Administrasi Biden, yang mencerminkan pemahamannya bahwa kemajuan lebih lanjut akan melayani kepentingan Amerika yang lebih luas secara regional dan internasional.”
Ross lanta menebak apa yang akan diperoleh Indonesia jika melakukan normalisasi dengan Israel.
"Apa yang akan Indonesia dapatkan dari Amerika Serikat untuk penjangkauan seperti itu ke Israel? Jawabannya kemungkinan besar adalah janji investasi sektor swasta dan publik yang signifikan,” kata Ross.
“Tidak diragukan lagi, jika Indonesia mengambil langkah normalisasi, itu akan mencerminkan ekspektasi keuntungan ekonominya—mengirim pesan kepada orang lain tentang nilai ikatan semacam itu.”
Robert Hefner, profesor di Pardee School of Global Affairs Boston University, mengatakan bahwa pertanyaan apakah Indonesia harus menjalin hubungan diplomatik dengan Israel telah menjadi topik diskusi serius di Indonesia selama lebih dari 20 tahun.
“Almarhum Presiden Abdurrahman Wahid, seorang intelektual dan politisi Muslim yang terkenal dari organisasi sosial Muslim terbesar di negara itu (Nahdlatul Ulama [NU] yang memiliki sekitar 90 juta pengikut), adalah orang pertama yang serius membicarakan masalah ini,” kata Hefner.
"Namun, proposal tersebut terbukti kontroversial bahkan di antara pengikut Wahid [Gus Dur] sendiri, dan dalam menghadapi tentangan yang luar biasa dari komunitas Muslim yang lebih luas, inisiatif itu dihentikan," paparnya.
“Meskipun kemunduran ini, pada tahun-tahun sejak pemerintahan Wahid, beberapa pimpinan Nahdlatul Ulama terus mengunjungi atau berdialog dengan pejabat di Israel,” lanjut Hefner.
“Di bawah Presiden Joko Widodo saat ini, sosok yang tidak kalah pentingnya; Yahya Cholil Staquf—Ketua PBNU terpilih—, terus menggeluti isu tersebut, baik di lingkungan presiden maupun publik yang lebih luas.”
Dia mengatakan bahwa sayap penting kepemimpinan NU ini telah memperjelas bahwa mereka ingin Indonesia memainkan peran yang lebih tegas di antara negara-negara mayoritas Muslim, dan merasa bahwa, sebagai negara berpenduduk terbesar di dunia Muslim, keterlibatan Indonesia dengan Israel dapat berdampak positif di seluruh Timur Tengah.
"Namun, inisiatif semacam itu memiliki risiko politik. Sebagian besar survei menunjukkan bahwa mayoritas Muslim Indonesia menentang membangun hubungan dengan Israel, meskipun, di luar komunitas Islam kecil di Indonesia, masalah ini bukan masalah utama seperti di Arab Timur Tengah," kata Hefner.
“Kepemimpinan Indonesia tentu menyadari fakta bahwa normalisasi hubungan dengan Israel mungkin akan disambut di Washington,” lanjut Hefner.
“Tapi ini bukan perhatian utama yang mendorong diskusi. Ada perasaan di NU dan di antara kepemimpinan negara saat ini bahwa, dalam hal ini dan banyak hal lainnya, sudah saatnya Indonesia menunjukkan kepemimpinan.”
Murray Hiebert, pakar senior dari Southeast Asia Program di Center for Strategic and International, menjelaskan bahwa Indonesia, sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, memiliki kebijakan luar negeri yang sangat independen yang mencari keseimbangan antara AS dan China, termasuk selama perselisihan mereka saat ini.
Dia mencatat bahwa posisi Indonesia adalah Palestina dan banyak orang Indonesia yang memprotes keras pada bulan Mei, selama Operation Guardian of the Walls [perang Israel dan kelompok perlawanan Palestina di Gaza].
“Jakarta sering mengatakan tidak akan menormalkan hubungan sampai situasi Palestina diselesaikan, tetapi Indonesia masih mempertahankan hubungan informal dalam perdagangan dan diskusi antaragama,” kata Hiebert.
Jeffrey Winters, Profesor Ilmu Politik di Northwestern University dan pendiri dan Chairman of the Board of Trustees of the Indonesian Scholarship and Research Support Foundation (ISRSF), mengatakan bahwa saran Menlu Blinken kepada mitranya dari Indonesia bahwa negaranya harus mempertimbangkan langkah-langkah untuk menormalkan hubungan dengan Israel telah menarik tanggapan yang diredam di Indonesia.
“Kekuatan Islam konservatif telah mendapatkan pengaruh dan momentum di Indonesia selama 25 tahun terakhir,” katanya.
“Indonesia tetap menjadi negara sekuler hanya karena kelompok dan partai Islam terfragmentasi. Jika mereka mampu bersatu, kemungkinan besar Indonesia akan menjadi negara Islam.”
Winters mencatat bahwa Indonesia memiliki pemilu yang dijadwalkan pada tahun 2024. "Dan itu sekali lagi terbentuk sebagai pertempuran antara nasionalis yang lebih sekuler melawan kekuatan Islam yang telah mengusulkan untuk mengganti demokrasi negara dengan kekhalifahan," katanya.
“Kelemahan politik dari langkah diplomatik semacam itu jelas, sementara sisi baiknya jauh lebih tidak jelas,” ujarnya.
"Perubahan kebijakan besar tentang Israel akan membutuhkan persiapan dan sosialisasi yang ekstensif di semua lapisan masyarakat Indonesia. Pesan dan pembingkaian kembali isu-isu yang terlibat akan memakan waktu bertahun-tahun. Tidak ada yang menyerupai percakapan nasional tentang perubahan hubungan Indonesia-Israel yang bahkan telah dimulai, apalagi matang," paparnya.
(min)
Lihat Juga :
tulis komentar anda