Taliban Larang Penggunaan Mata Uang Asing di Afghanistan
Rabu, 03 November 2021 - 04:43 WIB
KABUL - Taliban mengumumkan larangan total penggunaan mata uang asing di Afghanistan . Pengumuman mengejutkan itu datang beberapa jam setelah serangan senjata dan bom terkoordinasi di rumah sakit militer terbesar Afghanistan di ibukota, Kabul.
“Imarah Islam menginstruksikan semua warga, pemilik toko, pedagang, pengusaha dan masyarakat umum untuk melakukan semua transaksi di Afghanistan dan secara ketat menahan diri dari menggunakan mata uang asing,” kata Taliban dalam sebuah pernyataan yang diposting oleh juru bicara Zabihullah Mujahid.
"Siapa pun yang melanggar perintah ini akan menghadapi tindakan hukum," sambung pernyataan itu seperti dikutip dari Al Jazeera, Rabu (3/11/2021).
Penggunaan dolar Amerika Serikat (AS) tersebar luas di pasar Afghanistan, sementara daerah perbatasan menggunakan mata uang negara tetangga seperti Pakistan untuk perdagangan.
Pemerintah Taliban mendesak untuk melepaskan miliaran dolar cadangan bank sentral ketika negara yang dilanda kekeringan itu menghadapi krisis uang tunai, kelaparan massal, dan krisis migrasi baru.
Pemerintah Afghanistan sebelumnya yang didukung Barat telah memarkir miliaran dolar aset di luar negeri seperti Federal Reserve AS dan bank sentral lainnya di Eropa.
Tetapi setelah Taliban mengambil alih negara itu pada bulan Agustus, AS serta Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) memutuskan untuk memblokir akses Afghanistan ke aset dan pinjaman lebih dari USD9,5 miliar.
Keputusan itu berdampak buruk pada perawatan kesehatan Afghanistan dan sektor lainnya, yang semuanya berjuang untuk melanjutkan operasi di tengah pengurangan bantuan internasional.
Dengan cepatnya musim dingin yang keras datang, Sulaiman Bin Shah, mantan wakil menteri industri dan perdagangan Afghanistan, mengatakan kepada Al Jazeera akhir bulan lalu bahwa orang-orang Afghanistan membayar harga yang sangat mahal karena lambatnya proses diplomatik dan negosiasi.
Program Pangan Dunia mengatakan sekitar 22,8 juta orang – lebih dari setengah dari 39 juta penduduk Afghanistan – menghadapi kerawanan pangan akut dan “berbaris menuju kelaparan”, dibandingkan dengan 14 juta hanya dua bulan lalu.
Krisis pangan, yang diperburuk oleh perubahan iklim, sangat mengerikan di Afghanistan bahkan sebelum pengambilalihan oleh Taliban.
Kelompok-kelompok bantuan mendesak negara-negara, yang prihatin dengan hak asasi manusia di bawah Taliban, untuk terlibat dengan penguasa baru guna mencegah keruntuhan yang mereka katakan dapat memicu krisis migrasi serupa dengan eksodus 2015 dari Suriah yang mengguncang Eropa.
Kepergian pasukan pimpinan AS dan banyak donor internasional meninggalkan negara itu tanpa hibah yang membiayai tiga perempat belanja publik.
Kementerian Keuangan Afghanistan mengatakan pihaknya mengambil pajak harian sekitar USD4,4 juta.
“Imarah Islam menginstruksikan semua warga, pemilik toko, pedagang, pengusaha dan masyarakat umum untuk melakukan semua transaksi di Afghanistan dan secara ketat menahan diri dari menggunakan mata uang asing,” kata Taliban dalam sebuah pernyataan yang diposting oleh juru bicara Zabihullah Mujahid.
"Siapa pun yang melanggar perintah ini akan menghadapi tindakan hukum," sambung pernyataan itu seperti dikutip dari Al Jazeera, Rabu (3/11/2021).
Penggunaan dolar Amerika Serikat (AS) tersebar luas di pasar Afghanistan, sementara daerah perbatasan menggunakan mata uang negara tetangga seperti Pakistan untuk perdagangan.
Pemerintah Taliban mendesak untuk melepaskan miliaran dolar cadangan bank sentral ketika negara yang dilanda kekeringan itu menghadapi krisis uang tunai, kelaparan massal, dan krisis migrasi baru.
Pemerintah Afghanistan sebelumnya yang didukung Barat telah memarkir miliaran dolar aset di luar negeri seperti Federal Reserve AS dan bank sentral lainnya di Eropa.
Tetapi setelah Taliban mengambil alih negara itu pada bulan Agustus, AS serta Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) memutuskan untuk memblokir akses Afghanistan ke aset dan pinjaman lebih dari USD9,5 miliar.
Keputusan itu berdampak buruk pada perawatan kesehatan Afghanistan dan sektor lainnya, yang semuanya berjuang untuk melanjutkan operasi di tengah pengurangan bantuan internasional.
Dengan cepatnya musim dingin yang keras datang, Sulaiman Bin Shah, mantan wakil menteri industri dan perdagangan Afghanistan, mengatakan kepada Al Jazeera akhir bulan lalu bahwa orang-orang Afghanistan membayar harga yang sangat mahal karena lambatnya proses diplomatik dan negosiasi.
Program Pangan Dunia mengatakan sekitar 22,8 juta orang – lebih dari setengah dari 39 juta penduduk Afghanistan – menghadapi kerawanan pangan akut dan “berbaris menuju kelaparan”, dibandingkan dengan 14 juta hanya dua bulan lalu.
Krisis pangan, yang diperburuk oleh perubahan iklim, sangat mengerikan di Afghanistan bahkan sebelum pengambilalihan oleh Taliban.
Kelompok-kelompok bantuan mendesak negara-negara, yang prihatin dengan hak asasi manusia di bawah Taliban, untuk terlibat dengan penguasa baru guna mencegah keruntuhan yang mereka katakan dapat memicu krisis migrasi serupa dengan eksodus 2015 dari Suriah yang mengguncang Eropa.
Baca Juga
Kepergian pasukan pimpinan AS dan banyak donor internasional meninggalkan negara itu tanpa hibah yang membiayai tiga perempat belanja publik.
Kementerian Keuangan Afghanistan mengatakan pihaknya mengambil pajak harian sekitar USD4,4 juta.
(ian)
tulis komentar anda