Kapal Perang Rp16,9 Triliun Habis Terbakar, AS Salahkan Kegagalan Sistematis
Kamis, 21 Oktober 2021 - 20:31 WIB
"Disimpulkan bahwa kegagalan berulang oleh awak yang tidak siap menyebabkan respons kebakaran yang tidak efektif," lanjut laporan itu.
Laporan yang disiapkan oleh Wakil Laksamana Scott Conn itu menguraikan penyimpangan besar dalam pelatihan dan kesiapsiagaan, komunikasi dan koordinasi yang buruk antara personel, pemeliharaan peralatan yang buruk, dan kerusakan yang lebih luas dalam struktur komando dan kontrol secara keseluruhan di kapal.
Misalnya, para penyelidik menemukan bahwa meskipun kapal dilengkapi dengan sistem busa pemadam kebakaran yang dapat memperlambat penyebaran api, tidak ada seorang pun di kapal yang mengetahui cara mengoperasikan sistem tersebut, yaitu dengan menekan tombol tertentu.
"Tidak ada anggota kru yang diwawancarai yang mempertimbangkan tindakan ini atau memiliki pengetahuan khusus mengenai lokasi tombol atau fungsinya," imbuh laporan investigasi.
Bahkan jika para pelaut memiliki pengetahuan sebelumnya tentang mekanisme yang rumit, tidak jelas apakah mereka berhasil menghentikan api. Laporan tersebut mengeklaim bahwa sekitar 87% dari semua stasiun pemadam kebakaran di kapal terganggu oleh masalah peralatan atau tidak diperiksa sama sekali.
Secara khusus, tiga perwira tinggi di kapal dianggap bertanggung jawab atas tanggapan darurat yang tidak memadai, termasuk komandan Gregory Thoroman, pejabat eksekutif Michael Ray dan Kepala Komandan Komando Jose Hernandez.
Laporan itu mengatakan ketiganya tidak memastikan kesiapan untuk peristiwa semacam itu, dan menjaga kapal dalam kondisi buruk.
“Pelaksanaan tugasnya menciptakan lingkungan pelatihan, pemeliharaan, dan standar operasional yang buruk yang secara langsung menyebabkan hilangnya kapal,” sambung laporan investigasi Angkatan Laut.
Kegagalan untuk menahan api di beberapa area kapal menyebabkan suhu lebih dari 1.200 derajat Fahrenheit (649 derajat Celsius), cukup panas untuk melelehkan logam menjadi cairan, yang terlihat telah mengalir ke bagian lain kapal setelah api akhirnya padam beberapa hari kemudian.
Laporan yang disiapkan oleh Wakil Laksamana Scott Conn itu menguraikan penyimpangan besar dalam pelatihan dan kesiapsiagaan, komunikasi dan koordinasi yang buruk antara personel, pemeliharaan peralatan yang buruk, dan kerusakan yang lebih luas dalam struktur komando dan kontrol secara keseluruhan di kapal.
Misalnya, para penyelidik menemukan bahwa meskipun kapal dilengkapi dengan sistem busa pemadam kebakaran yang dapat memperlambat penyebaran api, tidak ada seorang pun di kapal yang mengetahui cara mengoperasikan sistem tersebut, yaitu dengan menekan tombol tertentu.
"Tidak ada anggota kru yang diwawancarai yang mempertimbangkan tindakan ini atau memiliki pengetahuan khusus mengenai lokasi tombol atau fungsinya," imbuh laporan investigasi.
Bahkan jika para pelaut memiliki pengetahuan sebelumnya tentang mekanisme yang rumit, tidak jelas apakah mereka berhasil menghentikan api. Laporan tersebut mengeklaim bahwa sekitar 87% dari semua stasiun pemadam kebakaran di kapal terganggu oleh masalah peralatan atau tidak diperiksa sama sekali.
Secara khusus, tiga perwira tinggi di kapal dianggap bertanggung jawab atas tanggapan darurat yang tidak memadai, termasuk komandan Gregory Thoroman, pejabat eksekutif Michael Ray dan Kepala Komandan Komando Jose Hernandez.
Laporan itu mengatakan ketiganya tidak memastikan kesiapan untuk peristiwa semacam itu, dan menjaga kapal dalam kondisi buruk.
“Pelaksanaan tugasnya menciptakan lingkungan pelatihan, pemeliharaan, dan standar operasional yang buruk yang secara langsung menyebabkan hilangnya kapal,” sambung laporan investigasi Angkatan Laut.
Kegagalan untuk menahan api di beberapa area kapal menyebabkan suhu lebih dari 1.200 derajat Fahrenheit (649 derajat Celsius), cukup panas untuk melelehkan logam menjadi cairan, yang terlihat telah mengalir ke bagian lain kapal setelah api akhirnya padam beberapa hari kemudian.
Lihat Juga :
tulis komentar anda