Bunuh Mantan Istri saat Live sebagai Vlogger, Pria China Dihukum Mati

Jum'at, 15 Oktober 2021 - 06:15 WIB
Amuchu, vlogger cantik Tibet yang dibunuh mantan suaminya saat siaran langsung. Foto/via media sosial
BEIJING - Seorang pria China dijatuhi hukuman mati pada Kamis (14/10/2021) karena membunuh mantan istrinya saat live atau siaran langsung sebagai vlogger. Kasus ini telah menimbulkan kemarahan publik secara nasional atas kekerasan dalam rumah tangga.

Amuchu, seorang vloggercantik Tibet berusia 30 tahun yang dikenal di media sosial sebagai Lamu, meninggal setelah disiram bensin dan dibakar oleh mantan suaminya Tang Lu pada September tahun lalu.





Dia meninggal karena luka-lukanya di rumah sakit dua minggu kemudian.

Menurut pengadilan, Amuchu menceraikan Tang—yang memiliki sejarah kekerasan terhadapnya—pada Juni 2020, hanya beberapa bulan sebelum dia dibunuh di rumah ayahnya.

Tang dijatuhi hukuman mati karena pembunuhan yang disengaja. Vonis mati dijatuhkan oleh pengadilan di Prefektur Aba, daerah pedesaan terpencil di barat daya provinsi Sichuan dengan sejumlah besar penduduk etnis Tibet.

"Kejahatannya sangat kejam dan dampak sosialnya sangat buruk," bunyi pernyataan pengadilan, yang dikutip AFP, Jumat (15/10/2021). Menurut pengadilan, hukuman berat itu sesuai dengan hukum.

Pada saat itu, kematian sang vlogger memicu kecaman online atas masalah kekerasan dalam rumah tangga yang kurang dilaporkan di komunitas pedesaan—terutama di mana hal itu memengaruhi etnis minoritas.

Di Douyin—aplikasi TikTok versi China—Amuchu secara teratur mem-posting video kehidupan sehari-harinya mencari makan di pegunungan, memasak, dan melakukan lipsync dengan lagu-lagu yang mengenakan pakaian tradisional Tibet.

Setelah kematiannya, puluhan ribu pengikut yang berduka berkomentar di halaman Douyin-nya, sementara jutaan pengguna Webio—platform mirip Twitter—menuntut keadilan menggunakan tanda pagar trending yang kemudian disensor.

China hanya mengkriminalisasi kekerasan dalam rumah tangga pada tahun 2016, tetapi masalah ini tetap menyebar dan kurang dilaporkan, terutama di komunitas pedesaan yang kurang berkembang.



Menurut survei tahun 2013 oleh Federasi Wanita Seluruh China, sekitar satu dari empat wanita China yang sudah menikah pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Para aktivis mengatakan keluhan berulang para korban sering tidak ditanggapi serius oleh polisi sampai terlambat, dengan masalah ini sering dianggap sebagai masalah keluarga pribadi dalam budaya konservatif negara itu.

Ada juga kekhawatiran bahwa perubahan baru-baru ini pada hukum perdata China—yang memperkenalkan periode wajib “cooling-off” selama 30 hari bagi pasangan yang ingin bercerai—dapat mempersulit para korban untuk meninggalkan pernikahan yang menindas.
(min)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More