Penerjemah Cantik Ini Dicap Alat Putin untuk Bikin Trump Lengah
Kamis, 30 September 2021 - 07:15 WIB
WASHINGTON - Presiden Rusia Vladimir Putin dituduh membawa seorang penerjemah cantik untuk membuat Donald Trump lengah saat pertemuan di sela-sela KTT G-20 di Osaka pada 2019.
Tuduhan itu dilontarkan mantan ajudan Gedung Putih, Stephanie Grisham.
Saat itu, Trump yang menjabat presiden Amerika Serikat (AS) jadi sorotan dunia karena terlihat akrab dengan Putin, bukan memusuhi seperti sikap para pejabat Amerika pada umumnya.
Tuduhan Grisham muncul dalam memoarnya yang belum diterbitkan.
Di sela-sela pertemuan, Grisham berbincang dengan Fiona Hill, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Senior Dewan Keamanan Nasional Eropa dan Rusia Gedung Putih.
Penerjemah cantik yang dibawa Putin adalah Daria Boyarskaya.
“Saat pertemuan dimulai, Fiona Hill mencondongkan tubuh dan bertanya apakah saya memerhatikan penerjemah Putin, wanita berambut cokelat yang sangat menarik dengan rambut panjang, wajah cantik, dan sosok yang luar biasa,” tulis Grisham, dalam memoarnya yang dikutip The New York Times, Kamis (30/9/2021).
"Dia melanjutkan untuk memberi tahu saya bahwa dia curiga wanita itu dipilih oleh Putin secara khusus untuk mengalihkan perhatian presiden kita."
Media Rusia kemudian mengidentifikasi penerjemah pada pertemuan itu sebagai Daria Boyarskaya dari Kementerian Luar Negeri.
Foto-fotonya telah diterbitkan oleh banyak outlet di seluruh dunia setelah publikasi teori aneh tersebut.
Hubungan Trump dengan Putin menjadi subyek histeria selama Trump menjabat sebagai presiden AS, terutama ketika badan-badan intelijen Amerika menyimpulkan bahwa Moskow telah meluncurkan kampanye untuk membantu Trump memenangkan pemilu 2016.
Osaka menjadi tuan rumah bagi salah satu dari sedikit pertemuan antara kedua pemimpin. Di KTT tersebut, kedua pemimpin bercanda tentang campur tangan pemilu dan berita palsu, di mana Trump menyarankan bahwa mereka harus “menyingkirkan” jurnalis.
Dalam bukunya, Grisham juga mengeklaim bahwa Trump mengatakan kepada Putin bahwa dia harus "bertindak sedikit lebih keras" di depan kamera, sementara lebih ramah di belakang layar.
Berbagai laporan dugaan Rusia campur tangan dalam pemilihan presiden AS 2016 menjadi artikel kepercayaan bagi banyak orang di AS, terutama aktivis dan jurnalis yang mendukung kandidat presiden yang kalah, Hillary Clinton.
Semuanya dimulai dengan staf dari Komite Nasional Demokrat (DNC) yang mengeklaim pada Juni 2016 bahwa Rusia meretas komputernya, setelah dokumen diterbitkan yang mengungkapkan kecurangan partai pada pemilihan pendahuluannya.
Itu diikuti oleh Hillary Clinton yang menuduh Trump, “berkolusi” dengan Rusia dengan meminta email-emailnya ke Moskow—yang dia hapus dari server pribadi yang dia gunakan untuk melakukan bisnis Departemen Luar Negeri.
Dengan sedikit bantuan dari media arus utama, yang sangat mendukung Hillary Clinton dan meramalkan kemenangannya, upaya untuk menutupi skandal email berubah menjadi "Rusia meretas demokrasi AS", yang pada akhirnya menelurkan penyelidikan skandal "Russiagate" yang dipimpin oleh Penasihat Khusus Robert Mueller.
Laporan tersebut pada akhirnya tidak menemukan bukti yang cukup bahwa kampanye Trump berkoordinasi atau berkonspirasi dengan pemerintah Rusia dalam kegiatan intervensi pemilunya.
Tuduhan itu dilontarkan mantan ajudan Gedung Putih, Stephanie Grisham.
Saat itu, Trump yang menjabat presiden Amerika Serikat (AS) jadi sorotan dunia karena terlihat akrab dengan Putin, bukan memusuhi seperti sikap para pejabat Amerika pada umumnya.
Tuduhan Grisham muncul dalam memoarnya yang belum diterbitkan.
Di sela-sela pertemuan, Grisham berbincang dengan Fiona Hill, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Senior Dewan Keamanan Nasional Eropa dan Rusia Gedung Putih.
Penerjemah cantik yang dibawa Putin adalah Daria Boyarskaya.
“Saat pertemuan dimulai, Fiona Hill mencondongkan tubuh dan bertanya apakah saya memerhatikan penerjemah Putin, wanita berambut cokelat yang sangat menarik dengan rambut panjang, wajah cantik, dan sosok yang luar biasa,” tulis Grisham, dalam memoarnya yang dikutip The New York Times, Kamis (30/9/2021).
"Dia melanjutkan untuk memberi tahu saya bahwa dia curiga wanita itu dipilih oleh Putin secara khusus untuk mengalihkan perhatian presiden kita."
Media Rusia kemudian mengidentifikasi penerjemah pada pertemuan itu sebagai Daria Boyarskaya dari Kementerian Luar Negeri.
Foto-fotonya telah diterbitkan oleh banyak outlet di seluruh dunia setelah publikasi teori aneh tersebut.
Hubungan Trump dengan Putin menjadi subyek histeria selama Trump menjabat sebagai presiden AS, terutama ketika badan-badan intelijen Amerika menyimpulkan bahwa Moskow telah meluncurkan kampanye untuk membantu Trump memenangkan pemilu 2016.
Osaka menjadi tuan rumah bagi salah satu dari sedikit pertemuan antara kedua pemimpin. Di KTT tersebut, kedua pemimpin bercanda tentang campur tangan pemilu dan berita palsu, di mana Trump menyarankan bahwa mereka harus “menyingkirkan” jurnalis.
Dalam bukunya, Grisham juga mengeklaim bahwa Trump mengatakan kepada Putin bahwa dia harus "bertindak sedikit lebih keras" di depan kamera, sementara lebih ramah di belakang layar.
Berbagai laporan dugaan Rusia campur tangan dalam pemilihan presiden AS 2016 menjadi artikel kepercayaan bagi banyak orang di AS, terutama aktivis dan jurnalis yang mendukung kandidat presiden yang kalah, Hillary Clinton.
Semuanya dimulai dengan staf dari Komite Nasional Demokrat (DNC) yang mengeklaim pada Juni 2016 bahwa Rusia meretas komputernya, setelah dokumen diterbitkan yang mengungkapkan kecurangan partai pada pemilihan pendahuluannya.
Itu diikuti oleh Hillary Clinton yang menuduh Trump, “berkolusi” dengan Rusia dengan meminta email-emailnya ke Moskow—yang dia hapus dari server pribadi yang dia gunakan untuk melakukan bisnis Departemen Luar Negeri.
Dengan sedikit bantuan dari media arus utama, yang sangat mendukung Hillary Clinton dan meramalkan kemenangannya, upaya untuk menutupi skandal email berubah menjadi "Rusia meretas demokrasi AS", yang pada akhirnya menelurkan penyelidikan skandal "Russiagate" yang dipimpin oleh Penasihat Khusus Robert Mueller.
Laporan tersebut pada akhirnya tidak menemukan bukti yang cukup bahwa kampanye Trump berkoordinasi atau berkonspirasi dengan pemerintah Rusia dalam kegiatan intervensi pemilunya.
(min)
tulis komentar anda