Rusia Kesal AS Tinggalkan Senjata di Afghanistan

Minggu, 26 September 2021 - 15:31 WIB
Anggota kelompok Taliban berdiri di atas mobil Humvee buatan AS. Foto/India.com
NEW YORK - Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengkritik penarikan pasukan Amerika Serikat (AS) dari Afghanistan yang dinilainya tergesa-gesa. Ia mengatakan penarikan itu dilakukan tanpa menganalisis akibatnya dan menyebabkan sejumlah besar peralatan militer tertinggal di negara itu.

"Tampaknya, kita semua perlu memastikan bahwa senjata ini tidak digunakan untuk tujuan non-konstruktif," kata Lavrov dalam konferensi pers sebelum pidatonya di sesi ke-76 Majelis Umum PBB seperti dikutip dari Sputnik, Minggu (26/9/2021).





Lavrov mengatakan bahwa Rusia tidak mengetahui adanya pembicaraan apapun sehubungan dengan pengakuan internasional terhadap Taliban, mencatat bahwa Moskow tidak menerima permintaan dari kelompok militan untuk izin menunjuk duta besar bagi negara tersebut.

Lavrov juga mencatat bahwa pemerintah sementara yang dibentuk oleh Taliban di Afghanistan tidak secara tepat mewakili seluruh lapisan masyarakat Afghanistan dalam hal aspek pengakuan etnis dan politik.

Dia juga mengatakan bahwa Rusia akan mendukung "tekad" Taliban untuk memerangi ISIS dan entitas teroris lainnya.



Selama sambutannya, Lavrov juga membahas prospek pemulihan Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA), yang juga dikenal sebagai perjanjian nuklir dengan Iran - sebuah kesepakatan yang dikeluarkan secara sepihak oleh mantan Presiden AS Donald Trump pada 2018.

Lavrov mencatat bahwa AS telah mengatakan selama negosiasi JCPOA bahwa mereka tidak siap untuk memberikan jaminan tertulis bahwa pemerintahan masa depan tidak akan meninggalkan kesepakatan.

Namun, dia mengatakan bahwa ada harapan dan optimisme agar JCPOA dipulihkan, karena itu adalah sesuatu yang diinginkan oleh Iran dan AS.

"Iran tidak melakukan apa pun yang dilarang," kata Lavrov ketika mengomentari komitmen nuklir Teheran.

"Ini sesuai dengan perjanjian non-proliferasi dan sesuai dengan protokol tambahan untuk perjanjian pengamanan," imbuhnya.



Kesepakatan JCPOA ditandatangani pada 2015 antara negara-negara P5+1 (China, Prancis, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat – plus Jerman), Uni Eropa, dan Iran. Di bawah perjanjian itu, Teheran seharusnya mengurangi program nuklirnya dengan imbalan keringanan sanksi dari AS.

Namun, setelah pemerintahan Trump secara sepihak menarik Washington dari kesepakatan pada 2018, Teheran perlahan mulai menjauh dari komitmen nuklirnya, sambil tetap menggarisbawahi bahwa program nuklir negara itu untuk kepentingan damai.

Negosiasi tentang kemungkinan pemulihan JCPOA diadakan di Wina, tetapi terhenti setelah putaran terakhir selesai pada akhir Juni. Pada hari Jumat, Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian mengatakan Iran akan kembali ke pembicaraan ini "segera".

(ian)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More