Krisis Afghanistan Ciptakan Geopolitik Baru

Jum'at, 20 Agustus 2021 - 08:20 WIB
Mantan Presiden Afghanistan Hamid Karzai bertemu para petinggi Taliban. Foto/REUTERS
KABUL - Setelah Kota Kabul jatuh ke tangan Taliban , pemerintah berbagai negara mulai melakukan evakuasi diplomat dan warga negaranya dari Afghanistan. Mereka meninggalkan kerja sama dan investasi yang ditanamkan sejak puluhan tahun yang lalu.

Kebangkitan Taliban kemungkinan besar akan menciptakan perubahan geopolitik yang signifikan di Asia Selatan, terutama antara India, Pakistan, dan China. India yang terlibat sengketa perbatasan dengan Pakistan dan China akan semakin tertekan jika hubungan dengan Afghanistan terus menjauh.

Pakistan yang berbatasan langsung dengan Afghanistan merupakan salah satu pemain aktif dalam urusan kawasan, termasuk dalam Perang Afghanistan sejak 2021. Dengan mundurnya Amerika Serikat (AS), China kini maju dan ingin memainkan peran besar di Afghanistan. Mereka tidak lagi tinggal diam.





Mantan Duta Besar (Dubes) India untuk Afghanistan dan Suriah, Gautam Mukhopadhaya, mengatakan pergeseran barisan ini berpotensi memutarbalikan situasi geopolitik di kawasan Asia Selatan. Ke depannya, bukan tidak mungkin Rusia dan Iran juga masuk untuk menggantikan negara Barat.



Beberapa pakar hubungan internasional bahkan menilai kebangkitan Taliban sebagai kekalahan bagi India dan Kemenangan bagi Pakistan. Namun, mantan diplomat India Jitendra Nath Misra mengatakan Pakistan juga patut merasa was-was karena Taliban tidak pernah mengakui perbatasan dengan Pakistan.



“Pakistan pasti ingin Taliban mengakui perbatasan mereka dan isu ini akan menjadi prioritas utama,” ujar Misra, dikutip BBC. Namun, tak dapat dipungkiri, kebangkitan Taliban di Afghanistan memberikan keuntungan strategis bagi Pakistan daripada India karena hubungan dekat.

Wakil Direktur Wilson Center, Michael Kugelman, mengatakan Pakistan juga dapat memberikan pengaruh kepada Afghanistan dan memperoleh apapun yang mereka inginkan. “Pakistan melihat dirinya sebagai pemenang dan akan membentuk tujuan strategis baru yang lebih besar,” kata Kugelman.

Para ahli mengatakan Pakistan sebelumnya kurang senang dengan penguatan hubungan antara Afghanistan, AS, dan India. Apalagi, dengan ekonomi yang terpuruk, mereka merasa rawan. Saat ini, Pakistan patut senang karena pemerintah Afghanistan tertekan Taliban dan AS mundur.

Selain itu, China tidak lagi malu untuk menunjukkan ketertarikannya terhadap Afghanistan, terutama di bidang ekonomi untuk memenuhi kebutuhan mineral. “China kini akan memainkan peran penting di Afghanistan. Mereka juga dapat meminta Taliban menekan militan di Xinjiang,” kata Misra.

Mukhopadhaya mengatakan Pakistan dan China akan saling mendukung satu sama lain di Afghanistan. Namun, dia meminta China berhati-hati dan tidak terjatuh ke dalam jebakan seperti yang menimpa AS. Rusia dan Iran juga tampak tertarik. Faktanya, diplomat keduanya masih bekerja di Kabul.

Sejak dulu, India tidak pernah memainkan peran sebesar Pakistan, AS, atau Rusia di Afghanistan. Namun, New Delhi selalu terlibat dalam kerja sama keamanan dan budaya. Saat ini, ribuan warga Afghanistan juga berada di India untuk mengenyam pendidikan, bekerja, atau menjalani perawatan.

Tantangan terbesar yang dihadapi India, termasuk negara Asia lainnya, ialah pengakuan pemerintahan Taliban. Keputusan itu akan sulit, khususnya jika Rusia dan China memutuskan mengakui Taliban. Para ahli juga menduga Pakistan akan mengakui Taliban secara resmi seperti pada 1999.

Profesor Politik dari Lancaster University, Amalendu Misra, mengatakan situasi ini memang sulit bagi India. Namun, India dapat menjalin komunikasi terbuka dengan Taliban untuk menjaga stabilitas kawasan. Sebab, India sangat rawan konflik dengan kelompok militan akibat adanya perbedaan pemahaman.

Sebaliknya, India juga dapat bergabung sepenuhnya dengan Eropa dan AS yang terus memberikan tekanan terhadap Taliban. Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson telah memanggil rapat gabungan untuk merespon pemerintahan Taliban di Afghanistan. Namun, konsekwensinya akan lebih besar.

Sementara itu, dengan jatuhnya Kota Kabul, Presiden Afghanistan Ashraf Ghani kabur menuju Uni Emirates Arab (UEA). Kementerian Luar Negeri (Kemlu) UEA menyambut Ghani dan keluarganya atas dasar kemanusiaan. Namun, dalam siaran persnya, Ghani membantah kabur dan meninggalkan negaranya.

“Saya kini berada di UEA untuk mencegah bencana hebat, pertumpahan darah, dan kekacauan,” ujar Ghani. “Saya sedang mencoba melakukan perundingan untuk pulang kembali ke Afghanistan. Berita bahwa saya membawa tumpukan uang adalah kebohongan besar dan tuduhan yang keji.”

Namun, keputusan Ghani pergi ke UEA di tengah krisis membuka ruang kritikan. Bahkan, para pejabat dan politisi elite Afghanistan kecewa dengan Ghani. “Tuhan akan membalas semua perbuatannya, begitupun dengan negara,” kata Kepala Dewan Tinggi Rekonsiliasi Nasional, Abdullah.

Presiden AS Joe Biden juga tak luput mengkritik langkah yang diambil Ghani. Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) AS, Wendy Sherman, lalu mengatakan bahwa Ghani tidak lagi memegang peran penting di Afghanistan. Tapi, sejauh ini, peralihan kekuasaan di Afghanistan tidak jelas karena masih kacau.

“Saya dievakuasi tim keamanan dari istana negara dengan kondisi belum disepatu. Evakuasi itu berlangsung sangat cepat,” kata Ghani. “Saya mengaku saya ingin bernegosiasi terkait pemerintahan inklusif dengan Taliban. Saya juga akan mendukung diskusi-diskusi lainnya, termasuk dengan kabinet saya.”

Ini bukan pertama kalinya UEA menjadi surga evakuasi bagi pemimpin yang digulingkan dari kekuasannya melalui kekuatan militer. Sebelumnya, Perdana Menteri (PM) Pakistan, Benazir Bhutto, menjadikan Dubai sebagai rumah barunya pada 1990-an sebelum kembali berkuasa di Pakistan.

Kemudian, Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan telah menutup akses dana pinjaman terhadap Afghanistan untuk sementara waktu. “Komunitas internasional belum memberikan kejelasan terkait pemerintah Afghanistan sehingga kami tidak dapat memberikan akses, pinjaman” ungkap IMF.

Awalnya, IMF akan meminjamkan dana hingga USD370 juta kepada Afghanistan pada 23 Agustus mendatang. Dana itu meliputi dana bantuan ekonomi untuk menanggulangi wabah virus korona Covid-19. Akses terhadap cadangan uang IMF dalam aset Special Drawing Rights (SDR) juga diblokir.

Langkah tersebut juga sesuai dengan peringatan pemerintah AS bahwa aset Bank Sentral yang dimiliki pemerintah Afghanistan di AS tidak boleh diberikan kepada Taliban. Dalam surat menuju Menteri Keuangan Janet Yellen, Kongres AS juga mendesak agar AS tidak mendanai Taliban.

“Potensi alokasi SDR yang mencapai setengah miliar dollar terhadap rezim dengan sejarah mendukung aksi teroris terhadap AS dan sekutunya sangat mencemaskan,” tulis Kongres. Sebelumnya, Bank Sentral Afghanistan menyatakan AS menutup akses terhadap aset senilai USD7 miliar.

Diplomat Afghanistan, Ajmal Ahmady, yang juga mantan Plt Menteri Industri dan Perdagangan mengatakan total cadangan aset Bank Sentral Afghanistan mencapai USD9 miliar sampai pekan lalu. Namun, sebagian besar aset ini disimpan dalam bentuk aset liquid seperti emas dan obligasi.

“Mengingat Taliban masih masuk dalam daftar sanksi internasional, aset tersebut kemungkinan akan dibekukan dan tidak dapat diakses,” ujar Ahmad yang kini melarikan diri dari Afghanistan. “Kami mengestimasikan dana yang dapat diakses Taliban sekitar 0,1-0,2% dari total cadangan internasional.”

Dalam laporan terbaru Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), sumber utama keuangan Taliban masih berasal dari aktivitas ilegal seperti penyelundupan narkoba, ekstorsi, eksploitasi mineral, dan pajak di wilayah kekuasaannya. Saat ini, Afghanistan juga memiliki utang miliaran dollar terhadap Bank Dunia.
(sya)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More