Ebrahim Raisi: Presiden Iran Pertama yang Menjabat di Bawah Sanksi AS
Minggu, 20 Juni 2021 - 08:10 WIB
Sebagai pengkritik keras keterlibatan AS di kawasan itu dan sanksinya, Raisi telah berjanji untuk tidak menyia-nyiakan satu momen pun untuk mencabut atau menetralisir sanksi. Tidak seperti Rouhani, menurut orang-orang yang dekat dengannya, pendekatannya cenderung lebih keras.
Raisi telah menjadi kritikus keras terhadap kebijakan luar negeri pemerintah Rouhani, khususnya negosiasi dengan Barat untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir penting 2015, yang terbukti dari pernyataannya dalam tiga debat.
Kepala kehakiman Iran itu mengatakan penghapusan sanksi "kejam" akan menjadi "kewajiban" bagi pemerintahannya, yang katanya akan dicapai melalui "diplomasi ekonomi aktif", tanpa memberikan rinciannya.
Dia diharapkan untuk mengadopsi pendekatan yang lebih tegas dalam kebijakan luar negeri Iran, terutama dalam negosiasi dengan kekuatan AS dan Eropa untuk menghidupkan kembali kesepakatan 2015.
Spekulasi tersebar luas bahwa presiden terpilih, dengan dukungan parlemen yang dipegang konservatif, dapat menolak persyaratan yang disepakati dalam negosiasi baru-baru ini untuk menghidupkan kembali kesepakatan dan bernegosiasi ulang dengan persyaratannya sendiri.
Raisi, tidak seperti Rouhani, kemungkinan akan mendasarkan pendekatannya dalam hubungan dengan Barat dan dunia Arab pada arahan Khamenei, yang juga menjadi mentor politiknya.
Dalam salah satu debat presiden, Raisi berbicara tentang berinteraksi dengan dunia dan diplomasi aktif, dengan peringatan bahwa kemajuan negara tidak boleh terikat padanya.
Selama kampanye pemilihannya, Raisi berbicara tentang banyak rencana ambisius, tetapi tidak mengungkapkannya secara detail tentang pelaksanaannya.
Dalam memperoleh kemenangan di pemilu presiden Iran, Raisi mengandalkan suara kaum muda, mendesak mereka untuk tidak membalas dendam terhadap pemerintahan berikutnya atas kesulitan yang mereka hadapi selama pemerintahan Rouhani.
Raisi telah menjadi kritikus keras terhadap kebijakan luar negeri pemerintah Rouhani, khususnya negosiasi dengan Barat untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir penting 2015, yang terbukti dari pernyataannya dalam tiga debat.
Kepala kehakiman Iran itu mengatakan penghapusan sanksi "kejam" akan menjadi "kewajiban" bagi pemerintahannya, yang katanya akan dicapai melalui "diplomasi ekonomi aktif", tanpa memberikan rinciannya.
Dia diharapkan untuk mengadopsi pendekatan yang lebih tegas dalam kebijakan luar negeri Iran, terutama dalam negosiasi dengan kekuatan AS dan Eropa untuk menghidupkan kembali kesepakatan 2015.
Spekulasi tersebar luas bahwa presiden terpilih, dengan dukungan parlemen yang dipegang konservatif, dapat menolak persyaratan yang disepakati dalam negosiasi baru-baru ini untuk menghidupkan kembali kesepakatan dan bernegosiasi ulang dengan persyaratannya sendiri.
Raisi, tidak seperti Rouhani, kemungkinan akan mendasarkan pendekatannya dalam hubungan dengan Barat dan dunia Arab pada arahan Khamenei, yang juga menjadi mentor politiknya.
Dalam salah satu debat presiden, Raisi berbicara tentang berinteraksi dengan dunia dan diplomasi aktif, dengan peringatan bahwa kemajuan negara tidak boleh terikat padanya.
Selama kampanye pemilihannya, Raisi berbicara tentang banyak rencana ambisius, tetapi tidak mengungkapkannya secara detail tentang pelaksanaannya.
Dalam memperoleh kemenangan di pemilu presiden Iran, Raisi mengandalkan suara kaum muda, mendesak mereka untuk tidak membalas dendam terhadap pemerintahan berikutnya atas kesulitan yang mereka hadapi selama pemerintahan Rouhani.
tulis komentar anda