Selamat dari Bom Israel, Ulama Iran Pendiri Hizbullah Meninggal karena COVID-19
Selasa, 08 Juni 2021 - 07:43 WIB
TEHERAN - Ali Akbar Mohtashamipour, seorang ulama Syiah Iran pendiri kelompok militan Hizbullah Lebanon meninggal karena COVID-19. Dia pernah jadi target serangan bom buku yang dilaporkan didalangi Israel dan masih selamat meski kehilangan tangan kanannya.
Mohtashamipour meninggal pada usia 74 tahun. Dia pernah menjabat sebagai duta besar Iran untuk Suriah.
Dia merupakan sekutu dekat almarhum Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ruhollah Khomeini. Pada 1970-an, dia membentuk aliansi dengan kelompok-kelompok militan Muslim di seluruh Timur Tengah.
Setelah Revolusi Islam Iran, dia membantu mendirikan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran. Ketika menjadi duta besar untuk Suriah, dia dia membawa pasukan IRGC untuk membantu membentuk Hizbullah Lebanon.
Pada tahun-tahun terakhirnya, dia perlahan-lahan bergabung dengan gerakan reformis di Iran, berharap untuk mengubah teokrasi Republik Islam dari dalam.
Dia mendukung para pemimpin oposisi Mir Hossein Mousavi dan Mahdi Karroubi dalam protes Gerakan Hijau Iran setelah terpilihnya Presiden Mahmoud Ahmadinejad tahun 2009 dalam pemilu yang disengketakan.
"Jika seluruh rakyat menjadi sadar, menghindari tindakan kekerasan dan melanjutkan konfrontasi sipil mereka dengan itu, mereka akan menang," kata Mohtashamipour saat itu, meskipun Ahmadinejad pada akhirnya akan tetap menjabat.
"Tidak ada kekuatan yang bisa melawan keinginan rakyat," lanjut dia kala itu.
Menurut kantor berita IRNA, Mohtashamipour meninggal di sebuah rumah sakit di Teheran utara setelah tertular virus corona SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.
Ulama ini, yang mengenakan sorban hitam sebagai ciri khas dalam tradisi Syiah sebagai keturunan langsung Nabi Muhammad, telah tinggal di kota suci Syiah Najaf, Irak, selama 10 tahun terakhir setelah pemilu yang disengketakan di Iran.
Pemimpin Tertinggi Iran saat ini Ayatollah Ali Khamenei memuji Mohtashamipour atas "jasa revolusionernya".
Sementara Presiden Hassan Rouhani mengatakan; "Ulama ini mengabdikan hidupnya untuk mempromosikan gerakan Islam dan realisasi cita-cita revolusi."
Kepala peradilan garis keras Ebrahim Raisi, yang sekarang dianggap sebagai kandidat utama dalam pemilihan presiden Iran minggu depan, juga menyampaikan belasungkawa kepada keluarga Mohtashamipour.
"Almarhum adalah salah satu pejuang suci dalam perjalanan menuju pembebasan Yerusalem dan salah satu pelopor dalam perang melawan rezim Zionis yang merebut [Palestina]," kata Raisi.
Lahir di Teheran pada tahun 1947, Mohtashamipour bertemu Khomeini sebagai ulama di pengasingan di Najaf setelah diusir dari Iran oleh Shah Mohammad Reza Pahlavi. Pada 1970-an, dia melintasi Timur Tengah berbicara kepada kelompok-kelompok militan pada saat itu, membantu membentuk aliansi antara Republik Islam Iran masa depan dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) saat memerangi Israel.
Setelah ditangkap oleh Irak, Mohtashamipour menemukan jalannya ke kediaman Khomeini di pengasingan di luar Paris. Mereka kembali dengan penuh kemenangan ke Iran di tengah Revolusi Islam 1979.
Pada tahun 1982, Khomeini mengerahkan Mohtashamipour ke Suriah, yang saat itu berada di bawah pemerintahan diktator Hafez Assad.
Saat berperan sebagai diplomat, Mohtashamipour mengawasi dana yang mengalir untuk membiayai operasi IRGC di wilayah tersebut.
Lebanon, yang saat itu didominasi oleh Suriah, yang mengerahkan puluhan ribu tentara di sana, mendapati dirinya diserang oleh Israel pada tahun 1982 ketika Israel mengejar PLO di Lebanon.
Dukungan Iran mengalir ke komunitas Syiah Lebanon yang melawan Israel. Dari situlah terlahir kelompok militan baru yang disebut Hizbullah atau "Partai Tuhan".
Amerika Serikat (AS) menyalahkan Hizbullah atas pemboman Kedutaan Besar AS di Beirut tahun 1983 yang menewaskan 63 orang, serta pemboman di barak Marinir AS di Ibu Kota Lebanon yang menewaskan 241 tentara AS dan serangan lain yang menewaskan 58 pasukan terjun payung Prancis. Hizbullah dan Iran membantah terlibat.
“Pengadilan menemukan bahwa tidak diragukan lagi bahwa Hizbullah dan agen-agennya menerima dukungan material dan teknis besar-besaran dari pemerintah Iran,” tulis Hakim Distrik AS Royce Lamberth pada tahun 2003.
Sebuah obituari IRNA tentang Mohtashamipour hanya menggambarkannya sebagai "salah satu pendiri Hizbullah di Lebanon" dan menyalahkan Israel atas pemboman yang melukainya. Itu tidak membahas tuduhan AS tentang keterlibatannya dalam pemboman bunuh diri yang menargetkan orang Amerika.
Hizbullah, dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan di Beirut, menyampaikan belasungkawa, memuji Mohtashamipour atas perannya dalam melayani revolusi dan dalam memberikan segala bentuk dukungan terhadap peluncuran perlawanan Islam di Lebanon dan perjuangan Palestina.
"Luka berdarah di tangan, wajah, dan dadanya sebagai akibat dari upaya pembunuhan adalah bukti posisi jihadnya yang besar, terutama pada tahap konflik dengan musuh Zionis," bunyi pernyataan Hizbullah, seperti dikutip AP, Selasa (8/6/2021).
Pada saat upaya pembunuhan terhadapnya, badan intelijen Israel Mossad telah menerima laporan persetujuan dari Perdana Menteri saat itu Yitzhak Shamir untuk mengejar Mohtashamipour. Hal itu diungkap dalam buku "Rise and Kill First", buku tentang pembunuhan oleh Israel yang ditulis oleh jurnalis Ronen Bergman.
"Israel memilih untuk mengirim bom yang disembunyikan di dalam sebuah buku yang digambarkan sebagai 'volume luar biasa dalam bahasa Inggris tentang tempat-tempat suci Syiah di Iran dan Irak' pada Hari Valentine tahun 1984," tulis Bergman.
Bom meledak ketika Mohtashamipour membuka buku itu, merobek tangan kanannya dan dua jari di tangan kirinya. Tapi dia selamat, kemudian menjadi menteri dalam negeri Iran serta menjabat sebagai anggota parlemen garis keras sebelum bergabung dengan kubu reformis pada 2009.
Mohtashamipour meninggal pada usia 74 tahun. Dia pernah menjabat sebagai duta besar Iran untuk Suriah.
Dia merupakan sekutu dekat almarhum Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ruhollah Khomeini. Pada 1970-an, dia membentuk aliansi dengan kelompok-kelompok militan Muslim di seluruh Timur Tengah.
Setelah Revolusi Islam Iran, dia membantu mendirikan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran. Ketika menjadi duta besar untuk Suriah, dia dia membawa pasukan IRGC untuk membantu membentuk Hizbullah Lebanon.
Pada tahun-tahun terakhirnya, dia perlahan-lahan bergabung dengan gerakan reformis di Iran, berharap untuk mengubah teokrasi Republik Islam dari dalam.
Dia mendukung para pemimpin oposisi Mir Hossein Mousavi dan Mahdi Karroubi dalam protes Gerakan Hijau Iran setelah terpilihnya Presiden Mahmoud Ahmadinejad tahun 2009 dalam pemilu yang disengketakan.
"Jika seluruh rakyat menjadi sadar, menghindari tindakan kekerasan dan melanjutkan konfrontasi sipil mereka dengan itu, mereka akan menang," kata Mohtashamipour saat itu, meskipun Ahmadinejad pada akhirnya akan tetap menjabat.
"Tidak ada kekuatan yang bisa melawan keinginan rakyat," lanjut dia kala itu.
Menurut kantor berita IRNA, Mohtashamipour meninggal di sebuah rumah sakit di Teheran utara setelah tertular virus corona SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.
Ulama ini, yang mengenakan sorban hitam sebagai ciri khas dalam tradisi Syiah sebagai keturunan langsung Nabi Muhammad, telah tinggal di kota suci Syiah Najaf, Irak, selama 10 tahun terakhir setelah pemilu yang disengketakan di Iran.
Pemimpin Tertinggi Iran saat ini Ayatollah Ali Khamenei memuji Mohtashamipour atas "jasa revolusionernya".
Sementara Presiden Hassan Rouhani mengatakan; "Ulama ini mengabdikan hidupnya untuk mempromosikan gerakan Islam dan realisasi cita-cita revolusi."
Kepala peradilan garis keras Ebrahim Raisi, yang sekarang dianggap sebagai kandidat utama dalam pemilihan presiden Iran minggu depan, juga menyampaikan belasungkawa kepada keluarga Mohtashamipour.
"Almarhum adalah salah satu pejuang suci dalam perjalanan menuju pembebasan Yerusalem dan salah satu pelopor dalam perang melawan rezim Zionis yang merebut [Palestina]," kata Raisi.
Lahir di Teheran pada tahun 1947, Mohtashamipour bertemu Khomeini sebagai ulama di pengasingan di Najaf setelah diusir dari Iran oleh Shah Mohammad Reza Pahlavi. Pada 1970-an, dia melintasi Timur Tengah berbicara kepada kelompok-kelompok militan pada saat itu, membantu membentuk aliansi antara Republik Islam Iran masa depan dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) saat memerangi Israel.
Setelah ditangkap oleh Irak, Mohtashamipour menemukan jalannya ke kediaman Khomeini di pengasingan di luar Paris. Mereka kembali dengan penuh kemenangan ke Iran di tengah Revolusi Islam 1979.
Pada tahun 1982, Khomeini mengerahkan Mohtashamipour ke Suriah, yang saat itu berada di bawah pemerintahan diktator Hafez Assad.
Saat berperan sebagai diplomat, Mohtashamipour mengawasi dana yang mengalir untuk membiayai operasi IRGC di wilayah tersebut.
Lebanon, yang saat itu didominasi oleh Suriah, yang mengerahkan puluhan ribu tentara di sana, mendapati dirinya diserang oleh Israel pada tahun 1982 ketika Israel mengejar PLO di Lebanon.
Dukungan Iran mengalir ke komunitas Syiah Lebanon yang melawan Israel. Dari situlah terlahir kelompok militan baru yang disebut Hizbullah atau "Partai Tuhan".
Amerika Serikat (AS) menyalahkan Hizbullah atas pemboman Kedutaan Besar AS di Beirut tahun 1983 yang menewaskan 63 orang, serta pemboman di barak Marinir AS di Ibu Kota Lebanon yang menewaskan 241 tentara AS dan serangan lain yang menewaskan 58 pasukan terjun payung Prancis. Hizbullah dan Iran membantah terlibat.
“Pengadilan menemukan bahwa tidak diragukan lagi bahwa Hizbullah dan agen-agennya menerima dukungan material dan teknis besar-besaran dari pemerintah Iran,” tulis Hakim Distrik AS Royce Lamberth pada tahun 2003.
Sebuah obituari IRNA tentang Mohtashamipour hanya menggambarkannya sebagai "salah satu pendiri Hizbullah di Lebanon" dan menyalahkan Israel atas pemboman yang melukainya. Itu tidak membahas tuduhan AS tentang keterlibatannya dalam pemboman bunuh diri yang menargetkan orang Amerika.
Hizbullah, dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan di Beirut, menyampaikan belasungkawa, memuji Mohtashamipour atas perannya dalam melayani revolusi dan dalam memberikan segala bentuk dukungan terhadap peluncuran perlawanan Islam di Lebanon dan perjuangan Palestina.
"Luka berdarah di tangan, wajah, dan dadanya sebagai akibat dari upaya pembunuhan adalah bukti posisi jihadnya yang besar, terutama pada tahap konflik dengan musuh Zionis," bunyi pernyataan Hizbullah, seperti dikutip AP, Selasa (8/6/2021).
Pada saat upaya pembunuhan terhadapnya, badan intelijen Israel Mossad telah menerima laporan persetujuan dari Perdana Menteri saat itu Yitzhak Shamir untuk mengejar Mohtashamipour. Hal itu diungkap dalam buku "Rise and Kill First", buku tentang pembunuhan oleh Israel yang ditulis oleh jurnalis Ronen Bergman.
"Israel memilih untuk mengirim bom yang disembunyikan di dalam sebuah buku yang digambarkan sebagai 'volume luar biasa dalam bahasa Inggris tentang tempat-tempat suci Syiah di Iran dan Irak' pada Hari Valentine tahun 1984," tulis Bergman.
Bom meledak ketika Mohtashamipour membuka buku itu, merobek tangan kanannya dan dua jari di tangan kirinya. Tapi dia selamat, kemudian menjadi menteri dalam negeri Iran serta menjabat sebagai anggota parlemen garis keras sebelum bergabung dengan kubu reformis pada 2009.
(min)
tulis komentar anda