Ramalan Khamenei: Israel Lenyap dalam 19 Tahun, Kissinger: Hilang Tahun Depan

Kamis, 13 Mei 2021 - 06:07 WIB
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei. Foto/Anadolu
TEHERAN - Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei pertama kali meramalkan pada 2015 bahwa Israel tidak akan menyaksikan 25 tahun ke depan.

"Pertama, Anda (Israel) tidak akan melihat 25 tahun ke depan," ungkap Khamenei.

"Insya Allah, tidak akan ada yang namanya rezim Zionis dalam 25 tahun. Sampai saat itu, semangat perjuangan, heroik dan jihad tidak akan meninggalkan momen ketenangan bagi Zionis."





Hal ini disebutkan sehubungan dengan kesepakatan nuklir Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang ditandatangani awal tahun itu antara Teheran dan P5 + 1 yang secara teori akan berakhir dalam waktu 25 tahun. Dalam konteks inilah pernyataan itu muncul.



Jika dikurangi sampai tahun 2021, maka kehancuran Israel diperkirakan tinggal 19 tahun lagi menurut ramalan tersebut.



Retorika semacam itu pernah dibuat di masa lalu oleh Iran, misalnya, mantan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad mengatakan 10 tahun sebelumnya, "Rezim yang menduduki Yerusalem harus lenyap dari halaman waktu."

Perkataan Ahmadinejad itu secara populer salah diterjemahkan dan salah dikutip oleh media-media Barat pada saat itu menjadi "Israel harus dihapus dari peta."

Kutipan asli perkataan Ahmadinejad itu sendiri dikaitkan dengan pernyataan pendiri Republik Islam Ayatollah Ruhollah Khomeini.

"25 tahun" dalam beberapa hal telah menjadi mantra, dan ditulis ulang secara resmi di website Khamenei pada tahun berikutnya pada 2016.

Kepala Angkatan Darat Iran, Mayor Jenderal Abdolrahim Mousavi mengulangi klaim tersebut pada 2017 selama acara memperingati kejatuhan saat Perang Iran-Irak.

Mousavi juga dikutip baru-baru ini oleh outlet berita Iran, mengomentari kerusuhan di Palestina bahwa, "Tanda-tanda jatuhnya pembunuh anak-anak dan rezim Zionis yang tidak sah telah menjadi bukti."

"Ada juga indikasi yang menjanjikan tentang perubahan keseimbangan kekuatan yang berpihak pada Palestina. Ini semua menunjukkan kebenaran prediksi bahwa rezim Zionis tidak akan melihat 25 tahun ke depan," tambah dia.

Namun, mengingat situasi politik saat ini antara Israel dan Palestina, yang berpusat pada serangan brutal Israel dan penodaan kompleks Masjid Al-Aqsa serta penggusuran paksa di Sheikh Jarrah dan konflik yang semakin mendekati intifada ketiga, tampaknya prediksi Khamenei mungkin benar-benar terwujud, tak hanya retorika.

Faktanya, kepala negara Iran bukanlah orang pertama yang meramalkan jatuhnya Israel di masa depan.

Negarawan senior Amerika Serikat (AS) Henry Kissinger, yang berasal dari keturunan Yahudi dan hampir berusia seratus tahun, kurang bermurah hati dalam prediksinya sendiri tentang nasib negara Yahudi itu.

Dia diduga telah menyatakan pada 2012 bahwa, "Dalam 10 tahun tidak akan ada lagi Israel."

Meski diakui Haaretz, Times of Israel yang mengutip salah seorang staf Kissinger membantah pernyataan tersebut.

Jika memang mantan menteri luar negeri AS itu benar-benar membuat pernyataan tersebut, maka ramalan keruntuhan Israel akan terjadi tahun depan.

Ide-ide tentang kemampuan Israel bertahan hidup, ternyata lebih dekat daripada yang diyakini Israel dan para pendukungnya.

Dalam artikel opini bulan Februari di Yedioth Ahronot, mantan kepala Shin Bet, Yuval Diskin, menyesalkan Israel tidak akan bertahan untuk generasi berikutnya. Dia tidak berbicara secara kiasan.

Diskin menjelaskan, "Saya tidak berbicara tentang ancaman nuklir Iran, rudal Hizbullah, atau Islam fundamentalis ekstremis. Saya berbicara tentang tren demografis, sosial dan ekonomi yang telah mengubah esensi negara dan ditakdirkan untuk membahayakan eksistensinya di satu generasi."

"Dalam waktu sekitar 40 tahun, sekitar setengah dari warga Israel akan menjadi ultra-Ortodoks dan Arab," tulis dia.

Ini jelas merupakan masalah keamanan bagi Israel, terutama karena keduanya dikecualikan dari militer dan seperti yang diakui Diskin, "Keduanya lazim dalam kecenderungan anti-Zionis."

Teori bom waktu demografis telah dibahas banyak sekali selama bertahun-tahun, terutama ketika seseorang mempertimbangkan populasi gabungan Gaza dan Tepi Barat, bersama dengan apa yang disebut populasi Arab Israel, yang mencakup sekitar 20% dari populasi Israel.

Oleh karena itu Israel tidak bisa menjadi negara mayoritas Yahudi dan demokrasi pada saat yang sama. "Jika tidak bisa keduanya, impian Zionis di mana Israel didirikan akan berakhir," demikian pendapat jurnalis Michael Petrou pada 2008.
(sya)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More