Parlemen Pakistan Bahas Keputusan Terkait Pengusiran Dubes Prancis
Selasa, 20 April 2021 - 16:01 WIB
ISLAMABAD - Parlemen Pakistan akan mempertimbangkan resolusi tentang apakah duta besar (dubes) Prancis harus diusir dari negara itu karena membela penerbitan kartun kontroversial yang menghina Nabi Muhammad SAW.
Hasil sidang parlemen akan menguji apakah pemerintah menyerah pada ancaman dari kelompok garis keras.
“Dalam resolusi tersebut, berbagai kasus terhadap kelompok garis keras dalam protes anti-Prancis akan dicabut,” ungkap Kementerian Dalam Negeri Pakistan .
Nasib resolusi itu tidak jelas, tetapi diskusi Parlemen tentang masalah tersebut akan menjadi ujian apakah Perdana Menteri Imran Khan menyerah pada tekanan dari kubu garis keras dan Partai Tehreek-e-Labaik Pakistan.
Menteri Dalam Negeri Pakistan Sheikh Rashid Ahmad mengumumkan proposal tersebut dalam pesan video setelah pembicaraan semalam dengan perwakilan partai itu.
Kelompok garis keras telah berkumpul sejak pekan lalu untuk pengusiran duta besar Prancis di Pakistan.
Pendukung kelompok itu marah atas publikasi kartun Nabi Muhammad di Prancis.
Mereka juga memprotes penangkapan 12 April terhadap pemimpin mereka, Saad Rizvi, ulama yang muncul sebagai pemimpin kelompok itu pada November setelah kematian mendadak ayahnya, Khadim Hussein Rizvi.
Partainya menginginkan produk Prancis diboikot dan duta besar Prancis diusir berdasarkan kesepakatan yang ditandatangani antara pemerintah dan partai Rizvi pada Februari lalu.
Namun, pemerintah menyatakan hanya berkomitmen untuk membahas masalah itu di DPR pada Selasa, 20 April.
Saat itulah Ahmad mengatakan resolusi akan diajukan pemerintah di Majelis Nasional, majelis rendah DPR, untuk membahas pengusiran Duta Besar Prancis tersebut.
Pemerintahan Perdana Menteri Khan memegang mayoritas sederhana di Majelis Nasional.
Pendukung Rizvi turun ke jalan di penjuru negeri pekan lalu ketika polisi menangkapnya karena mengancam pemerintah dengan protes menuntut pengusiran dubes Prancis tersebut.
Reaksi dari pendukung Rizvi terhadap penangkapannya begitu cepat sehingga kekerasan dengan cepat menyebar ke penjuru negeri, menewaskan empat petugas polisi dan enam pengunjuk rasa.
Saat pihak berwenang mengirim pasukan paramiliter untuk membantu polisi menindak pendukung Rizvi, Khan melarang liputan berita tentang partai Rizvi oleh media lokal.
Media dibungkam untuk tidak memberitakan unjuk rasa para pendukung Rizvi di Pakistan, di mana militer yang kuat menggunakan berbagai taktik untuk membungkam kebebasan pers.
Pakistan berada di peringkat 145 dalam indeks kebebasan dunia, menurut laporan yang dirilis Reporters Without Borders.
Pakistan termasuk di antara negara-negara di mana militer dan badan-badannya mengontrol media massa.
Laporan itu mengatakan sebagian besar media enggan mematuhi garis merah yang diberlakukan militer. "Aparat sensor Pakistan masih berjuang mengontrol media sosial, satu-satunya ruang di mana beberapa suara kritis dapat didengar," ungkap laporan itu.
Pasukan keamanan Pakistan dalam serangkaian operasi membersihkan hampir semua aksi unjuk rasa, tetapi pendukung Rizvi masih berdemonstrasi di Lahore, ibu kota provinsi Punjab timur tempat mereka menyerang kantor polisi selama akhir pekan.
Para pendukung menyandera 11 petugas polisi dan membebaskan mereka pada Senin setelah pembicaraan dengan pemerintah.
Ahmed mengatakan pembicaraan pemerintah dengan kelompok Rizvi akan berlanjut dan dia akan membagikan lebih banyak detail pada Selasa nanti.
Perkembangan terbaru terjadi sehari setelah Khan, dalam pidato yang disiarkan televisi membela keputusannya untuk tidak mengusir dubes Prancis itu. Menurut dia, pengusiran dubes dapat memengaruhi hubungan perdagangan Pakistan dengan Uni Eropa.
Ketegangan berasal dari pernyataan presiden Prancis yang membela kebebasan berbicara menerbitkan karikatur Nabi Muhammad Islam oleh surat kabar satir. Hal itu menuai kecaman dari seluruh dunia Muslim.
Partai Rizvi mendukung undang-undang penistaan agama di negara itu dan memiliki sejarah melakukan aksi kekerasan untuk memengaruhi kebijakan pemerintah.
Hasil sidang parlemen akan menguji apakah pemerintah menyerah pada ancaman dari kelompok garis keras.
“Dalam resolusi tersebut, berbagai kasus terhadap kelompok garis keras dalam protes anti-Prancis akan dicabut,” ungkap Kementerian Dalam Negeri Pakistan .
Nasib resolusi itu tidak jelas, tetapi diskusi Parlemen tentang masalah tersebut akan menjadi ujian apakah Perdana Menteri Imran Khan menyerah pada tekanan dari kubu garis keras dan Partai Tehreek-e-Labaik Pakistan.
Menteri Dalam Negeri Pakistan Sheikh Rashid Ahmad mengumumkan proposal tersebut dalam pesan video setelah pembicaraan semalam dengan perwakilan partai itu.
Kelompok garis keras telah berkumpul sejak pekan lalu untuk pengusiran duta besar Prancis di Pakistan.
Pendukung kelompok itu marah atas publikasi kartun Nabi Muhammad di Prancis.
Mereka juga memprotes penangkapan 12 April terhadap pemimpin mereka, Saad Rizvi, ulama yang muncul sebagai pemimpin kelompok itu pada November setelah kematian mendadak ayahnya, Khadim Hussein Rizvi.
Partainya menginginkan produk Prancis diboikot dan duta besar Prancis diusir berdasarkan kesepakatan yang ditandatangani antara pemerintah dan partai Rizvi pada Februari lalu.
Namun, pemerintah menyatakan hanya berkomitmen untuk membahas masalah itu di DPR pada Selasa, 20 April.
Saat itulah Ahmad mengatakan resolusi akan diajukan pemerintah di Majelis Nasional, majelis rendah DPR, untuk membahas pengusiran Duta Besar Prancis tersebut.
Pemerintahan Perdana Menteri Khan memegang mayoritas sederhana di Majelis Nasional.
Pendukung Rizvi turun ke jalan di penjuru negeri pekan lalu ketika polisi menangkapnya karena mengancam pemerintah dengan protes menuntut pengusiran dubes Prancis tersebut.
Reaksi dari pendukung Rizvi terhadap penangkapannya begitu cepat sehingga kekerasan dengan cepat menyebar ke penjuru negeri, menewaskan empat petugas polisi dan enam pengunjuk rasa.
Saat pihak berwenang mengirim pasukan paramiliter untuk membantu polisi menindak pendukung Rizvi, Khan melarang liputan berita tentang partai Rizvi oleh media lokal.
Media dibungkam untuk tidak memberitakan unjuk rasa para pendukung Rizvi di Pakistan, di mana militer yang kuat menggunakan berbagai taktik untuk membungkam kebebasan pers.
Pakistan berada di peringkat 145 dalam indeks kebebasan dunia, menurut laporan yang dirilis Reporters Without Borders.
Pakistan termasuk di antara negara-negara di mana militer dan badan-badannya mengontrol media massa.
Laporan itu mengatakan sebagian besar media enggan mematuhi garis merah yang diberlakukan militer. "Aparat sensor Pakistan masih berjuang mengontrol media sosial, satu-satunya ruang di mana beberapa suara kritis dapat didengar," ungkap laporan itu.
Pasukan keamanan Pakistan dalam serangkaian operasi membersihkan hampir semua aksi unjuk rasa, tetapi pendukung Rizvi masih berdemonstrasi di Lahore, ibu kota provinsi Punjab timur tempat mereka menyerang kantor polisi selama akhir pekan.
Para pendukung menyandera 11 petugas polisi dan membebaskan mereka pada Senin setelah pembicaraan dengan pemerintah.
Ahmed mengatakan pembicaraan pemerintah dengan kelompok Rizvi akan berlanjut dan dia akan membagikan lebih banyak detail pada Selasa nanti.
Perkembangan terbaru terjadi sehari setelah Khan, dalam pidato yang disiarkan televisi membela keputusannya untuk tidak mengusir dubes Prancis itu. Menurut dia, pengusiran dubes dapat memengaruhi hubungan perdagangan Pakistan dengan Uni Eropa.
Ketegangan berasal dari pernyataan presiden Prancis yang membela kebebasan berbicara menerbitkan karikatur Nabi Muhammad Islam oleh surat kabar satir. Hal itu menuai kecaman dari seluruh dunia Muslim.
Partai Rizvi mendukung undang-undang penistaan agama di negara itu dan memiliki sejarah melakukan aksi kekerasan untuk memengaruhi kebijakan pemerintah.
(sya)
Lihat Juga :
tulis komentar anda