Kembali ke Jalur Persaingan, China dan Barat Kian Menjauh
Selasa, 13 April 2021 - 05:30 WIB
BEIJING - Hanya butuh satu pertemuan untuk melihat kemungkinan hubungan Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan Joe Biden dan China menguap. Sebaliknya, aliansi dengan cepat terbentuk di kedua sisi garis pemisah lama, yakni demokrasi.
Musik suasana hati menjelang pertemuan pada pertengahan Maret di kota Anchorage, Alaska, antara para diplomat top kedua negara itu bersemangat. Tetapi, pertemuan mereka dengan cepat runtuh dan belum ada perbaikan hubungan antara kedua negara hingga saat ini.
Sebaliknya, AS telah menyesuaikan diri dengan 'Quad', yakni Jepang, India, dan Australia, sambil membujuk Uni Eropa (UE), Inggris, dan Kanada agar memberikan sanksi kepada pejabat China atas perlakuan mereka terhadap minoritas Muslim di wilayah Xinjiang.
China telah merespon dengan sanksi balasan terhadap beberapa anggota parlemen UE dan Inggris, sambil menyegel kesepakatan dengan Iran, dan menegaskan kembali persahabatan dengan Rusia dan Korea Utara (Korut).
Hal itu telah membuka jurang antara Beijing dan Barat, yang semakin dijelaskan dalam istilah ideologis, tetapi dibingkai oleh ketakutan yang lebih besar akan persaingan atas teknologi, perdagangan, dan pertahanan.
"Kitz sedang menuju tatanan bipolar dan Perang Dingin baru antara 'orang baik' dan 'orang jahat'," kata Jean-Pierre Cabestan, profesor ilmu politik di Universitas Baptis Hong Kong.
Biden mendambakan sekutu untuk mengimbangi kebangkitan China, perubahan dari tindakan sepihak dan perang perdagangan di era Donald Trump, dengan HAM dan demokrasi muncul sebagai penyebab utama bagi blok anti-Beijing yang baru.
"Ada persatuan suci baru demokrasi pada (masalah) Xinjiang, Hong Kong dan HAM di China," kata Cabestan.
Di sisi lain, menurut Bonnie Glaser, Penasihat Senior untuk Asia di Pusat Kajian Strategis dan Internasional Washington (CSIS), China meneken kerjasama dengan Iran, untuk menunjukan bahwa mereka tidak sendirian.
Selain itu, Beijing juga menegaskan hubungan dengan Rusia dan melakukan pendekatan dengan Turki dan Arab Saudi. "Beijing menunjukkan bahwa ia memiliki teman dan pilihan lain," ucapnya.
Meski terus terjadinya saling sikut antara kedua negara, Glaser menilai masih ada harapan untuk pemulihan hubungan potensial atas kepentingan bersama yang lebih besar seperti perubahan iklim dan vaksin.
"China secara jelas mengisyaratkan bahwa mereka menginginkan hubungan AS-China yang stabil," ungkapnya.
Musik suasana hati menjelang pertemuan pada pertengahan Maret di kota Anchorage, Alaska, antara para diplomat top kedua negara itu bersemangat. Tetapi, pertemuan mereka dengan cepat runtuh dan belum ada perbaikan hubungan antara kedua negara hingga saat ini.
Sebaliknya, AS telah menyesuaikan diri dengan 'Quad', yakni Jepang, India, dan Australia, sambil membujuk Uni Eropa (UE), Inggris, dan Kanada agar memberikan sanksi kepada pejabat China atas perlakuan mereka terhadap minoritas Muslim di wilayah Xinjiang.
China telah merespon dengan sanksi balasan terhadap beberapa anggota parlemen UE dan Inggris, sambil menyegel kesepakatan dengan Iran, dan menegaskan kembali persahabatan dengan Rusia dan Korea Utara (Korut).
Hal itu telah membuka jurang antara Beijing dan Barat, yang semakin dijelaskan dalam istilah ideologis, tetapi dibingkai oleh ketakutan yang lebih besar akan persaingan atas teknologi, perdagangan, dan pertahanan.
"Kitz sedang menuju tatanan bipolar dan Perang Dingin baru antara 'orang baik' dan 'orang jahat'," kata Jean-Pierre Cabestan, profesor ilmu politik di Universitas Baptis Hong Kong.
Biden mendambakan sekutu untuk mengimbangi kebangkitan China, perubahan dari tindakan sepihak dan perang perdagangan di era Donald Trump, dengan HAM dan demokrasi muncul sebagai penyebab utama bagi blok anti-Beijing yang baru.
"Ada persatuan suci baru demokrasi pada (masalah) Xinjiang, Hong Kong dan HAM di China," kata Cabestan.
Di sisi lain, menurut Bonnie Glaser, Penasihat Senior untuk Asia di Pusat Kajian Strategis dan Internasional Washington (CSIS), China meneken kerjasama dengan Iran, untuk menunjukan bahwa mereka tidak sendirian.
Selain itu, Beijing juga menegaskan hubungan dengan Rusia dan melakukan pendekatan dengan Turki dan Arab Saudi. "Beijing menunjukkan bahwa ia memiliki teman dan pilihan lain," ucapnya.
Meski terus terjadinya saling sikut antara kedua negara, Glaser menilai masih ada harapan untuk pemulihan hubungan potensial atas kepentingan bersama yang lebih besar seperti perubahan iklim dan vaksin.
"China secara jelas mengisyaratkan bahwa mereka menginginkan hubungan AS-China yang stabil," ungkapnya.
(esn)
tulis komentar anda