Berlutut Hadang Polisi Myanmar, Biarawati: Tembak Aku Saja
Selasa, 09 Maret 2021 - 20:41 WIB
Pertama dia melihat seorang pria tertembak di kepala jatuh mati di depannya - kemudian dia merasakan sengatan gas air mata.
"Saya merasa dunia sedang runtuh," katanya. "Saya sangat sedih itu terjadi saat saya memohon kepada mereka," imbuhnya.
Sebuah tim penyelamat lokal mengkonfirmasi kepada AFP bahwa dua pria ditembak mati di tempat selama bentrokan Senin kemarin, meskipun tidak mengkonfirmasi apakah peluru tajam atau peluru karet yang digunakan.
Pada hari Selasa, salah satu korban, Zin Min Htet, dibaringkan dalam peti kaca dan diangkut dengan mobil jenazah emas yang ditutupi bunga putih dan merah.
Para pelayat mengangkat tiga jari sebagai simbol perlawanan, saat ansambel musik pemain instrumen kuningan, penabuh genderang dan seorang bagpiper berseragam putih bersih memimpin prosesi pemakaman.
Insiden pada Senin kemarin bukanlah pertemuan pertama Suster Ann Rose Nu Tawng dengan pasukan keamanan. Pada 28 Februari dia membuat permohonan yang sama untuk belas kasihan, berjalan perlahan ke arah polisi dengan perlengkapan anti huru hara, berlutut dan memohon agar mereka berhenti.
"Saya mengira diri saya sudah mati sejak 28 Februari," katanya tentang hari saat dia membuat keputusan untuk melawan polisi bersenjata.
Pada hari Senin, dia ditemani oleh para suster dan uskup setempat, yang mengelilinginya saat dia memohon belas kasihan bagi para pengunjuk rasa.
"Kami berada di sana untuk melindungi saudara perempuan kami dan orang-orang kami karena dia mempertaruhkan nyawanya," kata Suster Mary John Paul kepada AFP.
"Saya merasa dunia sedang runtuh," katanya. "Saya sangat sedih itu terjadi saat saya memohon kepada mereka," imbuhnya.
Sebuah tim penyelamat lokal mengkonfirmasi kepada AFP bahwa dua pria ditembak mati di tempat selama bentrokan Senin kemarin, meskipun tidak mengkonfirmasi apakah peluru tajam atau peluru karet yang digunakan.
Pada hari Selasa, salah satu korban, Zin Min Htet, dibaringkan dalam peti kaca dan diangkut dengan mobil jenazah emas yang ditutupi bunga putih dan merah.
Para pelayat mengangkat tiga jari sebagai simbol perlawanan, saat ansambel musik pemain instrumen kuningan, penabuh genderang dan seorang bagpiper berseragam putih bersih memimpin prosesi pemakaman.
Insiden pada Senin kemarin bukanlah pertemuan pertama Suster Ann Rose Nu Tawng dengan pasukan keamanan. Pada 28 Februari dia membuat permohonan yang sama untuk belas kasihan, berjalan perlahan ke arah polisi dengan perlengkapan anti huru hara, berlutut dan memohon agar mereka berhenti.
"Saya mengira diri saya sudah mati sejak 28 Februari," katanya tentang hari saat dia membuat keputusan untuk melawan polisi bersenjata.
Pada hari Senin, dia ditemani oleh para suster dan uskup setempat, yang mengelilinginya saat dia memohon belas kasihan bagi para pengunjuk rasa.
"Kami berada di sana untuk melindungi saudara perempuan kami dan orang-orang kami karena dia mempertaruhkan nyawanya," kata Suster Mary John Paul kepada AFP.
Lihat Juga :
tulis komentar anda