Pendiri Blackwater: Hasil Investigasi PBB Benar-benar Salah
Kamis, 25 Februari 2021 - 05:37 WIB
WASHINGTON - Pendiri dan mantan CEO perusahaan keamanan swasta Blackwater, Eric Prince, membantah berperan dalam mengirim tentara bayaran untuk mendukung pasukan pemberontak Jenderal Khalifa Haftar di Libya .
Prince merespons laporan rahasia oleh penyelidik PBB , yang mengatakan ia mengirim tentara bayaran untuk mendukung Haftar selama upayanya menggulingkan Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang diakui secara internasional dan mengendalikan Ibu Kota, Tripoli.
"Hasil penyelidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa sepenuhnya salah," kata Prince seperti dikutip dari Middle East Monitor, Kamis (25/6/2021).
Ia juga menegaskan dirinya bukan penasihat mantan presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Prince mengaku bertemu dengan Trump hanya sekali saat dia menjabat. Ia juga tidak pernah membahas situasi di Libya atau masalah politik lainnya dengan mantan presiden itu, menantu laki-lakinya Jared Kushner, atau dengan mantan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo.
Prince juga menyatakan bahwa dia belum bertemu Haftar dan tidak berada di Mesir pada 2019. Pengakuan ini menunjukkan bahwa ia belum melihat laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan tuduhan terhadapnya.
Laporan rahasia tersebut menyimpulkan bahwa mantan kepala Blackwater itu melanggar embargo senjata yang diberlakukan di Libya. Prince dilaporkan telah mengirim tentara bayaran yang dilengkapi dengan drone penyerang, kapal perang, dan kemampuan perang siber untuk mendukung Haftar di Libya timur pada 2019, selama serangan di Tripoli dan daerah lain di sebelah barat negara itu.
Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa, operasi yang menelan biaya USD80 juta itu termasuk rencana yang dibuat oleh tentara bayaran untuk membentuk kelompok bersenjata guna mengejar dan membunuh para pemimpin militer Libya.
Kampanye militer Haftar, yang diluncurkan pada April 2019, gagal menggulingkan GNA dan menguasai Tripoli. Dengan bantuan pasukan Turki, GNA mampu mengusir pasukan Haftar dan mendapatkan kembali kendali atas semua wilayahnya pada Juni 2020.
Setelah penarikan pasukan Haftar, pasukan GNA menemukan banyak kuburan massal warga sipil dan lainnya yang telah dibunuh oleh pasukan mantan jenderal itu.
GNA menuduh Haftar memerintahkan tentara bayaran untuk melakukan kejahatan perang di Libya.
Prince merespons laporan rahasia oleh penyelidik PBB , yang mengatakan ia mengirim tentara bayaran untuk mendukung Haftar selama upayanya menggulingkan Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang diakui secara internasional dan mengendalikan Ibu Kota, Tripoli.
"Hasil penyelidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa sepenuhnya salah," kata Prince seperti dikutip dari Middle East Monitor, Kamis (25/6/2021).
Ia juga menegaskan dirinya bukan penasihat mantan presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Prince mengaku bertemu dengan Trump hanya sekali saat dia menjabat. Ia juga tidak pernah membahas situasi di Libya atau masalah politik lainnya dengan mantan presiden itu, menantu laki-lakinya Jared Kushner, atau dengan mantan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo.
Prince juga menyatakan bahwa dia belum bertemu Haftar dan tidak berada di Mesir pada 2019. Pengakuan ini menunjukkan bahwa ia belum melihat laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan tuduhan terhadapnya.
Laporan rahasia tersebut menyimpulkan bahwa mantan kepala Blackwater itu melanggar embargo senjata yang diberlakukan di Libya. Prince dilaporkan telah mengirim tentara bayaran yang dilengkapi dengan drone penyerang, kapal perang, dan kemampuan perang siber untuk mendukung Haftar di Libya timur pada 2019, selama serangan di Tripoli dan daerah lain di sebelah barat negara itu.
Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa, operasi yang menelan biaya USD80 juta itu termasuk rencana yang dibuat oleh tentara bayaran untuk membentuk kelompok bersenjata guna mengejar dan membunuh para pemimpin militer Libya.
Kampanye militer Haftar, yang diluncurkan pada April 2019, gagal menggulingkan GNA dan menguasai Tripoli. Dengan bantuan pasukan Turki, GNA mampu mengusir pasukan Haftar dan mendapatkan kembali kendali atas semua wilayahnya pada Juni 2020.
Setelah penarikan pasukan Haftar, pasukan GNA menemukan banyak kuburan massal warga sipil dan lainnya yang telah dibunuh oleh pasukan mantan jenderal itu.
GNA menuduh Haftar memerintahkan tentara bayaran untuk melakukan kejahatan perang di Libya.
(ian)
Lihat Juga :
tulis komentar anda