Jenderal Intelijen Israel: Iran Bisa Membuat Bom Nuklir dalam Dua Tahun
Rabu, 10 Februari 2021 - 11:45 WIB
TEL AVIV - Intelijen Israel pecaya bahwa Iran terus mendanai program nuklirnya meskipun dihantam krisis ekonomi yang menyakitkan. Hal itu diungkapkan seorang perwira intelijen Israel, Mayor Jenderal Tamir Heiman.
Menurut Heiman, Iran memiliki kemampuan untuk membuat bom nuklir dalam waktu dua tahun, jika ia memutuskan untuk melakukannya. Tel Aviv menduga Iran menunggu Amerika Serikat (AS) kembali ke perjanjian nuklir, karena itu akan meringankan rezim sanksi yang berat.
"Dalam situasi saat ini, Iran menganggap kesepakatan nuklir sebagai satu-satunya jalan keluar dari krisis, dan karenanya mencoba untuk kembali ke kesepakatan yang telah ditandatangani pada tahun 2015," terang Heiman seperti dikutip dari Sputnik, Rabu (10/2/2021).
Pemerintahan baru AS telah berulang kali mengisyaratkan bahwa AS sedang mempertimbangkan untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Namun Iran bersikeras bahwa AS harus mengambil langkah pertama menuju negosiasi dan mencabut sanksi, karena Washington adalah pihak pertama yang meninggalkan perjanjian tersebut.
Sebelumnya, juru bicara Gedung Putih Jen Psaki mengklaim bahwa AS akan kembali ke perjanjian jika Iran mematuhi persyaratannya. Presiden AS, Joe Biden, juga mencatat bahwa AS tidak akan menghapus pembatasan perdagangan sampai Iran menghentikan pengayaan uranium.
Teheran telah memperingatkan bahwa hanya ada sedikit waktu tersisa bagi Washington untuk kembali ke JCPOA. Iran telah mengesahkan undang-undang yang yang mencakup peningkatan pengayaan uranium dan penangguhan inspeksi PBB terhadap pembangkit nuklirnya jika sanksi tidak dihapus. Undang-undang tersebut disahkan Iran setelah pembunuhan fisikawan nuklir Mohsen Fakhrizadeh.
Pada awal tahun ini, organisasi energi atom Iran mengumumkan bahwa negara tersebut telah kembali melakukan praktik pengayaan uranium hingga 20 persen di Pabrik Pengayaan Bahan Bakar Fordow.
Saat ini, masa depan JCPOA masih dalam ketidakpastian setelah pemerintahan Trump secara sepihak menarik AS dari perjanjian pada 8 Mei 2018. Trump menyatakan bahwa Iran telah melanggar ketentuannya dan memberlakukan sanksi baru terhadap Teheran. Pada saat yang sama, anggota JCPOA lainnya, bersama dengan IAEA, berulang kali menekankan bahwa Iran telah memenuhi semua ketentuan kesepakatan dan tidak berniat mengembangkan senjata nuklir.
Sebagai tanggapan, Teheran mengakhiri sebagian dari kewajibannya berdasarkan perjanjian tersebut, meninggalkan pembatasan penelitian nuklir, termasuk pengayaan uranium dan jumlah sentrifugal yang diperlukan untuk proses ini.
Menurut Heiman, Iran memiliki kemampuan untuk membuat bom nuklir dalam waktu dua tahun, jika ia memutuskan untuk melakukannya. Tel Aviv menduga Iran menunggu Amerika Serikat (AS) kembali ke perjanjian nuklir, karena itu akan meringankan rezim sanksi yang berat.
"Dalam situasi saat ini, Iran menganggap kesepakatan nuklir sebagai satu-satunya jalan keluar dari krisis, dan karenanya mencoba untuk kembali ke kesepakatan yang telah ditandatangani pada tahun 2015," terang Heiman seperti dikutip dari Sputnik, Rabu (10/2/2021).
Pemerintahan baru AS telah berulang kali mengisyaratkan bahwa AS sedang mempertimbangkan untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Namun Iran bersikeras bahwa AS harus mengambil langkah pertama menuju negosiasi dan mencabut sanksi, karena Washington adalah pihak pertama yang meninggalkan perjanjian tersebut.
Sebelumnya, juru bicara Gedung Putih Jen Psaki mengklaim bahwa AS akan kembali ke perjanjian jika Iran mematuhi persyaratannya. Presiden AS, Joe Biden, juga mencatat bahwa AS tidak akan menghapus pembatasan perdagangan sampai Iran menghentikan pengayaan uranium.
Teheran telah memperingatkan bahwa hanya ada sedikit waktu tersisa bagi Washington untuk kembali ke JCPOA. Iran telah mengesahkan undang-undang yang yang mencakup peningkatan pengayaan uranium dan penangguhan inspeksi PBB terhadap pembangkit nuklirnya jika sanksi tidak dihapus. Undang-undang tersebut disahkan Iran setelah pembunuhan fisikawan nuklir Mohsen Fakhrizadeh.
Pada awal tahun ini, organisasi energi atom Iran mengumumkan bahwa negara tersebut telah kembali melakukan praktik pengayaan uranium hingga 20 persen di Pabrik Pengayaan Bahan Bakar Fordow.
Saat ini, masa depan JCPOA masih dalam ketidakpastian setelah pemerintahan Trump secara sepihak menarik AS dari perjanjian pada 8 Mei 2018. Trump menyatakan bahwa Iran telah melanggar ketentuannya dan memberlakukan sanksi baru terhadap Teheran. Pada saat yang sama, anggota JCPOA lainnya, bersama dengan IAEA, berulang kali menekankan bahwa Iran telah memenuhi semua ketentuan kesepakatan dan tidak berniat mengembangkan senjata nuklir.
Sebagai tanggapan, Teheran mengakhiri sebagian dari kewajibannya berdasarkan perjanjian tersebut, meninggalkan pembatasan penelitian nuklir, termasuk pengayaan uranium dan jumlah sentrifugal yang diperlukan untuk proses ini.
(ber)
tulis komentar anda