China: Ekstremisme Membuat Wanita Uighur Jadi 'Mesin Pembuat Bayi'
Sabtu, 09 Januari 2021 - 06:42 WIB
BEIJING - Sebuah laporan baru dari China mengklaim bahwa menjaga warga Uighur di kamp-kamp konsentrasi di Xinjiang sebagai langkah positif. Langkah itu bahkan diklaim membantu menyadarkan para wanita Uighur dari paham ekstremisme bahwa mereka bukan "mesin pembuat bayi".
Pemerintah China mengambil apa yang media Barat gambarkan sebagai tindakan kejam untuk memangkas angka kelahiran di antara orang-orang Uighur dan minoritas lainnya sebagai bagian dari kampanye besar-besaran tahun lalu untuk mengekang populasi Muslimnya. (Baca: China Ledek Kerusuhan Capitol AS: 'Pemandangan yang Indah' )
Laporan dari pakar China Adrian Zenz pada Juni 2020 menemukan bahwa para wanita dipaksa untuk disterilkan atau dilengkapi dengan alat kontrasepsi. Laporan dari Zenz muncul ketika sekitar satu juta orang diduga telah ditahan selama beberapa tahun terakhir dalam apa yang oleh negara China didefinisikan sebagai "kamp pendidikan ulang".
(Baca juga : Demi Bahagiakan Ibu, Ronaldo Siap Ajak Georgina Rodriguez ke Penghulu )
Instruksi yang diberikan ke kamp-kamp tersebut, yang dibocorkan ke Konsorsium Jurnalis Investigasi Internasional pada tahun 2019, menjelaskan bahwa kamp-kamp itu harus dijalankan sebagai penjara dengan keamanan tinggi dengan disiplin yang ketat, hukuman dan tidak ada pelarian.
"Ini adalah bukti yang bisa ditindaklanjuti, yang mendokumentasikan pelanggaran berat hak asasi manusia,” kata direktur China di Human Rights Watch, Sophie Richardson, pada saat itu.
(Baca juga : Hakikat Mimpi Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani )
"Menurut saya adil untuk menggambarkan setiap orang yang ditahan sebagai subjek penyiksaan setidaknya secara psikologis, karena mereka benar-benar tidak tahu berapa lama mereka akan berada di sana."
Meski negara itu awalnya menyangkal keberadaan kamp-kamp tersebut, kemudian membela diri dengan menyatakannya sebagai tindakan yang diperlukan untuk melawan terorisme menyusul kekerasan separatis di wilayah Xinjiang. (Baca juga: Rusuh Maut Capitol, Media China Sebut AS Sedang Kolaps Internal )
Tetapi studi baru, yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Pengembangan Xinjiang pada hari Kamis (7/1/2021), mengklaim ekstremisme telah menghasut orang-orang untuk menolak keluarga berencana (KB) dan pemberantasannya telah memberi para wanita Uighur lebih banyak otonomi ketika memutuskan apakah akan memiliki anak.
"Untuk jangka waktu tertentu, penetrasi ekstremisme agama membuat penerapan kebijakan keluarga berencana di Xinjiang selatan, termasuk prefektur Kashgar dan Hotan, sangat sulit," tulis China Daily, sebuah publikasi yang dimiliki oleh Partai Komunis China, mengutip hasil penelitian tersebut.
(Baca juga : Harley dan Sepeda Brompton Selundupan Mantan Dirut Garuda Belum Juga Dilelang, Ada Apa? )
"Hal itu menyebabkan pertumbuhan populasi yang cepat di daerah-daerah tersebut karena beberapa ekstremis menghasut penduduk setempat untuk menolak kebijakan keluarga berencana, yang mengakibatkan prevalensi pernikahan dini dan bigami, serta seringnya kelahiran yang tidak direncanakan," lanjut laporan tersebut.
Laporan itu juga membantah bahwa perubahan populasi di Xinjiang disebabkan oleh "sterilisasi paksa". "Sebaliknya, proses pemberantasan ekstremisme telah membebaskan pikiran wanita Uighur," imbuh laporan berdasarkan hasil penelitian tersebut.
“Kesetaraan gender dan kesehatan reproduksi dipromosikan, membuat mereka tidak lagi menjadi mesin pembuat bayi,” sambung laporan itu. "Wanita sejak itu berusaha untuk menjadi sehat, percaya diri, dan mandiri."
Sebaliknya, laporan Zenz menuduh wanita Uighur dan etnis minoritas lainnya yang menolak untuk menggugurkan kehamilan yang melebihi kuota lahir diancam dengan penahanan di kamp-kamp tersebut.
"Sejak tindakan keras besar-besaran yang dimulai pada akhir 2016 mengubah Xinjiang menjadi negara polisi yang kejam, laporan saksi tentang campur tangan negara yang mengganggu ke dalam otonomi reproduksi telah tersebar di mana-mana," bunyi laporan Zenz.
"Secara keseluruhan, kemungkinan otoritas Xinjiang terlibat dalam sterilisasi massal wanita dengan tiga anak atau lebih."
Mantan tahanan di kamp Xinjiang mengatakan kepada AP bahwa mereka pernah dikenakan IUD paksa di kamp penahanan, dan apa yang tampak seperti suntikan pencegahan kehamilan, sementara yang lain dicekoki paksa pil KB atau disuntik dengan cairan, yang seringkali tanpa penjelasan.
“Tujuannya mungkin tidak untuk sepenuhnya menghilangkan populasi Uighur, tetapi itu akan sangat mengurangi vitalitas mereka,” kata ahli Uighur dari Universitas Colorado, Darren Byler, kepada AP pada saat itu.
"Ini akan membuat mereka lebih mudah untuk berasimilasi dengan populasi China arus utama."
Joanne Smith Finley, dari Universitas Newcastle Inggris, mengatakan kepada AP, bagaimanapun bahwa itu adalah "genosida".
“Ini tidak langsung, mengejutkan, pembunuhan massal di tempat, tetapi genosida yang perlahan dan menyakitkan,” katanya. “Ini adalah cara langsung untuk secara genetik mengurangi populasi Uighur."
Pemerintah China mengambil apa yang media Barat gambarkan sebagai tindakan kejam untuk memangkas angka kelahiran di antara orang-orang Uighur dan minoritas lainnya sebagai bagian dari kampanye besar-besaran tahun lalu untuk mengekang populasi Muslimnya. (Baca: China Ledek Kerusuhan Capitol AS: 'Pemandangan yang Indah' )
Laporan dari pakar China Adrian Zenz pada Juni 2020 menemukan bahwa para wanita dipaksa untuk disterilkan atau dilengkapi dengan alat kontrasepsi. Laporan dari Zenz muncul ketika sekitar satu juta orang diduga telah ditahan selama beberapa tahun terakhir dalam apa yang oleh negara China didefinisikan sebagai "kamp pendidikan ulang".
(Baca juga : Demi Bahagiakan Ibu, Ronaldo Siap Ajak Georgina Rodriguez ke Penghulu )
Instruksi yang diberikan ke kamp-kamp tersebut, yang dibocorkan ke Konsorsium Jurnalis Investigasi Internasional pada tahun 2019, menjelaskan bahwa kamp-kamp itu harus dijalankan sebagai penjara dengan keamanan tinggi dengan disiplin yang ketat, hukuman dan tidak ada pelarian.
"Ini adalah bukti yang bisa ditindaklanjuti, yang mendokumentasikan pelanggaran berat hak asasi manusia,” kata direktur China di Human Rights Watch, Sophie Richardson, pada saat itu.
(Baca juga : Hakikat Mimpi Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani )
"Menurut saya adil untuk menggambarkan setiap orang yang ditahan sebagai subjek penyiksaan setidaknya secara psikologis, karena mereka benar-benar tidak tahu berapa lama mereka akan berada di sana."
Meski negara itu awalnya menyangkal keberadaan kamp-kamp tersebut, kemudian membela diri dengan menyatakannya sebagai tindakan yang diperlukan untuk melawan terorisme menyusul kekerasan separatis di wilayah Xinjiang. (Baca juga: Rusuh Maut Capitol, Media China Sebut AS Sedang Kolaps Internal )
Tetapi studi baru, yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Pengembangan Xinjiang pada hari Kamis (7/1/2021), mengklaim ekstremisme telah menghasut orang-orang untuk menolak keluarga berencana (KB) dan pemberantasannya telah memberi para wanita Uighur lebih banyak otonomi ketika memutuskan apakah akan memiliki anak.
"Untuk jangka waktu tertentu, penetrasi ekstremisme agama membuat penerapan kebijakan keluarga berencana di Xinjiang selatan, termasuk prefektur Kashgar dan Hotan, sangat sulit," tulis China Daily, sebuah publikasi yang dimiliki oleh Partai Komunis China, mengutip hasil penelitian tersebut.
(Baca juga : Harley dan Sepeda Brompton Selundupan Mantan Dirut Garuda Belum Juga Dilelang, Ada Apa? )
"Hal itu menyebabkan pertumbuhan populasi yang cepat di daerah-daerah tersebut karena beberapa ekstremis menghasut penduduk setempat untuk menolak kebijakan keluarga berencana, yang mengakibatkan prevalensi pernikahan dini dan bigami, serta seringnya kelahiran yang tidak direncanakan," lanjut laporan tersebut.
Laporan itu juga membantah bahwa perubahan populasi di Xinjiang disebabkan oleh "sterilisasi paksa". "Sebaliknya, proses pemberantasan ekstremisme telah membebaskan pikiran wanita Uighur," imbuh laporan berdasarkan hasil penelitian tersebut.
“Kesetaraan gender dan kesehatan reproduksi dipromosikan, membuat mereka tidak lagi menjadi mesin pembuat bayi,” sambung laporan itu. "Wanita sejak itu berusaha untuk menjadi sehat, percaya diri, dan mandiri."
Sebaliknya, laporan Zenz menuduh wanita Uighur dan etnis minoritas lainnya yang menolak untuk menggugurkan kehamilan yang melebihi kuota lahir diancam dengan penahanan di kamp-kamp tersebut.
"Sejak tindakan keras besar-besaran yang dimulai pada akhir 2016 mengubah Xinjiang menjadi negara polisi yang kejam, laporan saksi tentang campur tangan negara yang mengganggu ke dalam otonomi reproduksi telah tersebar di mana-mana," bunyi laporan Zenz.
"Secara keseluruhan, kemungkinan otoritas Xinjiang terlibat dalam sterilisasi massal wanita dengan tiga anak atau lebih."
Mantan tahanan di kamp Xinjiang mengatakan kepada AP bahwa mereka pernah dikenakan IUD paksa di kamp penahanan, dan apa yang tampak seperti suntikan pencegahan kehamilan, sementara yang lain dicekoki paksa pil KB atau disuntik dengan cairan, yang seringkali tanpa penjelasan.
“Tujuannya mungkin tidak untuk sepenuhnya menghilangkan populasi Uighur, tetapi itu akan sangat mengurangi vitalitas mereka,” kata ahli Uighur dari Universitas Colorado, Darren Byler, kepada AP pada saat itu.
"Ini akan membuat mereka lebih mudah untuk berasimilasi dengan populasi China arus utama."
Joanne Smith Finley, dari Universitas Newcastle Inggris, mengatakan kepada AP, bagaimanapun bahwa itu adalah "genosida".
“Ini tidak langsung, mengejutkan, pembunuhan massal di tempat, tetapi genosida yang perlahan dan menyakitkan,” katanya. “Ini adalah cara langsung untuk secara genetik mengurangi populasi Uighur."
(min)
tulis komentar anda