Tren Tingkat Kelahiran Anak di Dunia Menurun
Selasa, 05 Januari 2021 - 06:35 WIB
Dalam pandangan Yolanda Kirkham, asisten profesor di Universitas Toronto, penundaan kehamilan karena banyak orang khawatir dengan risiko kesulitan mendapatkan akses selama pandemi. "Banyak pasien saya menunda memiliki anak karena terjadi peningkatan biaya kesehatan," ujarnya.
Selain itu, Kirkham mengungkapkan ketidakpastian tentang pekerjaan dan keuangan juga berdampak pada rencana memiliki bayi. Selama pandemi, klinik fertilitas juga tutup selama beberapa bulan. Banyak keluarga yang tidak mendapatkan akses ke dokter kandungan.
Dampak jangka panjangnya adalah populasi bumi semakin menua. Hal yang sama dialami di Eropa. Antara saat ini hingga 2030, sebagian negara ekonomi akan mengalami peningkatan usia pekerja di atas 50 tahun. Komisi Eropa memprediksi biaya perawatan kesehatan bagi manula dan pensiunan juga akan meningkat 2,3% pada 2040.
Portugal, Yunani, Italia, dan Spanyol merupakan negara-negara di Eropa yang mengalami tingkat fertifilitas yang sangat rendah. Itu disebabkan ketidakpastian mengenai pekerjaan, rendahnya gaji, dan pasar pekerjaan yang tidak fleksibel sehingga perempuan lebih memiliki anak yang sedikit. (Baca juga: 5 Fakta Parosmia, Gejala Baru Covid-19)
Di Eropa, tingkat penurunan kelahiran terjadi bukan hanya karena faktor pandemi . Sebelum pandemi, hal itu sudah terjadi. Misalnya, di Italia, penurunan tingkat kelahiran pada 2019 mencapai 435.000 atau turun 5.000 dibandingkan 2018. Padahal, tingkat kematian mencapai 647.000 orang pada 2019.
Presiden Italia Sergio Mattarella mengatakan, penurunan tingkat kelahiran berkaitan dengan eksistensi negara Italia. "Negara akan semakin lemah jika hal itu terus terjadi. Segala upaya harus dilakukan untuk menangkal fenomena tersebut," kata Mattarella dilansir Reuters. Dia mengaku sebagai orang tua, dirinya sangat khawatir dengan penurunan tingkat kelahiran.
Di Korsel, jumlah tingkat kematian dilaporkan lebih tinggi dibandingkan tingkat kelahiran pada 2020. Hal itu menjadikan Korsel sebagai negara dengan tingkat kelahiran yang rendah di dunia. Sebanyak 275.800 bayi lahir pada tahun lalu. Angka itu lebih sedikit dibandingkan jumlah warga yang meninggal, yakni sebanyak 307.764 orang. Fakta tersebut menjadikan Korsel harus melakukan perubahan kebijakan untuk meningkatkan angka kelahiran. (Baca juga: Positif Covid, Kevin Sanjaya Batal Tampil di Thailand Open)
Penyebab utama penurunan tingkat kelahiran di Korsel dikarenakan kesulitan perempuan mendapatkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan keluarga. Banyak perempuan khawatir tidak bisa mendapatkan cuti hamil dan melahirkan dari tempatnya bekerja. Mereka juga khawatir dengan masa depan mereka jika harus memiliki anak. Apalagi, untuk merawat anak diperlukan biaya yang mahal," ungkap Hyun Yu-kim, salah satu perempuan Korsel.
Insentif Jadi Solusi
Banyak negara yang menawarkan solusi untuk meningkatkan tingkat kelahiran. Memberikan insentif bagi orang tua yang memiliki anak menjadi upaya untuk meningkatkan natalitas. Jika solusi tersebut tidak dimainkan secepatnya, bahaya ledakan populasi tua bisa menjadikan ekonomi suatu negara terancam.
Selain itu, Kirkham mengungkapkan ketidakpastian tentang pekerjaan dan keuangan juga berdampak pada rencana memiliki bayi. Selama pandemi, klinik fertilitas juga tutup selama beberapa bulan. Banyak keluarga yang tidak mendapatkan akses ke dokter kandungan.
Dampak jangka panjangnya adalah populasi bumi semakin menua. Hal yang sama dialami di Eropa. Antara saat ini hingga 2030, sebagian negara ekonomi akan mengalami peningkatan usia pekerja di atas 50 tahun. Komisi Eropa memprediksi biaya perawatan kesehatan bagi manula dan pensiunan juga akan meningkat 2,3% pada 2040.
Portugal, Yunani, Italia, dan Spanyol merupakan negara-negara di Eropa yang mengalami tingkat fertifilitas yang sangat rendah. Itu disebabkan ketidakpastian mengenai pekerjaan, rendahnya gaji, dan pasar pekerjaan yang tidak fleksibel sehingga perempuan lebih memiliki anak yang sedikit. (Baca juga: 5 Fakta Parosmia, Gejala Baru Covid-19)
Di Eropa, tingkat penurunan kelahiran terjadi bukan hanya karena faktor pandemi . Sebelum pandemi, hal itu sudah terjadi. Misalnya, di Italia, penurunan tingkat kelahiran pada 2019 mencapai 435.000 atau turun 5.000 dibandingkan 2018. Padahal, tingkat kematian mencapai 647.000 orang pada 2019.
Presiden Italia Sergio Mattarella mengatakan, penurunan tingkat kelahiran berkaitan dengan eksistensi negara Italia. "Negara akan semakin lemah jika hal itu terus terjadi. Segala upaya harus dilakukan untuk menangkal fenomena tersebut," kata Mattarella dilansir Reuters. Dia mengaku sebagai orang tua, dirinya sangat khawatir dengan penurunan tingkat kelahiran.
Di Korsel, jumlah tingkat kematian dilaporkan lebih tinggi dibandingkan tingkat kelahiran pada 2020. Hal itu menjadikan Korsel sebagai negara dengan tingkat kelahiran yang rendah di dunia. Sebanyak 275.800 bayi lahir pada tahun lalu. Angka itu lebih sedikit dibandingkan jumlah warga yang meninggal, yakni sebanyak 307.764 orang. Fakta tersebut menjadikan Korsel harus melakukan perubahan kebijakan untuk meningkatkan angka kelahiran. (Baca juga: Positif Covid, Kevin Sanjaya Batal Tampil di Thailand Open)
Penyebab utama penurunan tingkat kelahiran di Korsel dikarenakan kesulitan perempuan mendapatkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan keluarga. Banyak perempuan khawatir tidak bisa mendapatkan cuti hamil dan melahirkan dari tempatnya bekerja. Mereka juga khawatir dengan masa depan mereka jika harus memiliki anak. Apalagi, untuk merawat anak diperlukan biaya yang mahal," ungkap Hyun Yu-kim, salah satu perempuan Korsel.
Insentif Jadi Solusi
Banyak negara yang menawarkan solusi untuk meningkatkan tingkat kelahiran. Memberikan insentif bagi orang tua yang memiliki anak menjadi upaya untuk meningkatkan natalitas. Jika solusi tersebut tidak dimainkan secepatnya, bahaya ledakan populasi tua bisa menjadikan ekonomi suatu negara terancam.
tulis komentar anda