Tren Tingkat Kelahiran Anak di Dunia Menurun

Selasa, 05 Januari 2021 - 06:35 WIB
Pandemi virus corona (Covid-19) juga berdampak serius dengan penurunan tingkat kelahiran di dunia. Foto/Straithtimes
NEW YORK - Pandemi virus corona (Covid-19) bukan hanya berdampak pada peningkatan jumlah kematian di seluruh dunia. Namun, itu juga berdampak serius dengan penurunan tingkat kelahiran di dunia.

Fenomena penurunan tingkat kelahiran terjadi di berbagai negara, mulai dari Amerika Serikat (AS), Italia, Inggris, hingga Korea Selatan (Korsel). Pandemi korona juga diprediksi akan mengubah ukuran populasi manusia dalam beberapa dekade mendatang. (Baca: Tingkatkan Angka Kelahiran Jadi Solusi Atasi Pandemi di Singapura)

Penurunan tingkat kelahiran dipengaruhi pandemi yang menyebabkan krisis ekonomi. Itu menyebabkan banyak orang tua berpikir berulang kali untuk memiliki anak. Di banyak negara, persepsi tentang mahalnya biaya perawatan dan pendidikan bagi anak menjadi beban bagi keluarga.



“Demografi penurunan tingkat kelahiran menunjukkan tren di mana ketika ekonomi menurun, maka tingkat kelahiran juga akan menurun,” kata ekonom Universitas South Carolina Robert Hartwig, dikutip The Post and Courier. Dia menuturkan, fenomena itu telah terjadi dalam beberapa abad lalu.

Faktanya, kata Hartwig, resesi dan pandemi memang berdampak serius terhadap penurunan tingkat kelahiran. “Yang tidak pernah terjadi sebelumnya adalah keduanya, baik resesi dan pandemi, ternyata terjadi secara simultan,” ungkapnya. Dia pun memprediksi tingkat kelahiran di AS akan menurun 300.000 hingga 500.000 pada 2021. (Baca juga: Doa untuk Pengantin Baru Beserta Maknanya)

Laporan Pew Research Center menyatakan, kesuburan juga berkaitan langsung dengan indikator ekonomi, termasuk perubahan pendapatan per kapita, harga rumah, dan usia pekerja di suatu wilayah. Mereka juga menyatakan permasalahan ekonomi akan menyebabkan penurunan tingkat kelahiran.

Sebagai solusi, negara juga harus menjaga ketahanan ekonomi untuk bisa terus meningkatkan kelahiran. Generasi muda dan usia kerja harus ikut terus bekerja dan meningkatkan pendapatan untuk terus menggerakkan roda ekonomi. Namun, mereka juga harus membayar pajak dan membiayai program keamanan sosial.

Apa yang terjadi di AS juga dialami di Kanada yang mengalami penurunan tingkat kelahiran. Nora Spinks, CEO Vanier Institute of the Family, lembaga penelitian dan pendidikan berbasis di Ottawa, mengatakan krisis kesehatan global berdampak pada orang memiliki anak. Pandemi memengaruhi orang berpikir untuk menunda memiliki anak karena dipengaruhi prediksi masa depan yang belum stabil. (Baca juga: DPR Tagih Penjelasan Pemerintah Soal Penghapusan CPNS Guru)

"Stabilitas, keamanan, dan kemampuan memprediksi memengaruhi keputusan untuk memiliki anak," kata Spinks, kepada CBC. "Baik stabilitas dalam kehidupan rumah tangga, hubungan, ekonomi, situasi pekerjaan, hingga pendapatan," ujarnya.

Dalam pandangan Yolanda Kirkham, asisten profesor di Universitas Toronto, penundaan kehamilan karena banyak orang khawatir dengan risiko kesulitan mendapatkan akses selama pandemi. "Banyak pasien saya menunda memiliki anak karena terjadi peningkatan biaya kesehatan," ujarnya.

Selain itu, Kirkham mengungkapkan ketidakpastian tentang pekerjaan dan keuangan juga berdampak pada rencana memiliki bayi. Selama pandemi, klinik fertilitas juga tutup selama beberapa bulan. Banyak keluarga yang tidak mendapatkan akses ke dokter kandungan.

Dampak jangka panjangnya adalah populasi bumi semakin menua. Hal yang sama dialami di Eropa. Antara saat ini hingga 2030, sebagian negara ekonomi akan mengalami peningkatan usia pekerja di atas 50 tahun. Komisi Eropa memprediksi biaya perawatan kesehatan bagi manula dan pensiunan juga akan meningkat 2,3% pada 2040.

Portugal, Yunani, Italia, dan Spanyol merupakan negara-negara di Eropa yang mengalami tingkat fertifilitas yang sangat rendah. Itu disebabkan ketidakpastian mengenai pekerjaan, rendahnya gaji, dan pasar pekerjaan yang tidak fleksibel sehingga perempuan lebih memiliki anak yang sedikit. (Baca juga: 5 Fakta Parosmia, Gejala Baru Covid-19)

Di Eropa, tingkat penurunan kelahiran terjadi bukan hanya karena faktor pandemi . Sebelum pandemi, hal itu sudah terjadi. Misalnya, di Italia, penurunan tingkat kelahiran pada 2019 mencapai 435.000 atau turun 5.000 dibandingkan 2018. Padahal, tingkat kematian mencapai 647.000 orang pada 2019.

Presiden Italia Sergio Mattarella mengatakan, penurunan tingkat kelahiran berkaitan dengan eksistensi negara Italia. "Negara akan semakin lemah jika hal itu terus terjadi. Segala upaya harus dilakukan untuk menangkal fenomena tersebut," kata Mattarella dilansir Reuters. Dia mengaku sebagai orang tua, dirinya sangat khawatir dengan penurunan tingkat kelahiran.

Di Korsel, jumlah tingkat kematian dilaporkan lebih tinggi dibandingkan tingkat kelahiran pada 2020. Hal itu menjadikan Korsel sebagai negara dengan tingkat kelahiran yang rendah di dunia. Sebanyak 275.800 bayi lahir pada tahun lalu. Angka itu lebih sedikit dibandingkan jumlah warga yang meninggal, yakni sebanyak 307.764 orang. Fakta tersebut menjadikan Korsel harus melakukan perubahan kebijakan untuk meningkatkan angka kelahiran. (Baca juga: Positif Covid, Kevin Sanjaya Batal Tampil di Thailand Open)

Penyebab utama penurunan tingkat kelahiran di Korsel dikarenakan kesulitan perempuan mendapatkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan keluarga. Banyak perempuan khawatir tidak bisa mendapatkan cuti hamil dan melahirkan dari tempatnya bekerja. Mereka juga khawatir dengan masa depan mereka jika harus memiliki anak. Apalagi, untuk merawat anak diperlukan biaya yang mahal," ungkap Hyun Yu-kim, salah satu perempuan Korsel.

Insentif Jadi Solusi

Banyak negara yang menawarkan solusi untuk meningkatkan tingkat kelahiran. Memberikan insentif bagi orang tua yang memiliki anak menjadi upaya untuk meningkatkan natalitas. Jika solusi tersebut tidak dimainkan secepatnya, bahaya ledakan populasi tua bisa menjadikan ekonomi suatu negara terancam.

Presiden Korsel Moon Jae-in sudah meluncurkan beberapa kebijakan untuk meningkatkan tingkat kelahiran. Kebijakan paling utama adalah memberikan insentif bagi keluarga. Pada 2022, setiap anak yang lahir akan mendapatkan bonus 2 juta won atau USD1.850 (sekitar Rp30 juta) untuk membantu biaya melahirkan. Kemudian, bayi akan mendapatkan bantuan 300.000 won hingga usia satu tahun. (Lihat videonya: Bangkai Pesawat Diduga Air Asia Ditemukan di Kalteng)

Pemerintah Singapura juga membagikan insentif SGD10.000 (Rp108 juta) kepada orang tua yang melahirkan bayi baru untuk mendorong peningkatan angka kelahiran. Pemerintah Singapura berharap program ini akan memotivasi warga lokal untuk tetap memiliki bayi selama pandemi. Pasalnya, warga Singapura banyak yang khawatir dan memutuskan untuk menunda kehamilan akibat prospek kerja dan kondisi keuangan yang buruk.

Kemudian, Finlandia memang memiliki banyak program tunjangan keluarga yang kuat, antara lain, 'paket kado untuk bayi baru lahir' bagi keluarga yang sedang menunggu kelahiran anak. Salah satu tunjangannya adalah untuk anak sekitar 100 euro atau sekitar Rp1 juta per anak per bulan serta cuti bersama orang tua yang berlangsung hingga sembilan bulan dengan 70% gaji dibayarkan.

Meski menghabiskan lebih banyak uang publik untuk tunjangan keluarga daripada rata-rata Uni Eropa, Ritva Nätkin, seorang dosen ilmu sosial di Universitas Tampere, percaya bahwa kebijakan keluarga di Finlandia tertinggal dari negara-negara Nordik lainnya seperti Swedia dengan cuti orang tua yang lebih lama. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More