China Ancam Australia dengan 'Hukuman Abadi', Seteru Kian Memanas
Kamis, 03 Desember 2020 - 07:11 WIB
SYDNEY - China mengancam Australia dengan apa yang mereka sebut sebagai "hukuman abadi". Ancaman ini menandai perseteruan kedua negara yang semakin memanas setelah muncul seruan di Canberra untuk memboikot produk-produk Beijing.
Perseteruan terbaru ini dimulai ketika diplomat senior China mengunggah foto rekayasa di Twitter yang menggambarkan tentara Australia memegang pisau di tenggorokan anak Afghanistan. (Baca: China Posting Foto Tentara Australia Pegang Pisau di Leher Anak Afghanistan )
Perdana Menteri Scott Morrison mendesak Beijing meminta maaf, namun China menolaknya. Pemimpin partai sayap kanan Australia One Nation, Pauline Hanson, lantas menyerukan publik agar memboikot produk-produk buatan China.
Hanson mengatakan larangan impor barang-barang yang diproduksi di negara Tirai Bambu itu harus diterapkan.
Ancaman "hukuman abadi" oleh China disuarakan media pemerintah; The Global Times. Dalam editorialnya, media itu menyatakan Senator Hanson harus diberi tahu bahwa dia dapat mengeluarkan semua ancaman perdagangan yang dia suka tetapi dia mungkin tidak dapat menangani "hukuman abadi".
Pernyataan pedas terbaru muncul setelah raksasa media sosial WeChat menyensor posting-an Perdana Menteri Scott Morrison, yang merupakan daya tarik langsung bagi jutaan pengguna China di aplikasi tersebut.
Kantor Morrison mengonfirmasi bahwa materi yang dipublikasikan di akun resmi PM Australia dihapus dalam semalam. (Baca: Australia Tuntut China Minta Maaf soal Foto Tentara di Afghanistan )
"Konten tersebut melibatkan penggunaan untuk menghasut, menyesatkan, atau bertentangan dengan fakta objektif, teks, gambar, video, dan lain-lain. Mengarang hotspot sosial, mendistorsi peristiwa bersejarah, dan membingungkan publik," bunyi pernyataan WeChat.
Sementara itu, Twitter telah menolak permintaan Australia untuk menghapus foto rekayasa yang diunggah diplomat senior China. Menurut pihak Twitter, foto itu adalah sebuah "seni" buatan yang menggambarkan seorang tentara Australia yang menyeringai berjongkok di atas bendera Afghanistan dan bendera Australia, memegang pisau di leher seorang anak. (Baca juga: China Tolak Minta Maaf soal Foto Tentara Australia Pegang Pisau di Leher Anak Afghanistan )
Dalam posting-an WeChat yang sekarang disensor, PM Morrison bersikeras pada hari Selasa bahwa foto rekayasa itu tidak akan mengurangi rasa hormat Australia terhadap komunitas China di dalam atau di luar negeri.
"Posting-an gambar palsu tentara Australia tidak mengurangi rasa hormat dan apresiasi kami terhadap komunitas China (di) Australia atau bahkan persahabatan kami dengan orang-orang China," tulis dia.
Tencent, perusahaan induk yang memiliki WeChat, adalah subjek dari perintah eksekutif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump baru-baru ini, yang menuntut perusahaan AS berhenti berbisnis dengannya.
Media yang dikontrol negara China minggu ini mendesak Perdana Menteri Scott Morrison untuk "berlutut di tanah dan menampar wajahnya" atas dugaan kejahatan perang di Afghanistan.
Dalam editorial barunya di The Global Times, China memperingatkan Australia akan dihukum atas seruan Senator Hanson untuk memboikot produk yang dibuat di negara tersebut.
“Pauline Hanson, pemimpin partai sayap kanan Australia One Nation, pada hari Senin menyerukan warga Australia untuk memboikot produk China pada Natal ini. Dia dan sejenisnya tidak berperilaku seperti harimau kertas, tapi kucing kertas histeris," bunyi editorial tersebut.
“Kami ingin memberi tahu politisi Australia seperti Hanson bahwa mereka telah memperkirakan kepentingan Australia terhadap China secara berlebihan, dan telah keliru dengan fakta bahwa Australia lebih mengandalkan China dalam kerja sama 'win-win' mereka. Kami tidak ingin menghina Australia dan rakyatnya, tetapi kami benar-benar meremehkan politisi ekstrem seperti Hanson."
“Tidak ada alasan bagi China untuk melanjutkan peredaan terhadap Australia. Masyarakat China sangat menganjurkan hukuman yang tegas dan abadi terhadap Australia dan untuk membiarkan dunia melihat dengan jelas—seseorang pada akhirnya akan membayar harga untuk memihak AS dan membalas kebaikan dengan tidak berterima kasih kepada China," lanjut editorial media pemerintah Beijing tersebut, seperti dikutip news.com.au, Kamis (3/12/2020).
Perseteruan terbaru ini dimulai ketika diplomat senior China mengunggah foto rekayasa di Twitter yang menggambarkan tentara Australia memegang pisau di tenggorokan anak Afghanistan. (Baca: China Posting Foto Tentara Australia Pegang Pisau di Leher Anak Afghanistan )
Perdana Menteri Scott Morrison mendesak Beijing meminta maaf, namun China menolaknya. Pemimpin partai sayap kanan Australia One Nation, Pauline Hanson, lantas menyerukan publik agar memboikot produk-produk buatan China.
Hanson mengatakan larangan impor barang-barang yang diproduksi di negara Tirai Bambu itu harus diterapkan.
Ancaman "hukuman abadi" oleh China disuarakan media pemerintah; The Global Times. Dalam editorialnya, media itu menyatakan Senator Hanson harus diberi tahu bahwa dia dapat mengeluarkan semua ancaman perdagangan yang dia suka tetapi dia mungkin tidak dapat menangani "hukuman abadi".
Pernyataan pedas terbaru muncul setelah raksasa media sosial WeChat menyensor posting-an Perdana Menteri Scott Morrison, yang merupakan daya tarik langsung bagi jutaan pengguna China di aplikasi tersebut.
Kantor Morrison mengonfirmasi bahwa materi yang dipublikasikan di akun resmi PM Australia dihapus dalam semalam. (Baca: Australia Tuntut China Minta Maaf soal Foto Tentara di Afghanistan )
"Konten tersebut melibatkan penggunaan untuk menghasut, menyesatkan, atau bertentangan dengan fakta objektif, teks, gambar, video, dan lain-lain. Mengarang hotspot sosial, mendistorsi peristiwa bersejarah, dan membingungkan publik," bunyi pernyataan WeChat.
Sementara itu, Twitter telah menolak permintaan Australia untuk menghapus foto rekayasa yang diunggah diplomat senior China. Menurut pihak Twitter, foto itu adalah sebuah "seni" buatan yang menggambarkan seorang tentara Australia yang menyeringai berjongkok di atas bendera Afghanistan dan bendera Australia, memegang pisau di leher seorang anak. (Baca juga: China Tolak Minta Maaf soal Foto Tentara Australia Pegang Pisau di Leher Anak Afghanistan )
Dalam posting-an WeChat yang sekarang disensor, PM Morrison bersikeras pada hari Selasa bahwa foto rekayasa itu tidak akan mengurangi rasa hormat Australia terhadap komunitas China di dalam atau di luar negeri.
"Posting-an gambar palsu tentara Australia tidak mengurangi rasa hormat dan apresiasi kami terhadap komunitas China (di) Australia atau bahkan persahabatan kami dengan orang-orang China," tulis dia.
Tencent, perusahaan induk yang memiliki WeChat, adalah subjek dari perintah eksekutif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump baru-baru ini, yang menuntut perusahaan AS berhenti berbisnis dengannya.
Media yang dikontrol negara China minggu ini mendesak Perdana Menteri Scott Morrison untuk "berlutut di tanah dan menampar wajahnya" atas dugaan kejahatan perang di Afghanistan.
Dalam editorial barunya di The Global Times, China memperingatkan Australia akan dihukum atas seruan Senator Hanson untuk memboikot produk yang dibuat di negara tersebut.
“Pauline Hanson, pemimpin partai sayap kanan Australia One Nation, pada hari Senin menyerukan warga Australia untuk memboikot produk China pada Natal ini. Dia dan sejenisnya tidak berperilaku seperti harimau kertas, tapi kucing kertas histeris," bunyi editorial tersebut.
“Kami ingin memberi tahu politisi Australia seperti Hanson bahwa mereka telah memperkirakan kepentingan Australia terhadap China secara berlebihan, dan telah keliru dengan fakta bahwa Australia lebih mengandalkan China dalam kerja sama 'win-win' mereka. Kami tidak ingin menghina Australia dan rakyatnya, tetapi kami benar-benar meremehkan politisi ekstrem seperti Hanson."
“Tidak ada alasan bagi China untuk melanjutkan peredaan terhadap Australia. Masyarakat China sangat menganjurkan hukuman yang tegas dan abadi terhadap Australia dan untuk membiarkan dunia melihat dengan jelas—seseorang pada akhirnya akan membayar harga untuk memihak AS dan membalas kebaikan dengan tidak berterima kasih kepada China," lanjut editorial media pemerintah Beijing tersebut, seperti dikutip news.com.au, Kamis (3/12/2020).
(min)
Lihat Juga :
tulis komentar anda