Trumpisme Tetap Menjadi Ideologi dan Memiliki Pengikut yang Berkembang

Minggu, 08 November 2020 - 07:17 WIB
Presiden Donald Trump. Foto/The National
WASHINGTON - Salah satu identitas yang dibangun Presiden Donald Trump akan membalikkan semua apa yang dikatakan oleh para pakar. Itu terbukti ketika dia menjadi presiden pada pemilu 2016. Keyakinan itu tetap dipertahankan Trump pada pemilu 2020.

Selama empat tahun berkuasa, Trump tidak mempedulikan berbagai pendapat pakar dari isu perubahan iklim, kebijakan luar negeri hingga penanganan pandemi virus corona. Trump juga tidak pernah mendengarkan pakar jajak pendapat, politikus dari partainya sendiri Republik atau pun tokoh senior.

Trump menerapkan strategi berbasis pendukungnya untuk melawan kelompok yang disebut dengan liberal. Dia memiliki pakar kesehatan publik sendiri dan membangun legitimasi sendiri. Dia pun memiliki basis pendukung yang kuat dan mau hadir berkampanye dan memilihnya.



“Gelombang merah (Partai Republik) yang besar akan datang,” kata Trump saat berkampanye pada 31 Oktober lalu di Pennsylvania. Itu sebagai prediksinya yang melawan analisis para para pakar yang menyatakan “gelombang biru” atau gelombang Demokrat akan menyapu pemilu 2020.

Faktanya Trump kalah seperti proyeksi mayoritas media di Amerika Serikat (AS) pada Sabtu pagi waktu setempat. Joe Biden dari Partai Demokrat dinyatakan unggul dalam perolehan suara elektoral. (Baca juga: Gugat Hasil Pilpres, Partai Republik Cari Dana Rp852 Miliar )

Meskipun Trump sendiri kalah, prediksinya tentang gelombang merah itu memiliki dampak sangat nyata yakni para pendukungnya yang besar dan loyal. Trump berhasil menambah 7,3 juta suara lebih besar dibandingkan apa yang didapatkannya pada 2016. Dia mampu menolong banyak kemenangan anggota Senat sehingga bisa mempertahankan kekuatannya di parlemen. Partai Republik juga mendapatkan lima kursi tambahan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dikontrol Demokrat.

Legasi Trump untuk memperkuat Partai Republik di parlemen menjadi harapan yang sirna bagi Demokrat yang ingin mengikis habis Trumpisme. Jika Biden dinyatakan resmi dilantik sebagai presiden AS, Republik tetap menguasai Senat, maka presiden baru harus berjuang keras mengajukan legislasi dan memenangkan dukungan dari hakim di Mahkamah Agung yang dikuasai kubu konservatif. Brand politik populisme yang melekat pada Trump pun akan terus berlanjut dan berkembang.

“Pesan Trump tentang kebebasan ekonomi selama pandemi mendapatkan dukungan dari para pemilih,” kata Joe Gruters, Ketua Partai Republik Florida, dilansir Reuters. “Pemilih memilih presiden AS karena pesan positifnya untuk masa depan dan upaya mengutamakan kepentingan rakyat AS lebih dahulu,” paparnya.

Gruters mengungkapkan, sebagian rakyat AS tidak ingin pajak yang tinggi dan tidak ingin diisolasi. “Mereka menginginkan kebebasan. Mereka tidak ingin melihat komunitas mereka dihancurkan,” katanya mengacu pada kerusuhan sebagai dampak demonstrasi anti-rasisme.

Stu Rothenberg, para politik non-partisan AS, pertarungan pemilu presiden AS menegaskan ketahanan Trump yang didukung legium dari warga kulit putih, pemilih kelas pekerja dan pemilih Hispanik. “Pemilu kali merupakan perjuangan sangat sulit bagi Demokrat dan kelompok anti-Trump di Republik,” kata Rothenberg. Kegagalan Trump, menurut dia, hanya karena penanganan virus corona dan ekonomi.

Dengan perjuangan Trump yang sangat solid dengan dukungan yang besar, menurut Karen Finney, pakar strategi politik Demokrat, mengatakan Trumpisme belum mati. “Trump masih bersama kita,” kata mantan juru bicara tim kampanye Hillary Clinton pada 2016. Menurut Finney, kesuksesan Trump karena dia menggunakan politik “dog whistle” yakni strategi retorika untuk mengumbar ketegangan rasisme dan budaya. “Melihat lebih dekat pada pemilu kali ini, kita masih menjadi negara yang terpecah,” katanya.(Baca juga: Serukan Perang Total karena Panik Hasil Pilpres AS, Trump Jr Dinilai Sembrono )

Exit polls yang dilaksanakan Edison Research menunjukkan dukungan bagi Trump masih solid dari kalangan warga kulit putih mencapai 55%. Warga yang tidak berpendidikan tinggi juga menjadi jantung basis pendukung Trump.

“Trumpisme masih menjadi jantung Partai Republik,” kata Mike Madrid, pendiri Lincoln Project, kelompok politikus yang berkampanye mengalahkan Trump dan memilih Biden. “Trumpisme, nasionalisme populer, dan politik identitas kulit putih akan terus berlanjut,” sambungnya. Dia mengatakan, mayoritas politikus Republik di Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak akan bisa mengalahkan Trumpisme.

Meskipun dikenal memiliki kebijakan keras terhadap imigran, Trump masih memiliki pendukung di kalangan warga keturunan Amerika Latin atau Hispanik dan masyarakat kulit hitam. Dukungan Trump juga naik empat persen di kalangan warga kulit hitam dibandingkan empat tahun lalu. 39% pemilih Hispanik juga mendukung Trump dan naik 14% dibandingkan pemilu 2016.

Kenapa hal itu bisa terjadi? Itu dikarenakan kampanye Biden yang cenderung low-profile dan menghindari kampanye besar-besaran seperti Trump sehingga membuat banyak warga kulit Hispanik dan kulit hitam merasa ragu. “Orang Hispanik yang cenderung tak berpendidikan membutuhkan pendepatan politik tingkat tinggi,” kata Victoria De Francesco Soto, peneliti dari Lyndon B. Johnson School of Public Affairs di Universitas Texas di Austin
(ber)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More