Lawan Sistem Monarki, Milenial Thailand Menuntut Perubahan
Senin, 21 September 2020 - 12:15 WIB
Aksi itu merupakan kelanjutan dari aksi yang dilaksanakan pada Sabtu (19/9) lalu. “Meskipun monarki tetap diatur konstitusi, kita tidak akan pernah mencapai demokrasi sebenarnya,” kata pemimpin demonstran dan aktivis hak asasi manusia (HAM) Arnon Nampa. Dia meminta pemerintah memotong anggaran untuk kerajaan dan mengubah konstitusi untuk menghapus peran raja. Demonstrasi pada Sabtu lalu dihadiri 30.000 orang, tapi panitia demonstrasi mengungkapkan jumlah pengunjuk rasa mencapai 50.000 orang. (Baca juga: Penting Buat Orangtua, Kenali Gejala Kanker pada Anak)
Raja Thailand sendiri tidak berada di Thailand. Dia justru lebih sering menghabiskan waktunya di Eropa sejak berkuasa setelah ayahnya meninggal pada 2016. Ketidakhadiran Raja Thailand di depan publik memicu kritikan tajam dari para demonstran.
“Rakyat adalah manusia, bukan debu di bawah kaki kerajaanmu,” ujar pemimpin mahasiswa Panusaya Sithijirawattanakul. “Rakyat ingin raja yang melindungi demokrasi, bukan orang yang merusak demokrasi rakyat,” ujarnya.
Seruan untuk reformasi kerajaan sesungguhnya sangat sensitif di Thailand, kritik terhadap monarki Thailand bisa dihukum dengan hukuman penjara yang lama. BBC melaporkan, serangkaian skandal politik dan dampak pandemi virus corona telah menyebabkan meningkatnya ketidakpuasan di negara itu.
Thailand memiliki sejarah panjang kerusuhan politik dan protes, tetapi gelombang baru dimulai pada Februari setelah pengadilan memerintahkan partai oposisi prodemokrasi yang masih muda untuk dibubarkan. Partai Maju Masa Depan (FFP) telah terbukti sangat populer di kalangan muda, pemilih pemula, dan memperoleh bagian kursi parlemen terbesar ketiga dalam pemilihan Maret 2019. Sedangkan kepemimpinan militer yang sedang menjabat menjadi pemenangnya. (Lihat videonya: Bom Pesawat Sukhoi TNI AU Jatuh ke Permukiman Warga di Takalar)
Protes dihidupkan kembali pada Juni lalu ketika aktivis prodemokrasi terkemuka Wanchalearm Satsaksit hilang di Kamboja, tempat dia berada di pengasingan sejak kudeta militer 2014. Keberadaannya tetap tidak diketahui dan pengunjuk rasa menuduh negara bagian Thailand mengatur penculikannya, tuduhan ini telah dibantah oleh polisi dan pemerintah.
Tuntutan para pengunjuk rasa mengalami perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya, ketika demonstrasi pada bulan lalu menyerukan 10 poin reformasi monarki. Mahasiswi usia 21 tahun yang membacakan manifesto, Panusaya Sithijirawattanakul, mengatakan niat mereka “bukan untuk menghancurkan monarki, tetapi untuk memodernisasi, menyesuaikannya dengan masyarakat kita”. (Andika H Mustaqim)
Raja Thailand sendiri tidak berada di Thailand. Dia justru lebih sering menghabiskan waktunya di Eropa sejak berkuasa setelah ayahnya meninggal pada 2016. Ketidakhadiran Raja Thailand di depan publik memicu kritikan tajam dari para demonstran.
“Rakyat adalah manusia, bukan debu di bawah kaki kerajaanmu,” ujar pemimpin mahasiswa Panusaya Sithijirawattanakul. “Rakyat ingin raja yang melindungi demokrasi, bukan orang yang merusak demokrasi rakyat,” ujarnya.
Seruan untuk reformasi kerajaan sesungguhnya sangat sensitif di Thailand, kritik terhadap monarki Thailand bisa dihukum dengan hukuman penjara yang lama. BBC melaporkan, serangkaian skandal politik dan dampak pandemi virus corona telah menyebabkan meningkatnya ketidakpuasan di negara itu.
Thailand memiliki sejarah panjang kerusuhan politik dan protes, tetapi gelombang baru dimulai pada Februari setelah pengadilan memerintahkan partai oposisi prodemokrasi yang masih muda untuk dibubarkan. Partai Maju Masa Depan (FFP) telah terbukti sangat populer di kalangan muda, pemilih pemula, dan memperoleh bagian kursi parlemen terbesar ketiga dalam pemilihan Maret 2019. Sedangkan kepemimpinan militer yang sedang menjabat menjadi pemenangnya. (Lihat videonya: Bom Pesawat Sukhoi TNI AU Jatuh ke Permukiman Warga di Takalar)
Protes dihidupkan kembali pada Juni lalu ketika aktivis prodemokrasi terkemuka Wanchalearm Satsaksit hilang di Kamboja, tempat dia berada di pengasingan sejak kudeta militer 2014. Keberadaannya tetap tidak diketahui dan pengunjuk rasa menuduh negara bagian Thailand mengatur penculikannya, tuduhan ini telah dibantah oleh polisi dan pemerintah.
Tuntutan para pengunjuk rasa mengalami perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya, ketika demonstrasi pada bulan lalu menyerukan 10 poin reformasi monarki. Mahasiswi usia 21 tahun yang membacakan manifesto, Panusaya Sithijirawattanakul, mengatakan niat mereka “bukan untuk menghancurkan monarki, tetapi untuk memodernisasi, menyesuaikannya dengan masyarakat kita”. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
Lihat Juga :
tulis komentar anda