Debat di Radio, Indonesia Usir Kapal Coast Guard China dari Perairan Natuna

Selasa, 15 September 2020 - 15:56 WIB
"Perkembangan terakhir ini hanya menyoroti masalah terus-menerus yang dihadapi Indonesia dengan China yang menolak untuk mengalah pada klaim irredentist di Laut China Selatan berdasarkan nine-dash line, yang telah dibatalkan dalam 2016 award,” kata Koh, mengacu pada putusan pengadilan internasional di Den Haag yang menolak klaim teritorial China.

“Daripada melihat China sebagai lebih agresif, mungkin lebih akurat untuk menggambarkan China sebagai 'masih agresif' meskipun pertikaian terakhir (di dekat Natuna)," imbuh Koh, seperti dikutip South China Morning Post, Selasa (15/9/2020).

Pada bulan Januari, Indonesia mengerahkan jet tempur dan kapal perang untuk berpatroli di dekat Kepulauan Natuna setelah kapal penjaga pantai dan kapal penangkap ikan China memasuki perairan terdekat kepulauan tersebut.

Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia, berusaha menghentikan kapal asing yang menangkap ikan di perairannya, dengan alasan kerugian ekonomi miliaran dolar setiap tahun.

Bakamla mengerahkan kapal patroli dalam "Operasi Pencegahan dan Pengusiran" di zona maritim barat pada 4 September untuk mengamankan perairan Indonesia. Operasi itu akan berakhir November mendatang.

Insiden terbaru terjadi hanya beberapa hari setelah Menteri Pertahanan China Wei Fenghe melakukan kunjungan kehormatan untuk Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto di Jakarta. Indonesia telah menggunakan pertemuan tersebut untuk menegaskan kembali bahwa mereka berkomitmen untuk dialog dan resolusi damai soal Laut China Selatan . (Baca juga: Konflik Laut China Selatan, China Utus Menhan Wei Temui Prabowo )

Ian Storey mengatakan bahwa dalam mengusir kapal China tersebut, Indonesia telah menunjukkan sikap “pengerasan” terhadap klaim China di Laut China Selatan. Sebelumnya, kata dia, pihak Jakarta hanya memantau kapal penjaga pantai China yang memasuki ZEE-nya.

"Penggugat Asia Tenggara lainnya sebaiknya mengikuti petunjuk Indonesia untuk menunjukkan kepada Beijing bahwa mereka sepenuhnya menolak apa yang disebut 'hak bersejarah' dalam nine-dash line. Sebagaimana putusan pengadilan arbitrase 2016, 'hak bersejarah' itu tidak sejalan dengan hukum internasional," kata Storey.

Namun, Koh mempertanyakan apakah tindakan Indonesia “cukup” untuk menghalangi Beijing di masa depan. Dia mengatakan Indonesia membutuhkan "strategi yang lebih kuat" yang akan mengumpulkan negara-negara ASEAN yang berpikiran sama dan kubu-kubu ekstra-regional untuk bersama-sama mengutuk tindakan koersif tersebut, meskipun dia mengingatkan bahwa ini akan membebani secara politik jika disalahartikan sebagai "pengekangan China".

Pilihan lain, ujar Koh, adalah mengangkat masalah dalam aturan internasional, seperti di forum PBB, meskipun pendekatan "nama dan rasa malu" ini akan memiliki potensi kerugian juga.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More