Polarisasi Politik AS Semakin Kentara
Kamis, 03 September 2020 - 11:12 WIB
WASHINGTON - Polarisasi perpolitikan Amerika Serikat (AS) semakin kentara dan jelas. Itu juga sudah melanda kehidupan rakyat karena diperparah pemerintahan Presiden Donald Trump.
Tren polarisasi memang sudah diucapkan dengan kata-kata sejak awal 2000 saat pemilu presiden. Maklum, sembilan dari 10 pendukung Demokrat ataupun Republik tetap konsisten mendukung calon presiden mereka. Warga kulit putih mendukung Partai Republik. Minoritas mendukung Demokrat. Lelaki cenderung Republik, perempuan suka memilih Demokrat. Para pemilik senjata pasti mendukung Republik, sedangkan mereka yang tak suka senjata mendukung Demokrat. Pola tersebut selalu berulang dari satu pemilu ke pemilu lain. (Baca: Kepemipinan KAMI Sudah Final Struktur Anggota Segera Diumumkan)
Bukan suatu hal misteri lagi kalau polarisasi partisan memang menjadi karakteristik opini publik AS. Polarisasi telah dibesar-besarkan oleh Trump. Realitas itu juga tampak dengan identifikasi sebagai Republican atau Demokrat dalam tataran kehidupan sehari-hari.
Para pakar strategi partai juga memainkan peranan penting dalam mewujudkan polarisasi. Kampanye masing-masing kubu selalu memobilisasi pendukungnya dan mengadu domba oposisi. Demokrat sukses melakukannya pada 2012, Republik juga pada 2016. Kini pun terulang lagi pada 2020.
Survei terbaru pada 8–30 Juni lalu yang dilaksanakan Gallup, popularitas Trump di kalangan anggota Partai Republik masih tinggi pada kisaran 85-91%. Sementara popularitas Trump di antara kelompok independen mencapai 39%. Adapun di kalangan pendukung Demokrat, Trump hanya mendapatkan dukungan 2–5%.
Gallup mencatat, peningkatan polarisasi perpolitikan AS memang sangat terlihat sejak Trump berkuasa. Saat Barack Obama, tingkat partisan hanya 86% pada 2012. Saat George W Bush, sebanyak 82% poin kesenjangan popularitas partisipan. Saat ini tingkat popularitas antara Republik dan Demokrat mencapai 89 poin.
Memang sejak keinginan Trump berkuasa kembali dan memenangkan kembali pemilu presiden 2020, Trump menerapkan strategi yang sangat nyata. Dia memobilisasi basis Partai Demokrat. Mantan Menteri Pertahanan AS Jenderal James Mattis pernah menyatakan, Donald Trump merupakan presiden pertama dalam kehidupannya yang tidak ingin mempersatukan rakyat AS. (Baca juga: Pesta Gay di Kuningan Jakarta Digerebek, Puluhan Pria Diamankan Polisi)
Sejak pembunuhan George Floyd oleh petugas keamanan, polarisasi kembali memanas. Kekerasan terhadap para demonstran semakin meluas. Trump pun berulang kali mengungkapkan satu frasa yang diutarakan kepala polisi Miami yang rasis pada 1967: “When the looting starts, the shooting starts.”
Padahal, pemimpin sebelumnya berusaha menghindari perpecahan. George W Bush berjanji menjadi “a uniter, not a divider.” Kemudian, Barack Obama menggambarkan negara di mana memiliki negara bagian Merah dan Biru akan menyatu menjadi satu AS. “Kedua gagal mencairkan polarisasi. Dan justru Trump memperparah popularisasi,” kata John Kenneth White, pakar politik The Catholic University of America dan penulis “What Happened to the Republican Party?”, dilansir The Hill.
Tren polarisasi memang sudah diucapkan dengan kata-kata sejak awal 2000 saat pemilu presiden. Maklum, sembilan dari 10 pendukung Demokrat ataupun Republik tetap konsisten mendukung calon presiden mereka. Warga kulit putih mendukung Partai Republik. Minoritas mendukung Demokrat. Lelaki cenderung Republik, perempuan suka memilih Demokrat. Para pemilik senjata pasti mendukung Republik, sedangkan mereka yang tak suka senjata mendukung Demokrat. Pola tersebut selalu berulang dari satu pemilu ke pemilu lain. (Baca: Kepemipinan KAMI Sudah Final Struktur Anggota Segera Diumumkan)
Bukan suatu hal misteri lagi kalau polarisasi partisan memang menjadi karakteristik opini publik AS. Polarisasi telah dibesar-besarkan oleh Trump. Realitas itu juga tampak dengan identifikasi sebagai Republican atau Demokrat dalam tataran kehidupan sehari-hari.
Para pakar strategi partai juga memainkan peranan penting dalam mewujudkan polarisasi. Kampanye masing-masing kubu selalu memobilisasi pendukungnya dan mengadu domba oposisi. Demokrat sukses melakukannya pada 2012, Republik juga pada 2016. Kini pun terulang lagi pada 2020.
Survei terbaru pada 8–30 Juni lalu yang dilaksanakan Gallup, popularitas Trump di kalangan anggota Partai Republik masih tinggi pada kisaran 85-91%. Sementara popularitas Trump di antara kelompok independen mencapai 39%. Adapun di kalangan pendukung Demokrat, Trump hanya mendapatkan dukungan 2–5%.
Gallup mencatat, peningkatan polarisasi perpolitikan AS memang sangat terlihat sejak Trump berkuasa. Saat Barack Obama, tingkat partisan hanya 86% pada 2012. Saat George W Bush, sebanyak 82% poin kesenjangan popularitas partisipan. Saat ini tingkat popularitas antara Republik dan Demokrat mencapai 89 poin.
Memang sejak keinginan Trump berkuasa kembali dan memenangkan kembali pemilu presiden 2020, Trump menerapkan strategi yang sangat nyata. Dia memobilisasi basis Partai Demokrat. Mantan Menteri Pertahanan AS Jenderal James Mattis pernah menyatakan, Donald Trump merupakan presiden pertama dalam kehidupannya yang tidak ingin mempersatukan rakyat AS. (Baca juga: Pesta Gay di Kuningan Jakarta Digerebek, Puluhan Pria Diamankan Polisi)
Sejak pembunuhan George Floyd oleh petugas keamanan, polarisasi kembali memanas. Kekerasan terhadap para demonstran semakin meluas. Trump pun berulang kali mengungkapkan satu frasa yang diutarakan kepala polisi Miami yang rasis pada 1967: “When the looting starts, the shooting starts.”
Padahal, pemimpin sebelumnya berusaha menghindari perpecahan. George W Bush berjanji menjadi “a uniter, not a divider.” Kemudian, Barack Obama menggambarkan negara di mana memiliki negara bagian Merah dan Biru akan menyatu menjadi satu AS. “Kedua gagal mencairkan polarisasi. Dan justru Trump memperparah popularisasi,” kata John Kenneth White, pakar politik The Catholic University of America dan penulis “What Happened to the Republican Party?”, dilansir The Hill.
tulis komentar anda