Perang Saudara Suriah: Kubu yang Bertempur dan 4 Negara Kuat sebagai Beking

Selasa, 03 Desember 2024 - 12:47 WIB
Pasukan pemberontak Suriah yang berperang di Aleppo melawan pasukan rezim Presiden Bashar al-Assad. Foto/Mohamed Aldaher/MEE
DAMASKUS - Pertempuran di Suriah kembali terjadi setelah empat tahun jeda dalam perang saudara yang pertama kali pecah pada tahun 2011.

Kebuntuan yang tidak nyaman di antara berbagai faksi yang bermusuhan di negara itu pecah ketika pasukan pemberontak merebut kota Aleppo dari pasukan rezim Presiden Bashar al-Assad dan kelompok pemberontak lainnya merebut kota yang lebih kecil di sebelah utara dari pasukan Kurdi Suriah.

Berikut panduan tentang asal-usul perang saudara Suriah, kubu domestik yang bertempur, dan negara-negara beking yang memiliki agenda tersendiri dalam konflik tersebut.

Asal Mula Perang Saudara Suriah





Suriah yang dulunya merupakan wilayah mandat Prancis, menjadi negara merdeka setelah Perang Dunia II. Pada tahun 1966, perwira militer yang termasuk minoritas Alawite mengambil alih kekuasaan.



Hal itu memastikan dominasi kelompok tersebut, yang keyakinannya merupakan cabang dari Islam Syiah, di negara yang sekitar 74 persen penduduknya adalah Muslim Sunni. Populasi Suriah juga mencakup komunitas Kristen, Druze, dan Kurdi yang cukup besar.

Presiden lama Hafez al-Assad dituduh secara brutal menekan perbedaan pendapat dan digantikan oleh putranya; Bashar al-Assad pada tahun 2000 dan berkuasa hingga sekarang.

Sebagai bagian dari gelombang kerusuhan pro-demokrasi yang dikenal sebagai gerakan Arab Spring, protes pecah di Suriah pada Maret 2011.

Dengan menggunakan panduan pedoman ayahnya, Bashar al-Assad menghancurkan protes yang berubah jadi kerusuhan bersenjata. Dua mengerahkan pesawat tempur, helikopter militer, artileri, dan tank untuk melawan pemberontak bersenjata ringan yang mulai berorganisasi.

Konflik tersebut sebagian besar pecah berdasarkan garis sektarian, dengan kaum Alawite Suriah mendukung Assad dan kaum Sunni mendukung oposisi.

Kekuatan asing—termasuk Rusia, Iran, Amerika Serikat (AS), dan Turki—melihat perang saudara Suriah sebagai peluang untuk memperluas pengaruh mereka di negara yang berada di antara garis patahan geopolitik kawasan tersebut.

Intervensi asing meningkat setelah ISIS, sempalan al-Qaeda yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat Islam yang puritan, menggunakan kekacauan tersebut untuk menaklukkan wilayah di Suriah dan Irak. Benteng terakhir ISIS jatuh pada tahun 2019.

Siapa Saja Pemain Domestik dalam Perang Saudara Suriah?

1. Rezim Bashar al-Assad



Pasukan yang setia kepada Assad—dengan bantuan Rusia, Iran, dan milisi Hizbullah Lebanon—berhasil pada tahun 2020 untuk membatasi wilayah yang dikuasai oleh kelompok militan hingga sekitar sepertiga wilayah negara tersebut.

Perang habis-habisan digantikan oleh pertempuran sporadis. Assad, yang bersikeras bahwa semua pemberontak adalah "teroris", menentang tekanan internasional dan tidak memberikan konsesi apa pun kepada mereka.

2. Hayat Tahrir al-Sham (HTS)



Perebutan Aleppo pada akhir November dipimpin oleh HTS, atau Organisasi Pembebasan Levant.

Kelompok ini merupakan penerus Front al0Nusra, yang merupakan afiliasi al-Qaeda, kelompok yang bertanggung jawab atas serangan 11 September 2001 atau 9/11 terhadap AS.

HTS diyakini memiliki 15.000 milisi dan memiliki pengalaman dalam pemerintahan lokal di beberapa wilayah barat laut Suriah yang berada di luar kendali pasukan Assad.

Mereka yang bergabung dengan HTS adalah para milisi dari kelompok payung yang didukung Turki yang dikenal sebagai Front Pembebasan Nasional.

3. Tentara Nasional Suriah (SNA)



Ini adalah kelompok pemberontak yang didukung Turki yang merebut Tal Rifat, di sebelah utara Aleppo, dari Unit Perlindungan Rakyat atau YPG—milisi Suriah yang sebagian besar terdiri dari para milisi yang mewakili komunitas Kurdi.

Turki mendukung SNA, yang didirikan pada tahun 2017, sebagai bagian dari upayanya untuk memerangi ISIS dan YPG.

4. Unit Perlindungan Rakyat (YPG)



YPG adalah sayap bersenjata dari Partai Persatuan Demokratik Kurdi Suriah (SDF), yang memperjuangkan otonomi bagi suku Kurdi Suriah dan telah menunjukkan keinginan untuk bekerja sama dengan kekuatan apa pun yang mampu memajukan tujuan tersebut.

Anggota YPG menjadi tulang punggung Pasukan Demokratik Suriah, yang dibentuk pada tahun 2015 di bawah naungan AS untuk memerangi ISIS.

Setelah kekalahan kelompok tersebut, suku Kurdi Suriah dan orang-orang Arab yang bersekutu dengan mereka membentuk zona otonom di timur laut negara tersebut yang tidak berpihak pada pemerintah Assad maupun oposisinya.

4 Negara Asing yang Jadi Beking dalam Perang Suriah

1. Amerika Serikat (AS)



Selama bertahun-tahun, AS memberikan dukungan rahasia kepada pemberontak Suriah yang memerangi rezim Suriah dengan tujuan menekan Assad agar melakukan penyelesaian politik, tetapi menghentikan program tersebut pada pertengahan tahun 2017.

Militer Amerika jarang menyerang rezim tersebut secara langsung, sebagai tanggapan atas dugaan penggunaan senjata kimia.

AS memainkan peran utama dalam memerangi ISIS. AS memulai kampanye udara terhadap kelompok tersebut pada tahun 2014 dan mengirim pasukan darat tahun berikutnya untuk membantu pasukan Kurdi yang memerangi para milisi ISIS.

Setelah ISIS kehilangan wilayah yang dikuasainya di Suriah, AS mengurangi kehadirannya tetapi masih mempertahankan pasukan kecil di sana untuk tujuan memerangi sisa-sisa kelompok radikal tersebut.

2. Turki



Turki telah memainkan peran yang kompleks dalam perang tersebut.

Sebagai pendukung pemberontak Suriah, Turki telah menjadi bagian dari koalisi yang dipimpin AS melawan ISIS, tetapi berulang kali menyerang pasukan darat paling efektif di blok tersebut—YPG yang dipersenjatai AS.

Turki menganggap YPG sebagai musuh karena berakar pada Partai Pekerja Kurdistan atau PKK, yang telah berjuang untuk wilayah otonom di dalam Turki sejak 1984.

3. Iran

Iran mengerahkan pasukan elite dari Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) ke Suriah untuk mencapai tujuannya dalam memastikan kelangsungan hidup rezim Assad, sekutu utamanya di Timur Tengah.

Aliansi ini memberi Iran koridor darat yang membentang melalui Irak dan Suriah hingga Lebanon, yang melaluinya Iran dapat lebih mudah mengangkut senjata dan peralatan ke kliennya, Hizbullah Lebanon.

Hizbullah memainkan peran utama dalam kemenangan rezim Assad dan masih mempertahankan kehadiran yang signifikan di Suriah, tetapi telah sangat dilemahkan oleh konflik dengan Israel selama lebih dari setahun.

4. Rusia



Rusia mengubah perang demi kepentingan rezim Assad dengan kampanye pengeboman yang dimulai pada tahun 2015.

Rusia telah lama mempertahankan satu-satunya pangkalan militernya di luar bekas Uni Soviet di pelabuhan Mediterania Suriah, Tartus, dan pada tahun 2017 membuat kesepakatan yang mempertahankan akses ke pangkalan udara di dekat Latakia.

Sementara Rusia mempertahankan kekuatan udara yang signifikan di Suriah, perhatiannya akhir-akhir ini terfokus pada perangnya di Ukraina.
(mas)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More