Kelompok HAM: China Gunakan UU Ambigu untuk Menghukum Perbedaan Pendapat

Jum'at, 18 Oktober 2024 - 09:55 WIB
Kelompok HAM menuduh China menggunakan undang-undang yang sifatnya ambigu untuk menghukum perbedaan pendapat. Foto/China Daily
BEIJING - Sistem hukum China telah lama dikritik sejumlah pihak karena kurang transparan serta kerap menggunakan undang-undang yang bersifat ambigu untuk membungkam perbedaan pendapat dan aktivisme.

Mengutip dari The Hong Kong Post, Jumat (18/10/2024), taktik ini semakin intensif di bawah pemerintahan Presiden Xi Jinping, di mana para kritikus menuduh Partai Komunis China (CCP) menggunakan sistem hukumnya sebagai alat untuk menekan kebebasan berekspresi, menghukum oposisi politik, dan mempertahankan kekuasaan.

Dengan menggunakan Undang-Undang Keamanan Nasional dan perangkat aturan lainnya, pemerintah China telah memperluas persenjataan hukumnya untuk menargetkan aktivis, pengacara, jurnalis, dan bahkan warga biasa yang menantang otoritas Xi Jinping.

Kerangka hukum China memungkinkan pihak berwenang untuk menangkap dan menghukum individu atas berbagai tindakan yang dianggap mengancam negara.





Salah satu contoh paling menonjol adalah konsep "membahayakan keamanan nasional,” yang ditafsirkan secara luas oleh CCP. Berdasarkan kerangka ini, berbagai kegiatan mulai dari advokasi hak asasi manusia (HAM) hingga kritik publik terhadap kebijakan pemerintah dapat ditafsirkan sebagai ancaman terhadap stabilitas negara.

Aturan seperti UU Keamanan Nasional 2015 dan UU Keamanan Nasional Hong Kong 2020 memberi otoritas keleluasaan yang sangat besar untuk mendefinisikan perbedaan pendapat sebagai perilaku kriminal.

Undang-undang ini mencakup tuduhan seperti "subversi terhadap kekuasaan negara”, "separatism”, dan "terorisme”, tetapi definisinya sengaja dibuat samar, yang memungkinkan pemerintah untuk menerapkannya pada berbagai tindakan.

UU Keamanan Nasional di Hong Kong telah digunakan untuk menargetkan tidak hanya pengunjuk rasa yang mengadvokasi kemerdekaan, tetapi juga jurnalis, aktivis pro-demokrasi, dan politisi oposisi. Di daratan China, tuduhan serupa telah digunakan untuk menekan etnis minoritas, khususnya di Xinjiang dan Tibet.

Laporan Social Defenders



Mungkin tuduhan paling terkenal yang digunakan terhadap aktivis dan pembangkang di China adalah "memicu pertengkaran dan memprovokasi masalah”, tuduhan ambigu yang memungkinkan otoritas untuk menangkap individu atas apa pun mulai dari unggahan media sosial hingga protes publik.



Dakwaan ini, yang dikodifikasikan dalam Pasal 293 Hukum Pidana China, dapat berujung pada hukuman hingga lima tahun penjara, tetapi sering digunakan dalam kasus-kasus yang bermotif politik. Pembela HAM, pengacara, dan bahkan seniman telah menjadi sasaran tuduhan ini.

Ketidakjelasan hukum memungkinkan pihak berwenang China untuk menerapkannya secara sewenang-wenang, yang berdampak buruk pada wacana publik.

Hukum China yang tidak jelas sering kali diterapkan dengan sangat keras di wilayah-wilayah dengan populasi etnis minoritas, seperti Xinjiang, Tibet, dan Mongolia Dalam. Di wilayah-wilayah ini, pemerintah China telah membenarkan tindakan represifnya dengan kedok keamanan nasional dan tindakan antiterorisme, menindak tegas individu-individu yang melakukan praktik keagamaan, kegiatan budaya, dan ekspresi bahasa.

Beberapa hari lalu, sebuah organisasi HAM global menuduh China menggunakan hukumnya yang tidak jelas untuk menghukum warga negara dan pembela HAM karena mengungkapkan perbedaan pendapat atau terlibat dalam aktivisme.

Dalam laporan berjudul “For China, Human Rights is Disturbing Social Order”, yang diterbitkan pada 8 Oktober oleh kelompok HAM yang berbasis di Spanyol; Safeguard Defenders, otoritas China disebut sering kali mendakwa para pembela HAM dengan tuduhan "mengganggu ketertiban sosial.”

Laporan tersebut menyoroti bahwa meski "mengganggu ketertiban sosial" merupakan tuduhan utama terhadap para pembela HAM, kategori kejahatan yang paling umum bagi masyarakat luas adalah "membahayakan keamanan publik.”

Kategori luas ini mencakup berbagai pelanggaran, mulai dari kejahatan kekerasan dan mengemudi secara berbahaya hingga menjual obat-obatan palsu.

Safeguard Defenders menunjukkan bahwa sistem hukum China menggunakan undang-undang yang tidak jelas, yang memberikan otoritas keleluasaan signifikan untuk menafsirkannya dan menerapkan tuduhan sebagaimana yang mereka anggap tepat.

Temuan laporan tersebut didasarkan pada data yang dikumpulkan dari tahun 2008 hingga 2022, serta angka-angka dari Buletin Statistik Peradilan Pengadilan Nasional (Gongbao) Mahkamah Agung China untuk tahun 2009 hingga 2022.

Meski data Gongbao terdiri dari "kasus yang telah diputuskan"—kasus yang telah diadili dan menerima putusan, baik bersalah atau tidak bersalah—data tersebut tidak mencakup kasus yang diajukan banding. Safeguard Defenders menyimpulkan bahwa kasus yang telah diputuskan di China hampir selalu berujung pada vonis hukuman.

Laporan tersebut juga menyertakan data dari sumber-sumber seperti Komisi Eksekutif Kongres Amerika Serikat untuk China (CECC) dan LSM Pembela Hak Asasi Manusia China (CHRD).

Analisis Safeguard Defenders mengungkapkan bahwa 62 persen kasus dalam basis datanya berkaitan dengan tuduhan yang terkait dengan menghalangi administrasi ketertiban sosial, khususnya tuduhan "mengganggu ketertiban sosial.”

Salah satu tuduhan paling umum dalam kategori ini adalah “menimbulkan pertengkaran dan memprovokasi masalah” (Pasal 293 Hukum Pidana China), dakwaan samar yang sering digunakan terhadap pembuat petisi, aktivis, dan kritikus pemerintah.

UU Anti-Sekte



Undang-undang lain yang sering digunakan di China adalah undang-undang anti-sekte (Pasal 300), yang menargetkan kelompok-kelompok seperti Falun Gong dan organisasi keagamaan terlarang lainnya.

Menurut laporan tersebut, otoritas China sering kali meningkatkan tuntutan terhadap pembela hak asasi manusia untuk memastikan hukuman yang lebih berat.

Awalnya didakwa dengan tuduhan "mengganggu ketertiban social”, para aktivis kemudian dituduh melakukan kejahatan yang lebih berat, seperti "membahayakan keamanan nasional”, "hasutan untuk menumbangkan kekuasaan negara”, atau "subversi kekuasaan negara."

Tuduhan-tuduhan ini membawa hukuman yang jauh lebih berat dan merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk membungkam perbedaan pendapat. Laporan tersebut juga menyoroti pertumbuhan pesat dalam kasus-kasus pidana selama dekade terakhir.

Data dari Gongbao menunjukkan bahwa jumlah kasus pidana yang diputuskan di pengadilan tingkat pertama meningkat sebesar 35,35 persen, naik dari 766.746 pada tahun 2009 menjadi 1,03 juta pada tahun 2022.

Meski China memiliki sikap yang membatasi transparansi data, Safeguard Defenders telah berhasil mendokumentasikan angka-angka ini.

Kelompok tersebut mencatat bahwa mendapatkan akses ke data putusan pengadilan menjadi semakin sulit karena China mulai membatasi akses dan menghapus data yang sebelumnya tersedia dari basis data daringnya.

Puncak kasus pidana terjadi pada 2019, dengan hampir 1,3 juta kasus diputuskan di tahun itu saja. Sejak saat itu, kasus yang melibatkan "membahayakan keamanan publik" telah melonjak, meningkat empat kali lipat dari 86.814 pada tahun 2009 menjadi 350.290 pada 2022.

Demikian pula, kasus terkait dengan "menghalangi penyelenggaraan ketertiban sosial" meningkat lebih dari dua kali lipat, dari 133.639 pada tahun 2009 menjadi 298.803 pada tahun 2022.

Laporan tersebut menunjukkan bahwa sejak tahun 2018, "membahayakan keamanan publik" telah menjadi kategori kejahatan yang paling umum. Temuan Safeguard Defenders menyoroti bahwa undang-undang anti-sekte China memainkan peran penting dalam penindasannya terhadap pembela hak asasi manusia.

Lebih dari separuh (55 persen) kasus terkait HAM antara tahun 2008 dan 2020 di China terkait dengan undang-undang anti-sekte, yang telah digunakan untuk menargetkan kelompok agama yang dianggap pemerintah sebagai ancaman terhadap otoritasnya.

Tiga belas persen kasus HAM di China terkait dengan tuduhan subversi dan hasutan, sementara tujuh persen melibatkan tuduhan samar "memicu pertengkaran dan memprovokasi masalah”. Laporan tersebut menunjukkan bagaimana hukum China digunakan secara strategis untuk menghukum perbedaan pendapat dan menciptakan iklim ketakutan.

Undang-undang yang sengaja dibuat ambigu, seperti terkait "ketertiban sosial" dan "keamanan publik”, memungkinkan pemerintah China untuk menangkap dan mendakwa aktivis, jurnalis, dan warga biasa dengan kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman berat.

Undang-undang ini memungkinkan pihak berwenang untuk mempertahankan kendali dengan membungkam oposisi dan memastikan bahwa segala bentuk aktivisme atau kritik ditanggapi dengan hukuman yang cepat.

Kecaman Internasional



Penggunaan hukum yang tidak jelas oleh China untuk menekan perbedaan pendapat telah menuai kecaman luas dari masyarakat internasional.

Organisasi hak asasi manusia dan pemerintah asing telah berulang kali mengkritik Beijing atas taktiknya, menuduhnya melanggar hak-hak dasar seperti kebebasan berbicara, kebebasan beragama, dan hak atas pengadilan yang adil.

Di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), beberapa negara telah menyerukan penyelidikan atas pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang, Tibet, dan Hong Kong.

Pemerintah di Eropa dan Amerika Utara juga telah menjatuhkan sanksi kepada pejabat China yang terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia, tetapi tindakan tersebut sejauh ini tidak banyak menghalangi pemerintah China untuk melanjutkan kebijakan represifnya.

China, yang memegang posisi kuat di Dewan Keamanan PBB, bersama dengan pengaruh ekonominya di panggung global, terus menepis tuduhan ini, dan membingkai tindakannya sebagai hal yang diperlukan untuk menjaga stabilitas sosial dan keamanan nasional.

Meski tekanan internasional telah menghasilkan beberapa sanksi dan kecaman terbatas, pengaruh global China yang signifikan telah mempersulit untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah atas pelanggaran HAM-nya.

Peningkatan ketidakjelasan seputar sistem hukum China, termasuk penghapusan data pengadilan, menggarisbawahi upaya pemerintah untuk membatasi transparansi dan melindungi dirinya dari pengawasan.

Laporan Safeguard Defenders mengungkap penggunaan hukum yang tidak jelas oleh pemerintah China untuk membungkam perbedaan pendapat dan menekan aktivisme.

Baik melalui tuduhan "mengganggu ketertiban sosial”, "menimbulkan pertengkaran”, atau "membahayakan keamanan nasional”, sistem hukum China tetap menjadi alat yang ampuh dalam gudang senjata CCP untuk menghukum mereka yang menantang otoritasnya.

Dengan meningkatnya kasus pidana dan terbatasnya akses ke data hukum, jelas bahwa cengkeraman Tiongkok terhadap kebebasan berekspresi dan aktivisme tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengendur.

Penggunaan hukum yang tidak jelas dan luas oleh China untuk menghukum perbedaan pendapat dan aktivisme telah menciptakan iklim ketakutan dan penindasan.

Ambiguitas tuduhan seperti "membahayakan keamanan nasional" atau "menimbulkan pertengkaran" memungkinkan pemerintah untuk menargetkan siapa saja yang menantang otoritasnya, baik mereka pengacara, jurnalis, aktivis, atau warga negara biasa.

Taktik-taktik ini tidak hanya membungkam para pengkritik, tetapi juga mengikis hak-hak dasar dan kebebasan warga China.

Seiring meningkatnya kesadaran global terhadap praktik-praktik ini, masyarakat internasional harus terus mendesak transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar dalam sistem hukum China, ungkap laporan Safeguard Defenders.
(mas)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More