Benarkah Iran dan Irak Bermusuhan? Ini Faktanya
Senin, 16 September 2024 - 17:09 WIB
Beberapa waktu berlalu, keretakan Perjanjian Aljazair mulai terlihat setelah Iran menarik duta besarnya dari Irak pada Maret 1980.
Bulan depannya, terjadi upaya pembunuhan terhadap Menteri Luar Negeri Irak Tariq Aziz dan Menteri Kebudayaan dan Informasi Latif Nusseif al-Jasim yang dikaitkan dengan agen Iran.
Pada akhirnya, bentrokan di sepanjang perbatasan Irak-Iran meningkat dan menandakan peningkatan yang jelas dalam permusuhan.
Titik baliknya terjadi pada 17 September ketika Irak membatalkan Perjanjian Aljazair 1975 dengan mendeklarasikan kedaulatan penuh atas jalur air Shatt al-Arab.
Sebagai tanggapan, pasukan Irak menyerbu Iran, sehingga memicu perang berkepanjangan. Para pengamat menganggap konflik tersebut sebagai perebutan dominasi antara dua rezim yang bersaing di Timur Tengah.
Hasilnya, Iran memang tidak muncul sebagai pemenang yang jelas dalam perang itu. Namun, ketika penggulingan Saddam Hussein oleh Amerika Serikat pada 2003 dan kebangkitan partai politik serta milisi Syiah di Irak, hal tersebut dianggap sebagai ganjaran atas pengorbanan yang dilakukan selama perang dari tahun 1980–1988.
Pada sisi lain, gejolak di Irak juga mengawali transformasi signifikan dalam hubungan Teheran dan Baghdad. Jatuhnya rezim Saddam Hussein membuka jalan baru untuk Iran dalam memperluas pengaruhnya di negara tetangga.
Teheran mencoba kekosongan kekuasaan yang terjadi dengan menjalin hubungan bersama entitas politik Irak untuk memajukan kepentingan strategisnya. Menariknya, golongan yang dibentuk waktu itu telah memegang pengaruh substansial dalam lanskap politik di Baghdad saat ini.
Setelah periode tersebut, Irak juga berubah dari musuh menjadi penyangga strategis untuk Iran terhadap berbagai ancaman. Bukan hanya dari ekstremis Sunni, tetapi juga potensi agresi militer atau tekanan politik dari kekuatan Barat.
Sejak itu, hubungan Iran-Irak telah mengalami kemajuan pesat. Bukan hanya soal diplomatik, namun juga pembangunan negara.
Bulan depannya, terjadi upaya pembunuhan terhadap Menteri Luar Negeri Irak Tariq Aziz dan Menteri Kebudayaan dan Informasi Latif Nusseif al-Jasim yang dikaitkan dengan agen Iran.
Pada akhirnya, bentrokan di sepanjang perbatasan Irak-Iran meningkat dan menandakan peningkatan yang jelas dalam permusuhan.
Titik baliknya terjadi pada 17 September ketika Irak membatalkan Perjanjian Aljazair 1975 dengan mendeklarasikan kedaulatan penuh atas jalur air Shatt al-Arab.
Sebagai tanggapan, pasukan Irak menyerbu Iran, sehingga memicu perang berkepanjangan. Para pengamat menganggap konflik tersebut sebagai perebutan dominasi antara dua rezim yang bersaing di Timur Tengah.
Hasilnya, Iran memang tidak muncul sebagai pemenang yang jelas dalam perang itu. Namun, ketika penggulingan Saddam Hussein oleh Amerika Serikat pada 2003 dan kebangkitan partai politik serta milisi Syiah di Irak, hal tersebut dianggap sebagai ganjaran atas pengorbanan yang dilakukan selama perang dari tahun 1980–1988.
Pada sisi lain, gejolak di Irak juga mengawali transformasi signifikan dalam hubungan Teheran dan Baghdad. Jatuhnya rezim Saddam Hussein membuka jalan baru untuk Iran dalam memperluas pengaruhnya di negara tetangga.
Teheran mencoba kekosongan kekuasaan yang terjadi dengan menjalin hubungan bersama entitas politik Irak untuk memajukan kepentingan strategisnya. Menariknya, golongan yang dibentuk waktu itu telah memegang pengaruh substansial dalam lanskap politik di Baghdad saat ini.
Setelah periode tersebut, Irak juga berubah dari musuh menjadi penyangga strategis untuk Iran terhadap berbagai ancaman. Bukan hanya dari ekstremis Sunni, tetapi juga potensi agresi militer atau tekanan politik dari kekuatan Barat.
Sejak itu, hubungan Iran-Irak telah mengalami kemajuan pesat. Bukan hanya soal diplomatik, namun juga pembangunan negara.
Lihat Juga :
tulis komentar anda