Filipina dan China Saling Menyalahkan atas Manuver Berbahaya di Laut China Selatan
Minggu, 11 Agustus 2024 - 11:25 WIB
MANILA - Kepala Staf Angkatan Bersenjata Filipina Jenderal Romeo Brawner Jr menuduh jet-jet tempur China melakukan manuver berbahaya saat terbang di dekat pesawat Filipina yang berpatroli diatas Laut China Selatan.
"Pada 8 Agustus 2024, sebuah pesawat NC-212i milik Angkatan Udara Filipina (PAF) tengah melakukan patroli maritim rutin di atas Bajo de Masinloc ketika dua pesawat dari PLAAF (Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat) melakukan manuver berbahaya sekitar pukul 09.00 pagi dan menjatuhkan suar di jalur NC-212i kami. Insiden tersebut menimbulkan ancaman bagi pesawat Angkatan Udara Filipina dan awaknya," kata Jenderal Brawner dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip Sputnik, Minggu (11/8/2024).
Menurutnya, insiden tersebut mengganggu operasi penerbangan yang sah di wilayah udara dalam kedaulatan dan yurisdiksi Filipina, dan melanggar hukum internasional dan peraturan yang mengatur keselamatan penerbangan.
Dia mengonfirmasi awak NC-212i kembali dengan selamat ke Pangkalan Udara Clark.
Sementara itu, Komando Teater Selatan Militer China membela tindakan tersebut dan menuduh pesawat militer Filipina telah menginvasi wilayah udara China.
"Pada tanggal 8 Agustus, sebuah pesawat NC-212 milik Angkatan Udara Filipina, meskipun telah berulang kali diperingatkan oleh China, secara ilegal menginvasi wilayah udara Kepulauan Huangyan [Scarborough Shoal] di Laut China Selatan, sehingga mencegah penyelenggaraan acara dalam latihan rutin China," bunyi pernyataan komando tersebut.
China, kata komando tersebut, memiliki kedaulatan yang tidak terbantahkan atas pulau-pulau di Pulau Huangyan dan perairan di sekitarnya.
Afiliasi teritorial sejumlah pulau dan terumbu karang di Laut China Selatan telah menjadi subjek sengketa antara China, Filipina, dan beberapa negara Asia-Pasifik lainnya selama beberapa dekade.
Cadangan minyak dan gas yang signifikan telah ditemukan di landas kontinen pulau-pulau tersebut, termasuk Kepulauan Paracel, Pulau Thitu, Scarborough Shoal, dan Kepulauan Spratly, dengan Whitson Reef menjadi bagiannya.
Pada bulan Juli 2016, Pengadilan Arbitrase Tetap di Den Haag memutuskan bahwa China tidak memiliki dasar untuk klaim teritorial di Laut China Selatan.
Pengadilan memutuskan bahwa pulau-pulau tersebut bukan wilayah yang disengketakan dan bukan merupakan zona ekonomi eksklusif, tetapi Beijing menolak untuk menerima putusan tersebut.
Lihat Juga: 5 Negara Sahabat Korea Utara, Semua Musuh AS Termasuk Pemilik Bom Nuklir Terbanyak di Dunia
"Pada 8 Agustus 2024, sebuah pesawat NC-212i milik Angkatan Udara Filipina (PAF) tengah melakukan patroli maritim rutin di atas Bajo de Masinloc ketika dua pesawat dari PLAAF (Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat) melakukan manuver berbahaya sekitar pukul 09.00 pagi dan menjatuhkan suar di jalur NC-212i kami. Insiden tersebut menimbulkan ancaman bagi pesawat Angkatan Udara Filipina dan awaknya," kata Jenderal Brawner dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip Sputnik, Minggu (11/8/2024).
Menurutnya, insiden tersebut mengganggu operasi penerbangan yang sah di wilayah udara dalam kedaulatan dan yurisdiksi Filipina, dan melanggar hukum internasional dan peraturan yang mengatur keselamatan penerbangan.
Dia mengonfirmasi awak NC-212i kembali dengan selamat ke Pangkalan Udara Clark.
Sementara itu, Komando Teater Selatan Militer China membela tindakan tersebut dan menuduh pesawat militer Filipina telah menginvasi wilayah udara China.
"Pada tanggal 8 Agustus, sebuah pesawat NC-212 milik Angkatan Udara Filipina, meskipun telah berulang kali diperingatkan oleh China, secara ilegal menginvasi wilayah udara Kepulauan Huangyan [Scarborough Shoal] di Laut China Selatan, sehingga mencegah penyelenggaraan acara dalam latihan rutin China," bunyi pernyataan komando tersebut.
China, kata komando tersebut, memiliki kedaulatan yang tidak terbantahkan atas pulau-pulau di Pulau Huangyan dan perairan di sekitarnya.
Afiliasi teritorial sejumlah pulau dan terumbu karang di Laut China Selatan telah menjadi subjek sengketa antara China, Filipina, dan beberapa negara Asia-Pasifik lainnya selama beberapa dekade.
Cadangan minyak dan gas yang signifikan telah ditemukan di landas kontinen pulau-pulau tersebut, termasuk Kepulauan Paracel, Pulau Thitu, Scarborough Shoal, dan Kepulauan Spratly, dengan Whitson Reef menjadi bagiannya.
Pada bulan Juli 2016, Pengadilan Arbitrase Tetap di Den Haag memutuskan bahwa China tidak memiliki dasar untuk klaim teritorial di Laut China Selatan.
Pengadilan memutuskan bahwa pulau-pulau tersebut bukan wilayah yang disengketakan dan bukan merupakan zona ekonomi eksklusif, tetapi Beijing menolak untuk menerima putusan tersebut.
Lihat Juga: 5 Negara Sahabat Korea Utara, Semua Musuh AS Termasuk Pemilik Bom Nuklir Terbanyak di Dunia
(mas)
tulis komentar anda