Beit Iksa adalah Desa Sekaligus Penjara, Israel Persulit Warga Palestina di Tepi Barat

Selasa, 09 Juli 2024 - 18:46 WIB
Tentara Israel mengarahkan senjata api saat warga melewati pos pemeriksaan Hawwara, di Tepi Barat. Foto/Magne Hagesæter/Wikimedia Commons
TEPI BARAT - Setiap hari, Ahmed Daraghmeh harus melakukan perjalanan dari kotanya Tubas, di bagian utara Tepi Barat, untuk mencapai kota Ramallah, tempat dia bekerja.

Saat mulai bekerja di kantor teknik, empat tahun lalu, Daraghmeh sudah bisa beraktivitas dengan normal.

Namun dua tahun lalu, Israel melancarkan kampanye besar-besaran terhadap kelompok Perlawanan Palestina di Tepi Barat bagian utara dan mendirikan banyak pos pemeriksaan militer dalam upaya menguasai wilayah tersebut.

Perjalanan yang biasanya memakan waktu tidak lebih dari satu jam, kini memakan waktu lebih dari lima jam, hingga kini dia mencari pekerjaan lain atau menyewa kamar di Ramallah.



Perjalanan lima jam itu bisa menjadi lebih lama lagi, tergantung pada suasana hati tentara Israel yang dikerahkan di ratusan pos pemeriksaan militer dan mengontrol lalu lintas serta pergerakan puluhan ribu warga Palestina di seluruh Tepi Barat.

“Untuk menghindari pos pemeriksaan militer, kami mulai mengambil jalan alternatif, termasuk jalan tanah, namun di sana pun, jalan tersebut tidak aman,” ujar Daraghmeh kepada The Palestine Chronicle.

“Tentara Israel terkadang mengejar kami dan buldoser menutup jalan alternatif dengan penghalang tanah untuk mencegah kami menggunakannya. Situasi ini menjadi tidak tertahankan,” papar dia.

Angka yang Mengejutkan



Pada awal tahun 2023, Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) mendokumentasikan adanya ‘565 hambatan’ terhadap pergerakan warga di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur.

Hambatan tersebut meliputi 49 pos pemeriksaan permanen, 134 pos pemeriksaan tidak permanen, yang diawaki tentara Israel atau perusahaan keamanan swasta, 304 barikade jalan, penghalang tanah, dan gerbang jalan, serta 73 tembok tanah, parit, dan banyak lagi.

Menurut perkiraan OCHA, “ada 642 hambatan fisik, yang secara keseluruhan merupakan peningkatan sekitar 8% dibandingkan dengan 593 hambatan yang tercatat dalam survei penutupan terakhir yang kami lakukan pada awal tahun 2020.”

Situasi menjadi lebih sulit setelah dimulainya genosida Israel di Jalur Gaza, ketika jumlah pos pemeriksaan militer berlipat ganda dan gerbang besi dipasang di pintu masuk ke sebagian besar desa, kota kecil, dan kamp.

Hambatan yang memisahkan kota-kota dan komunitas Palestina juga meningkat, dan Israel menerapkan kebijakan yang membatasi pergerakan dan melecehkan warga Palestina.

Misalnya, melewati pos pemeriksaan Kontainer, yang memisahkan Tepi Barat bagian selatan dari pusatnya, menjadi lebih menantang.

Pos pemeriksaan ditutup selama berjam-jam, menyebabkan kemacetan lalu lintas yang menyesakkan.

Desa Penjara

Melihat peta pos pemeriksaan militer Israel, kita dapat melihat bahwa tujuan sebenarnya mereka bukanlah untuk menjamin ‘keamanan’ melainkan untuk memutus dan mengisolasi kota-kota Palestina.

Oleh karena itu, puluhan kota dan desa menjadi komunitas pemukiman terisolir. Diantaranya adalah kota Beit Iksa, barat laut Yerusalem.

Tentara Israel mendirikan pos pemeriksaan militer di pintu masuk kota, yang menghambat pergerakan penduduknya.

Wali Kota Beit Iksa, Murad Zayed, mengatakan kepada Palestine Chronicle bahwa kota tersebut sekarang sepenuhnya dikelilingi oleh pos pemeriksaan, yang mencakup satu gerbang yang dapat dibuka dan ditutup oleh tentara kapan pun mereka mau.

Pada tanggal 6 Juli, sekelompok pelajar sekolah menengah sedang dalam perjalanan ke kota terdekat Biddu untuk mengikuti salah satu ujian akhir mereka, namun tentara menutup pos pemeriksaan sepenuhnya dan mencegah mereka lulus.

“Para pelajar menjadi sangat stres dan frustrasi, jadi kami harus memindahkan mereka melalui rute alternatif yang melintasi pos pemeriksaan lain yang jauh,” ujar Zayed kepada kami.

“Bukannya lima menit, malah memakan waktu satu setengah jam dan ketika kami tiba, kondisi psikologis mereka sangat buruk,” papar dia.

Warga Palestina yang bukan penduduk Beit Iksa dilarang memasukinya kecuali melalui koordinasi terlebih dahulu dengan tentara Israel, dan karena alasan yang sangat mendesak.

Wali Kota menjelaskan, pos pemeriksaan ini menjadi kendala besar bagi warga, karena desanya terasa seperti penjara besar.

Pasien dilarang mencapai rumah sakit dan beberapa wanita hamil terpaksa melahirkan di pos pemeriksaan karena tentara Israel mencegah mereka menyeberang tanpa alasan yang sah.

“Hambatan ini mencekik kami, memutus komunikasi kami dengan dunia, dan sepenuhnya menghambat kehidupan kami,” ungkap wali kota.

(sya)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More