Hizbullah Gunakan Senjata dan Taktik Baru, Israel Makin Kalang Kabut
Selasa, 04 Juni 2024 - 17:45 WIB
Kemampuan militer Hizbullah yang luar biasa telah diakui lembaga think tank Israel dan Amerika Serikat (AS), yang menunjukkan kelompok tersebut memiliki sekitar 150.000 roket dan rudal anti-tank, serta 2.000 drone.
Pada paruh kedua bulan Mei, Hizbullah memperkenalkan drone lapis baja baru untuk menyerang fasilitas militer Israel, menurut Dr Lorenzo Trombetta, pakar dan analis yang berbasis di Beirut yang berspesialisasi di Timur Tengah.
“Saat ini (kelompok Syiah) terus menguji kemampuan baru ini untuk merespons Israel, pertama-tama, karena Israel juga meningkatkan serangannya di sepanjang garis biru, seperti yang telah kita lihat di Lembah Bekaa dan sisi selatan Israel, kota Sidon, dan terlebih lagi, untuk melawan perimbangan kekuatan dan terus memberikan berbagai tekanan, baik itu tekanan politik dan tekanan militer terhadap pemerintah Israel,” ungkap Trombetta kepada Sputnik.
Pada 1 Juni, Hizbullah berhasil menjatuhkan kendaraan udara tak berawak (UAV) Hermes 900 Israel yang kedua di kota Deir Kifa, Lebanon selatan.
Hermes yang pertama dihancurkan di Lebanon selatan pada tanggal 6 April. Kelompok ini juga menembakkan dua rudal Burkan seberat 500 kg ke Israel utara pada Sabtu dan salah satunya dilaporkan mengenai Pangkalan Militer Gibor dekat Kiryat Shmona.
Kelompok ini mengumumkan mereka melakukan 10 serangan pada Sabtu, menargetkan posisi Israel di front timur dan barat.
“Dalam hal kemampuan, Hizbullah tidak menggunakan begitu banyak senjata canggih hingga saat ini,” ujar Trombetta.
Dia menjelaskan, “Mereka menggunakan roket dan rudal jarak pendek. Dan akhir-akhir ini, dalam dua bulan terakhir, mereka menunjukkan kemampuan mematikan pesawat tak berawak lapis baja Hermes-500 milik Israel. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, ada peningkatan bertahap dalam serangan terhadap Israel, mengacu pada persenjataan yang semakin modern dan canggih dari Hizbullah."
Analis yang berbasis di Beirut ini menjelaskan eskalasi ini disebabkan upaya Hizbullah meningkatkan tekanan terhadap Israel guna menghentikan genosida di Jalur Gaza.
“Kita tidak boleh lupa bahwa, selain hampir 90.000 pengungsi di Lebanon selatan, ada sekitar 80.000 pengungsi di wilayah Galilea bagian atas di Israel. Kita tahu komunitas-komunitas ini memberikan tekanan besar pada pemerintahan Netanyahu,” ungkap dia.
Pada paruh kedua bulan Mei, Hizbullah memperkenalkan drone lapis baja baru untuk menyerang fasilitas militer Israel, menurut Dr Lorenzo Trombetta, pakar dan analis yang berbasis di Beirut yang berspesialisasi di Timur Tengah.
“Saat ini (kelompok Syiah) terus menguji kemampuan baru ini untuk merespons Israel, pertama-tama, karena Israel juga meningkatkan serangannya di sepanjang garis biru, seperti yang telah kita lihat di Lembah Bekaa dan sisi selatan Israel, kota Sidon, dan terlebih lagi, untuk melawan perimbangan kekuatan dan terus memberikan berbagai tekanan, baik itu tekanan politik dan tekanan militer terhadap pemerintah Israel,” ungkap Trombetta kepada Sputnik.
Pada 1 Juni, Hizbullah berhasil menjatuhkan kendaraan udara tak berawak (UAV) Hermes 900 Israel yang kedua di kota Deir Kifa, Lebanon selatan.
Hermes yang pertama dihancurkan di Lebanon selatan pada tanggal 6 April. Kelompok ini juga menembakkan dua rudal Burkan seberat 500 kg ke Israel utara pada Sabtu dan salah satunya dilaporkan mengenai Pangkalan Militer Gibor dekat Kiryat Shmona.
Kelompok ini mengumumkan mereka melakukan 10 serangan pada Sabtu, menargetkan posisi Israel di front timur dan barat.
“Dalam hal kemampuan, Hizbullah tidak menggunakan begitu banyak senjata canggih hingga saat ini,” ujar Trombetta.
Dia menjelaskan, “Mereka menggunakan roket dan rudal jarak pendek. Dan akhir-akhir ini, dalam dua bulan terakhir, mereka menunjukkan kemampuan mematikan pesawat tak berawak lapis baja Hermes-500 milik Israel. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, ada peningkatan bertahap dalam serangan terhadap Israel, mengacu pada persenjataan yang semakin modern dan canggih dari Hizbullah."
Analis yang berbasis di Beirut ini menjelaskan eskalasi ini disebabkan upaya Hizbullah meningkatkan tekanan terhadap Israel guna menghentikan genosida di Jalur Gaza.
“Kita tidak boleh lupa bahwa, selain hampir 90.000 pengungsi di Lebanon selatan, ada sekitar 80.000 pengungsi di wilayah Galilea bagian atas di Israel. Kita tahu komunitas-komunitas ini memberikan tekanan besar pada pemerintahan Netanyahu,” ungkap dia.
tulis komentar anda