Hizbullah Gunakan Senjata dan Taktik Baru, Israel Makin Kalang Kabut
Selasa, 04 Juni 2024 - 17:45 WIB
BEIRUT - Gerakan Hizbullah Lebanon telah meluncurkan teknologi baru yang “canggih” ketika perang melawan Israel semakin intensif saat rezim Zionis menyerang Rafah.
Bentrokan Hizbullah-Israel semakin memburuk akhir-akhir ini ketika Pasukan Israel (IDF) melanjutkan operasinya di Rafah, wilayah selatan Gaza yang berbatasan dengan Mesir.
“Keputusan Hizbullah melancarkan serangan menggunakan drone dan proyektil, termasuk rudal berpemandu presisi, mencerminkan pendekatan strategis yang bertujuan mempertahankan elemen kejutan dan menjaga Israel dalam kondisi kalibrasi ulang yang konstan,” ungkap Dr Imad Salamey, profesor ilmu politik dan urusan internasional di Lebanon American University, pada Sputnik.
“Dengan menggunakan berbagai senjata dan taktik, yang banyak di antaranya masih belum digunakan, Hizbullah memastikan kemampuan penuh dan potensi medan pertempurannya tidak dapat diprediksi,” ujar dia.
Dia menjelaskan, “Strategi ini tidak hanya mempersulit perhitungan pertahanan Israel tetapi juga memungkinkan Hizbullah mempertahankan inisiatif dalam konflik, dengan menyesuaikan strateginya secara dinamis berdasarkan perkembangan di lapangan.”
Sekretaris Jenderal Hizbullah Hassan Nasrallah memperingatkan rezim Zionis pada 24 Mei tentang “kejutan baru” dari kelompoknya jika Israel tidak menghentikan genosida di Gaza.
Pers Israel mengutip El-Nashra, kantor berita Lebanon, yang menuduh "kejutan" yang disebutkan Nasrallah adalah senjata baru yang dimiliki kelompok tersebut, termasuk rudal presisi jarak jauh dan proyektil antipesawat.
Awal bulan ini, Associated Press (AP) juga menekankan senjata baru dan taktik baru yang baru-baru ini digunakan gerakan Syiah itu, termasuk serangan lebih dalam ke wilayah Israel.
Kemampuan militer Hizbullah yang luar biasa telah diakui lembaga think tank Israel dan Amerika Serikat (AS), yang menunjukkan kelompok tersebut memiliki sekitar 150.000 roket dan rudal anti-tank, serta 2.000 drone.
Pada paruh kedua bulan Mei, Hizbullah memperkenalkan drone lapis baja baru untuk menyerang fasilitas militer Israel, menurut Dr Lorenzo Trombetta, pakar dan analis yang berbasis di Beirut yang berspesialisasi di Timur Tengah.
“Saat ini (kelompok Syiah) terus menguji kemampuan baru ini untuk merespons Israel, pertama-tama, karena Israel juga meningkatkan serangannya di sepanjang garis biru, seperti yang telah kita lihat di Lembah Bekaa dan sisi selatan Israel, kota Sidon, dan terlebih lagi, untuk melawan perimbangan kekuatan dan terus memberikan berbagai tekanan, baik itu tekanan politik dan tekanan militer terhadap pemerintah Israel,” ungkap Trombetta kepada Sputnik.
Pada 1 Juni, Hizbullah berhasil menjatuhkan kendaraan udara tak berawak (UAV) Hermes 900 Israel yang kedua di kota Deir Kifa, Lebanon selatan.
Hermes yang pertama dihancurkan di Lebanon selatan pada tanggal 6 April. Kelompok ini juga menembakkan dua rudal Burkan seberat 500 kg ke Israel utara pada Sabtu dan salah satunya dilaporkan mengenai Pangkalan Militer Gibor dekat Kiryat Shmona.
Kelompok ini mengumumkan mereka melakukan 10 serangan pada Sabtu, menargetkan posisi Israel di front timur dan barat.
“Dalam hal kemampuan, Hizbullah tidak menggunakan begitu banyak senjata canggih hingga saat ini,” ujar Trombetta.
Dia menjelaskan, “Mereka menggunakan roket dan rudal jarak pendek. Dan akhir-akhir ini, dalam dua bulan terakhir, mereka menunjukkan kemampuan mematikan pesawat tak berawak lapis baja Hermes-500 milik Israel. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, ada peningkatan bertahap dalam serangan terhadap Israel, mengacu pada persenjataan yang semakin modern dan canggih dari Hizbullah."
Analis yang berbasis di Beirut ini menjelaskan eskalasi ini disebabkan upaya Hizbullah meningkatkan tekanan terhadap Israel guna menghentikan genosida di Jalur Gaza.
“Kita tidak boleh lupa bahwa, selain hampir 90.000 pengungsi di Lebanon selatan, ada sekitar 80.000 pengungsi di wilayah Galilea bagian atas di Israel. Kita tahu komunitas-komunitas ini memberikan tekanan besar pada pemerintahan Netanyahu,” ungkap dia.
Hingga saat ini, Israel membunuh lebih dari 36.300 warga Palestina dan lebih banyak lagi yang terluka di Gaza, menurut Kementerian Kesehatan.
Operasi Rafah Israel diluncurkan di tengah-tengah negosiasi gencatan senjata dengan Hamas yang tidak mulus.
Genosida Israel telah menyebabkan lebih dari satu juta orang mengungsi dan semakin memperburuk krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung di Jalur Gaza.
Rezim penjajah Zionis mengirimkan sinyal beragam mengenai proposal gencatan senjata baru pada hari Minggu.
Ophir Falk, kepala penasihat kebijakan luar negeri Perdana Menteri Benjamin Netanyah, mengklaim Israel telah menerima kerangka kesepakatan baru untuk menjamin gencatan senjata dan pembebasan sandera.
Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengumumkan pada hari yang sama bahwa tujuan perang Israel di Gaza, untuk sepenuhnya membubarkan pemerintahan Hamas dan sayap militernya serta membebaskan sandera, tidak berubah.
“Kami tidak akan menerima kekuasaan Hamas di Gaza pada tahap apa pun dalam proses apa pun yang bertujuan mengakhiri perang,” tegas dia.
Anggota konservatif garis keras dari koalisi pemerintahan Netanyahu, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, telah berjanji melakukan hal yang sama.
Mereka mengancam meninggalkan pemerintah jika proposal gencatan senjata terbaru diterima Israel.
“Jadi kita harus melihat gambaran keseluruhan dari kelanjutan negosiasi antara Hamas dan Israel melalui mediasi Qatar, Mesir. Namun secara keseluruhan, antara AS dan Iran tidak ada kesepakatan yang terlihat antara dua kutub utama, kekuatan utama, poros utama,” pungkas Trombetta menyimpulkan.
Bentrokan Hizbullah-Israel semakin memburuk akhir-akhir ini ketika Pasukan Israel (IDF) melanjutkan operasinya di Rafah, wilayah selatan Gaza yang berbatasan dengan Mesir.
“Keputusan Hizbullah melancarkan serangan menggunakan drone dan proyektil, termasuk rudal berpemandu presisi, mencerminkan pendekatan strategis yang bertujuan mempertahankan elemen kejutan dan menjaga Israel dalam kondisi kalibrasi ulang yang konstan,” ungkap Dr Imad Salamey, profesor ilmu politik dan urusan internasional di Lebanon American University, pada Sputnik.
“Dengan menggunakan berbagai senjata dan taktik, yang banyak di antaranya masih belum digunakan, Hizbullah memastikan kemampuan penuh dan potensi medan pertempurannya tidak dapat diprediksi,” ujar dia.
Dia menjelaskan, “Strategi ini tidak hanya mempersulit perhitungan pertahanan Israel tetapi juga memungkinkan Hizbullah mempertahankan inisiatif dalam konflik, dengan menyesuaikan strateginya secara dinamis berdasarkan perkembangan di lapangan.”
Sekretaris Jenderal Hizbullah Hassan Nasrallah memperingatkan rezim Zionis pada 24 Mei tentang “kejutan baru” dari kelompoknya jika Israel tidak menghentikan genosida di Gaza.
Pers Israel mengutip El-Nashra, kantor berita Lebanon, yang menuduh "kejutan" yang disebutkan Nasrallah adalah senjata baru yang dimiliki kelompok tersebut, termasuk rudal presisi jarak jauh dan proyektil antipesawat.
Baca Juga
Awal bulan ini, Associated Press (AP) juga menekankan senjata baru dan taktik baru yang baru-baru ini digunakan gerakan Syiah itu, termasuk serangan lebih dalam ke wilayah Israel.
Kemampuan militer Hizbullah yang luar biasa telah diakui lembaga think tank Israel dan Amerika Serikat (AS), yang menunjukkan kelompok tersebut memiliki sekitar 150.000 roket dan rudal anti-tank, serta 2.000 drone.
Pada paruh kedua bulan Mei, Hizbullah memperkenalkan drone lapis baja baru untuk menyerang fasilitas militer Israel, menurut Dr Lorenzo Trombetta, pakar dan analis yang berbasis di Beirut yang berspesialisasi di Timur Tengah.
“Saat ini (kelompok Syiah) terus menguji kemampuan baru ini untuk merespons Israel, pertama-tama, karena Israel juga meningkatkan serangannya di sepanjang garis biru, seperti yang telah kita lihat di Lembah Bekaa dan sisi selatan Israel, kota Sidon, dan terlebih lagi, untuk melawan perimbangan kekuatan dan terus memberikan berbagai tekanan, baik itu tekanan politik dan tekanan militer terhadap pemerintah Israel,” ungkap Trombetta kepada Sputnik.
Pada 1 Juni, Hizbullah berhasil menjatuhkan kendaraan udara tak berawak (UAV) Hermes 900 Israel yang kedua di kota Deir Kifa, Lebanon selatan.
Hermes yang pertama dihancurkan di Lebanon selatan pada tanggal 6 April. Kelompok ini juga menembakkan dua rudal Burkan seberat 500 kg ke Israel utara pada Sabtu dan salah satunya dilaporkan mengenai Pangkalan Militer Gibor dekat Kiryat Shmona.
Kelompok ini mengumumkan mereka melakukan 10 serangan pada Sabtu, menargetkan posisi Israel di front timur dan barat.
“Dalam hal kemampuan, Hizbullah tidak menggunakan begitu banyak senjata canggih hingga saat ini,” ujar Trombetta.
Dia menjelaskan, “Mereka menggunakan roket dan rudal jarak pendek. Dan akhir-akhir ini, dalam dua bulan terakhir, mereka menunjukkan kemampuan mematikan pesawat tak berawak lapis baja Hermes-500 milik Israel. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, ada peningkatan bertahap dalam serangan terhadap Israel, mengacu pada persenjataan yang semakin modern dan canggih dari Hizbullah."
Analis yang berbasis di Beirut ini menjelaskan eskalasi ini disebabkan upaya Hizbullah meningkatkan tekanan terhadap Israel guna menghentikan genosida di Jalur Gaza.
“Kita tidak boleh lupa bahwa, selain hampir 90.000 pengungsi di Lebanon selatan, ada sekitar 80.000 pengungsi di wilayah Galilea bagian atas di Israel. Kita tahu komunitas-komunitas ini memberikan tekanan besar pada pemerintahan Netanyahu,” ungkap dia.
Hingga saat ini, Israel membunuh lebih dari 36.300 warga Palestina dan lebih banyak lagi yang terluka di Gaza, menurut Kementerian Kesehatan.
Operasi Rafah Israel diluncurkan di tengah-tengah negosiasi gencatan senjata dengan Hamas yang tidak mulus.
Genosida Israel telah menyebabkan lebih dari satu juta orang mengungsi dan semakin memperburuk krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung di Jalur Gaza.
Rezim penjajah Zionis mengirimkan sinyal beragam mengenai proposal gencatan senjata baru pada hari Minggu.
Ophir Falk, kepala penasihat kebijakan luar negeri Perdana Menteri Benjamin Netanyah, mengklaim Israel telah menerima kerangka kesepakatan baru untuk menjamin gencatan senjata dan pembebasan sandera.
Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengumumkan pada hari yang sama bahwa tujuan perang Israel di Gaza, untuk sepenuhnya membubarkan pemerintahan Hamas dan sayap militernya serta membebaskan sandera, tidak berubah.
“Kami tidak akan menerima kekuasaan Hamas di Gaza pada tahap apa pun dalam proses apa pun yang bertujuan mengakhiri perang,” tegas dia.
Anggota konservatif garis keras dari koalisi pemerintahan Netanyahu, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, telah berjanji melakukan hal yang sama.
Mereka mengancam meninggalkan pemerintah jika proposal gencatan senjata terbaru diterima Israel.
“Jadi kita harus melihat gambaran keseluruhan dari kelanjutan negosiasi antara Hamas dan Israel melalui mediasi Qatar, Mesir. Namun secara keseluruhan, antara AS dan Iran tidak ada kesepakatan yang terlihat antara dua kutub utama, kekuatan utama, poros utama,” pungkas Trombetta menyimpulkan.
(sya)
Lihat Juga :
tulis komentar anda